Oleh: Cahyono (Peneliti eLSA)
Bermukim di kota, tiap hari menyaksikan orang-orang berlari tanpa lelah. Selalu berkejaran dengan waktu, seolah hari ini akan lekas purna. Saya menatap pada diri sendiri, orang-orang di sepanjang keramaian sepertinya tak dapat melihat saya. Sementara saya mengalihkan pandangan ke arah bibir jalan raya, sepeda motor tengah menantang maut di tengah arus bus-bus ganas antarprovinsi, juga container bermuatan berat dengan bunyi klakson yang khas, semacam alarm tanda bahaya dimulai.
Perubahan masyarakat tradisional (agraris) ke masyarakat industri (modern) akibat dari derasnya proses modernisasi dengan berbagai nilai dan teknologi yang ditawarkan. Hal ini karena modernisasi melibatkan perubahan pada hampir segala aspek tingkah laku sosial, termasuk didalamnya industrialisasi, urbanisasi, deferensiasi, sekulerisasi, sentralisasi, dan sebagainya. Bahkan modernisasi dianggap sebagai proses transformasi nilai. Artinya untuk mencapai status modern, struktur dan nilai-nilai tradisional secara total harus diganti dengan seperangkat struktur dan nilai-nilai modern, (Suwarsono, 2006:23).
Padahal, kota, sejatinya menjadi ruang kultural yang terekspresikan melalui aktivitas sosialnya yang sehari-hari. Chris Barker mengenai “Cities a Places”, ia memaknai ruang sebagai sebuah konstruksi dan manifestasi lahiriah relasi sosial yang mengungkapkan asumsi kultural dan praktik-praktiknya. Masyarakat perkotaan yang kita ketahui selalu identik dengan sifat individual, egois, materialistis, penuh kemewahan, dikelilingi gedung-gedung yang menjulang tinggi, perkantoran mewah, dan pabrik-pabrik besar. Asumsi dasar kita tentang kota adalah tempat kesuksesan seseorang.
Udji Kayang melalui buku kumpulan esainya yang berjudul “Keping-Keping Kota” (2019) menarasikan keseharian manusia urban yang kerap dihadapkan beragam persoalan. Analisisnya yang tajam dengan kacamata akademiknya sebagai seorang sarjana sosiologi, alumnus Universitas Sebelas Maret Surakarta, membuka perspektif alternatif tentang pandangan masyarakat pada umumnya atas “kemewahan” hidup di perkotaan. Pada esai-esai dalam buku setebal 184 halaman itu, Udji berusaha menangkap keping-keping kota yang terlewat dan lupa dipersoalkan. Ia menyinggung pula berbagai ekspresi budaya populer yang umumnya meruang di kota.
Bagi Udji, selama ini cerminan bagi masyarakat di desa adalah kota. Di Kota, imajinasi bersaing-berkejaran dengan pelabelan. Seperti dalam puisi berjudul “Nubuat Kota” (2016), Tjahjono Widijanto menulis: kota akan jadi/mimpi yang sibuk dengan tafsir tak pernah usai. Kota menjelma mimpi-mimpi tiap hari. Kota gemar mengobral harapan dan motivasi. Kota menyajikan utopia modernitas dan masa depan cerah. Kota adalah godaan yang senantiasa membikin hasrat tergugah. Kita tak akan menemukan wahana bermain dreamland atau dunia fantasi di desa. Ada kesan, bahwa desa adalah masa lalu, dan kota adalah masa depan yang dapat ditukar dengan uang. Bagi siapa saja yang mau dan mampu.
Citra kota dibangun sedari wilayah administratif. Orang kabupaten pada umumnya mencitrakan kota sebagai identitas yang diimajinasikan lebih menjanjikan. Imajinasi kabupaten memang selalu kalah dengan kota. Maka, sering kali orang-orang kabupaten meminjam kota terdekat sebagai identitas. Kota seakan tercipta untuk menyediakan apa-apa saja yang tidak ada di desa. Pantas saja bila arus urbanisasi kian tak terbendung, entah urbanisasi secara demografi atau kultural. Kota menjadikan kita bagian dari dirinya. Kita kemudian mengalami, memahami, dan menafsir kota tiada habisnya.
