
[Semarang -elsaonline.com] Gedung itu letaknya di kawasan Pendrikan yang sekarang bernama Jalan Imam Bonjol, Kota Semarang. Setelah kemerdekaan Indonesia, gedung itu digunakan sebagai kantor Kejaksaan Negeri Semarang. Bangunan tersebut dibongkar kurang lebih pada tahun 1975. Jadi, jangan berharap kita akan menemukan wujud asli bangunanan itu, kini. Kalaulah kita pergi ke tempat itu hari ini, hanya bangunan rumah toko (ruko) dan jejeran perkantoran yang kita dapati.
Bangunan yang dimaksud adalah Loji “Constante et Fidele” (Selamanya Setia). Tembok tegar dengan gaya Neo-Klasik tersebut merupakan pusat kegiatan anggota freemasonry (Vrijmetselarij) di Kota Semarang yang didirikan pada tahun 1801. Kelompok freemason di Semarang sendiri sebenarnya sudah ada bersamaan dengan pendirian lodge pertama di Jakarta, “La Choisie” pada tahun 1764-1766.
Hanya saja cerita tentang lodge “La Constante et Fidele” dan anggota freemason yang sedikit lebih tertata baru bisa direkam pada sekitar tahun 1798. Kegiatan itu sendiri dimulai dengan rencana pembentukan lodge yang menjadi tempat pertemuan anggota freemason. Cikal bakal dari kelompok yang kelak menjadikan La Constante et Fidele sebagai tempat ibadah mereka, berawal dari kelompok kecil bernama “De Goede Hoop” atau Harapan Baik. Meski kecil, “De Goede Hoop” yang dikepalai oleh Willem Jacob Cranssen yang juga anggota lodge “La Vertueuse” Batavia.
Saat anggota rombongan dari “De Goede Hoop” tiba di Semarang, mereka kemudian diterima di rumah J.F. baron van Rheede tot den Parkeler yang sudah lama menjadi anggota “La Vertueuse”. Kelompok ini kemudian mengadakan pertemuan pertama pada tanggal 8 Mei 1798.
Ketika semuanya dianggap memadai, mereka melayangkan surat konstitusi pada tanggal 15 Juli 1798 kepada Suhu Agung di Belanda perihal rencana pendirian loge tersebut. Karena lama tidak ada balasan, mereka mengirim surat yang kedua 28 Februari 1799. Harapan untuk mendirikan lodge kemudian mendapatkan kejelasan pada tahun 1801.
Suhu Agung Nasional Isaac van Tehlingen memerintahkan Wakil Suhu Agung di Batavia Engelhard untuk memberikan surat konstitusi tanda pengesahan pendirian lodge dan pengurusnya. Namun Engelhard kemudian menugaskan Francois van Boeckholtz untuk melakukannya, bukan Engelhard sendiri. Padahal Van Boeckholtz hanyalah anggota “La Constante et Fidele”. Tindakan itu sudah pasti tidak bisa diterima oleh van Rheede. Kepemimpinan di “La Constante et Fidele” sendiri kemudian diambil alih oleh Engelhard dengan keadaan lodge yang tidak jelas kegiatannya karena mewarisi konflik yang muncul saat pertama kali mereka dirikan.
Kegiatan di “La Constante et Fidele” mulai kembali bergairah selepas perang Jawa tahun 1830 an. Orang yang berjasa menghidupkan kembali aktivitas “La Constante et Fidele” adalah Ph.H. baron van Lawick van Pabst. Pada tahun-tahun tersebut anggota lodge sudah mencapai 54 orang. Semua anggota lodge adalah orang Belanda, banyak diantaranya pelaut dan tentara yang pada ummumnya hanya tinggal di Semarang dalam waktu singkat.
Kegairahan kaum masonik dibawah pimpinan van Lawick terlihat ada perayaan pesta St.Jan yang merupakan hari kebesaran kaum masonik tahun 1837. Pada perayaan itu diadakan prosesi besar-besaran yang disertai korps music dan pembawa-pembawa obor. Karena kebutuhan akan perlunya gedung lodge khusus, maka tahun 1845 didirikan gedung di daerah Boebaan.
