Oleh: Tedi Kholiludin
Pada tanggal 29 Juni 2024, Prof John A. Titaley, Th.D mengakhiri karir akademik formalnya sebagai Guru Besar Ilmu Teologi. Ia mengawali karir sebagai professor pada 29 November 2001. Uniknya, pidato pengukuhan dan emeritasi dilakukan di dua kampus berbeda. Ayah dua anak itu dinobatkan sebagai guru besar di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga dan mengakhiri muhibah intelektualnya di Universitan Kristen Indonesia Maluku (UKIM) Ambon, yang menjadi tempat pengabdiannya sejak 2017.
Ada beberapa warisan akademik yang penting untuk dipahat dalam ingatan masyarakat akademik, khususnya yang menggumuli studi agama serta kalangan ilmuwan pada umumnya. Salah satu yang sangat penting adalah pendekatan interdisipliner dalam kajian agama. Pada awal 1990-an, John Titaley mengenalkan skema tersebut yang tentu saja tidak bisa dilepaskan dari latar belakang studi yang ditempuhnya selama kurang lebih 5 tahun di San Fransisco Theological Union, Amerika Serikat.
Ketika pulang studi, John Titaley menginisiasi pembentukan Program Pascasarjana Magister Agama dan Masyarakat yang kemudian berubah nomenklatur menjadi Sosiologi Agama pada tahun 1991. Karena didekati secara interdisipliner, maka dibutuhkan pelibatan berbagai macam disiplin untuk mendapatkan sintesis keilmuan. Teori-teori sosial kritis, telaah budaya, sosiologi gender dan berbagai disiplin lainnya menjadi pisau analisis untuk membedah agama sebagai sebuah fenomena.
Pada tahun 2003, ia menajamkan visi interdisiplinaritasnya tersebut dengan membuka Program Doktor Sosiologi Agama di UKSW. Di kelas, mahasiswa tidak mengambil banyak 4 mata kuliah saja, tetapi dengan fokus dan kedalaman yang lebih tajam. Mahasiswa dituntut untuk berkontribusi secara keilmuan yang ditandai dengan lahirnya kebaruan teoritik. Hingga pertengahan tahun 2024, sudah lahir puluhan doktor dalam bidang Sosiologi Agama.
Ketika berpindah ke UKIM, John Titaley bertekad untuk tidak hanya mengajar di tempat baru tetapi juga ingin meninggalkan legasi akademik secara struktural. Ia mengajak koleganya di kampus milik Gereja Protestan Maluku (GPM) tersebut untuk mendesain program doktor bertajuk “Agama dan Kebangsaan.” Pada 2019, akhirnya program tersebut mendapatkan izin operasional dan sudah meluluskan dua doktor hingga pertengahan 2024 ini.
Dalam pengantar sambutan emeritasinya, John menyebut bahwa Program Doktor “Agama dan Kebangsaan” merupakan puncak dalam pemahaman terhadap Kekristenan yang khas Indonesia. Profil yang diharapkan dari mereka yang mengambil program ini adalah “akademisi/cendekiawan agama dan kebangsaan, dan praktisi agama dan kebangsaan (aktivis, promotor dialog antar agama), yang menjadi pelopor dalam mengembangkan kegiatan-kegiatan dan karya akademik tentang hubungan antara berbagai komunuitas agama dalam kehidupan bersama sebagai suatu bangsa”.
Kebutuhan akan suatu pendekatan lintas disiplin adalah kenyataan yang tak terelakkan. Telaah yang bersifat monodisiplin mungkin menjadi kebutuhan di level sarjana tapi rasa-rasanya sudah tidak bisa diulang di tingkatan pascasarjana. Dunia yang sudah semakin terhubung, membuat satu disiplin akan berarsiran dengan disiplin lainnya. Satu masalah tak bisa dicermati semata-mata dari satu sudut pandang saja, karena ada kompleksitas yang menyertainya. Persoalan kemiskinan misalnya, tak lagi semata-mata dilatari oleh problem ekonomi, tapi juga ada masalah kebijakan, kesenjangan sosial dan lainnya.
Dalam dunia yang terhubung ini, agama, sebagai fenomena sosial juga terhubung dengan banyak aspek; politik, ekonomi, media, globalisasi dan seterusnya. Memahami kekerasan yang dilakukan oleh kelompok agama semata-mata dari sudut pandang teologis, menafikan kemungkinan adanya latar belakang lain, misalnya regulasi negara, jurang sosial yang terlampau lebar dan alasan-alasan lainnya. Menihilkan pemahaman akan perbedaan konteks juga berpotensi pada pola analisis yang parsial.