Makna Kampung
Siang berjumpa polusi, menuju petang, hingga terlelap disambut udara hitam pekat beraroma baja terbakar. Dan itu setiap hari, setiap malam. Bergumul dengan pabrik baja seberang pemukiman di sela-sela ruang kota. Berbeda dengan kota, sawah, gunung, sungai adalah gambaran fisik khas desa/dusun, sementara menggembala adalah aktivitas khas di sana. Di desa ditandai dengan airnya yang jernih berdesir-desir, dan itu mustahil ada di kota.
Mobilitas penduduk ke wilayah perkotaan memaksa mereka mengisi ruang-ruang kota dengan pemukiman khas kampung. Keseharian di kampung kota lebih sengit ketimbang kampung di desa. Keseharian di kampung kota kurang lebih sebagaimana yang dipuisikan Wiji Tukul. Puisi berjudul “Kampung” (1988) bersyair seperti berikut: bila pagi peccah/ mulailah sumpah serapah/ kiri-kanan rebut/ anak-anak menangis/ suami-istri bertengkar/ silih berganti dengan radio/ orang-orang bergegas/ rebutan sumur umum/ lalu gadis-gadis umur belasan/ keluar kampung menuju pabrik/ pulang petang/ bermata kusut/ menjalani hidup tanpa pilihan.
Orang kampung sering dianggap norak, belum modern, dan udik. Bahkan istilah ”kampungan” lazim dipakai sebagai olok-olok. Kendati kampung menggendong stigma norak, belum modern, dan udik, rupanya istilah itu dirasa strategis dalam logika pemasaran. Pada tahun baru imlek 2568, Solo Paragon Lifestyle Mall mengadakan Kampoeng Tiongkok. Mal yang berafiliasi dengan apartemen terbesar di Solo itu diserbu oleh perut-perut lapar mendatangi 48 stan jajanan di sana. Kita dapat menerima kampung bertempat di desa atau di sela-sela ruang kota. Tetapi, kampung bertempat di mal tentu aneh! Kampung menjelma Bahasa pemassaran, (Udji Kayang, 2019; 48).
Suatu kali Rusli Ramli (1992) menyebut pedagang kaki lima sebagai salah satu pekerjaan yang paling nyata dan paling penting di kebanyakan kota di negara sedang berkembang pada umumnya. Oleh karena merebaknya pedagang kaki lima, menurut Ramli, sampai-sampai sektor informal lantas diidentikkan dengan mereka.
Meski keberadaannya penting di setiap kota, pedagang kaki lima selalu was-was. Mereka senantiasa berada di bawah tekanan, di bawah ancaman. Bagi para pedagang kaki lima, petugas pemerintah lebih “mengancam” ketimbang preman-preman. Bahkan hingga berakhir pada larangan oleh pemerintah untuk memilih sendiri lokasi mereka, mesti dilokalisasi ke zona yang sesuai dengan komoditasnya. Jadi, di kota, semua boleh dilokalisasi, kecuali pelacuran. Sebab, konon itu perusak iman.
Kita mengerti, setiap fantasi berangkat dari sesuatu yang tak ada. Di kota, salah satu yang andil mengacaukan kesadaran ruang adalah mal. Dalam salah satu episode serial kartun Phineas and Ferb, terlihat betapa mal dikonstruksikan sebagai ruang yang menelan ruang-ruang. Phineas sampai mengatakan, “Inilah mal, di mana segala produk kapitalistik terangkum dalam satu ruang.”
Mal-mal meruntuhkan konfigurasi ruang pertokoan yang sudah ada sebelumnya. Toko dan rumah pertokoan (ruko) awalnya berdiri sendiri, di tempat yang dianggap strategis dan bikin laris manis. Setelah itu, konfigurasi ruang pertokoan model plaza, sebelum akhirnya menjadi plaza dalam ruangan berlabel mal.
Memindahkan makanan kaki lima ke dalam mal adalah sesat pikir yang menandai kekacauan kesadaran ruang. Makanan kaki lima tak sekadar persoalan menu dan jenis hidangannya, namun juga aspek ekologis. Tidak jarang makanan kaki lima disantap di tepi jalan yang dilalui bus-bus ganas antarprovinsi. Makanan kaki lima disantap sekian meter dari kematian.