Kenangan “Gedung Setan”
Gambaran di atas merupakan sejarah kemunculan lodge “La Constante et Fidele” di Semarang yang legendaris itu. Referensi tentang sejarah dan kegiatan kelompok freemason di Indonesia pada awal kali mereka melakukan aktivitas memang sangat jarang sekali. Kronologi di atas penulis kutip dari tulisan Dr. Th. Stevens, “Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962”. Beberapa penulis lokal seperti Amen Budiman (1979) memang pernah menyinggung sedikit tentang “La Constante et Fidele”. Budiman menyebut tujuan “La Constante et Fidele” adalah untuk mencapai emansipasi dan kebebasan manusiawi.
Di Jawa Tengah dan Jogjakarta, seperti yang digambarkan Stevens, selain “La Constante et Fidele” ada juga lodge “Mataram” di Jogjakarta (didirikan 1870), “Princes Frederik der Nederlanden” Rembang (1871), ‘L ’Union Frederic Royal” Solo (1872), “Tidar” Magelang (1891), “Fraternitas” Salatiga (1896), “Humanitas” Tegal (1897) dan “Serajoedal” Purwokerto (1933).
Sifat dari gerakan freemason yang mencita-citakan humanisme universal barangkali menjadi daya tarik. Hingga akhir abad 20, bisa dikatakan organisasi ini adalah tempat bagi kelompok atas. Maka tak heran, banyak dari kelompok atas atau elit Jawa yang kemudian menjadi bagian dari kelompok ini. Sebut saja Pangeran Ario Notodirodjo (Ketua Budi Utomo 1911-1914), Raden Adipati Tirto Koesoemo (Ketua pertama Budi Utomo dan Bupati Karanganyar), Raden Mas Toemenggoeng Ario Koesoemo Yoedho (Putera Paku Alam V) dan Radjiman Wediodipoera. Bahkan menurut Stevens, pelukis asal Semarang, Raden Sarif Bastaman Saleh (Raden Saleh) yang merupakan jembatan antara dua kebudayaan (Barat dan Timur), juga menjadi bagian dari freemason.
Sayangnya, warisan material kelompok freemason di Semarang sudah tidak lagi bisa dikenalkan kepada generasi sekarang. Arsitektur lodge “La Constante et Fidele” yang tinggi besar bercat putih seperti halnya bangunan-bangunan peninggalan Belanda lainnya berubah menjadi ruko-ruko sekarang. Yang tersisa hanyalah cerita turun temurun tentang gedung yang pernah ada di Pendrikan itu.
Sebagian masyarakat sering menyebut itu sebagai “gedung setan”. Dikatakan demikian, karena menurut penuturan beberapa orang yang tinggal di daerah tersebut, gedung itu terkesan angker dan sering terdengar suara aneh. Beberapa diantaranya bertutur kepada penulis kalau “gedung setan” yang dimaksud bukanlah karena angkernya bangunan itu. Sejak zaman kemerdekaan, “La Constante et Fidele” menjadi salah satu warisan Belanda yang dijadikan sebagai “gedung sitaan”. Masyarakat kemudian memplesetkan “gedung sitaan” itu menjadi “gedung setan”. Kebenaran historis apakah ia gedung sitaan atau gedung setan memang belum teruji.
Lenyapnya bangunan “La Constante et Fidele” pada tahun 1975, terjadi setelah pelarangan kegiatan kelompok freemason di Indonesia oleh pemerintah melalui Kepres RI No.264 tahun 1962 tentang larangan adanya organisasi Liga Demokrasi, Rotary Club, Divine Club Society, Vrijmetsclaren Loge (Loge Agung Indonesia).
Meski begitu, bagaimanapun juga raibnya “La Constante et Fidele” tetaplah merupakan kehilangan yang sangat besar. Cerita Semarang awal abad 20 pastilah tidak lengkap jika tidak menyinggung “La Constante et Fidele”. [elsa-ol/TKh-@tedikholiludin]