Di Kota, masih pada kesesatannya, di momen-momen besar seperti menjelang lebaran misalnya, mal-mal bahkan menggelar festival dengan tajuk kampung ramadhan. Bukan cuma makanan kaki lima yang dipaksa masuk mal, tapi kampung. Kampung adalah ruang sosio-kultural, sementara mal adalaha ruang transaksi ekonomi dan ingar bingar hiburan manusia modern. Di kota, kerap kita temukan di beberapa wilayah dengan istilah nama kampung atau desa seperti, desa wisata, kampung warna-warni, kampung inggris, kampung kuliner. Kota, menarik desa dan kampung masuk ke dalam ruang perkotaan.
Musik dan Kota
Musik membawa kecurigaan, dan pada akhirnya, menjelma “gangguan”. Hari ini, musik bukan lagi sekadar mengganggu keluarga di perkotaan, melainkan sudah menjadi gangguan bagi kota itu sendiri. Musik di jalan biang kesalahpahaman. Kita menilik berita di surat kabar nasional bertarikh Maret 2018, “Polisi mengakui ada kesalahan menerjemahkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Mendengarkan radio, musik, atau merokok selama berkendara bukan bentuk pelanggaran lalu lintas.”
Berita di atas mengklarifikasi wacana memberi tilang pengendara yang mendengarkan musik di jalan. Mendengarkan musik dianggap menggangu fokus dan konsentrasi dalam berkendara. “Saat itu disampaikan kepada sejumlah media, merokok dan mendengarkan musik bisa merusak konsentrasi pengendara. Itu melanggar Pasal 106 UU No. 22/2009 dan bisa didenda Rp 750.000 atau kurungan 3 bulan.” Di kota, ketergesaan tak hanya label bagi pengendara berburu waktu, tetapi juga bagi pemangku kebijakan yang mengatur orang berkendara, (Udji Kayang, 2019; 103).
Para musisi indi Indonesia semakin hari kian gemar bersuara menyoal kota. Mengapa musisi indi yang bersuara? Mengapa bukan musisi arus utama? Jawabannya, bagi musisi arus utama pada umumnya, musik adalah keindahan, dan berhenti di situ saja. Berkutatnya pada soal cinta melulu. Menyuarakan sesuatu pun, alih-alih hasilnya sekadar gincu motivasi nan syahdu. Tanpa kritik. Bahkan musik diciptakan sebatas untuk memenuhi hasrat keindahan semu, dan sementara.
Di Yogyakarta misalnya, perubahan semakin meninggalkan apa yang dibayangkan KLA Project, yang memberi gambaran kota begitu indah. Bersamaan dengan agenda taman tiban, akhir tahun 2015 silam, ketjilbergerak merilis lagu berjudul “Sebelum Semua Ruang Diukur dengan Uang”. Merespon problem pembangunan di kota, Sisir Tanah mengarang Lagu Hidup. Pembangunan yang kian masif di Yogyakarta ia kritik melalui lagu bertema lingkungan hidup. Maka, citra Yogyakarta “berhati nyaman” sudah harus dievaluasi.
Lagu-lagu yang marak beredar dengan label folk semakin hari justru kebanyakan berkisah tentang cinta, senja, sungai, pohon, dan pemandangan alam. Padahal, rakyat kita justru sedang dihadapkan pada persoalan pelik ihwal pembangunan kota, korupsi, politisasi agama, dan perubahan iklim yang mengubah wajah bumi tak lagi indah untuk dijadikan lagu.
Kota dengan segala persoalannya, untuk terus berkembang dan maju, adalah desa sebagai cerminannya. Kota sekian abad lalu telah mengklaim dirinya lebih beradab dari desa, toh kenyataannya masih gemar “mencatut” nama desa atau kampung semata untuk kepentingan komersil. Desa atau kampung kerap dituding tidak maju, di sisi lain kota berkembang buah dari imajinasinya tentang desa. Kota itu utopis, realitas ada di desa.