Leuven, Belgia: Keragaman Etnik dan Budaya

Oleh Sumanto Al Qurtuby

Karya Pelukis Belgia, Rogier van der Weyden (1400-1464)  (Sumber: www.artistsandart.org)
Karya Pelukis Belgia, Rogier van der Weyden (1400-1464) (Sumber: www.artistsandart.org)

Buku mungil karya Revindo ini menarik untuk dicermati. Buku berjudul Sebuah Catatan tentang Para Saudara di Eropa ini semacam “catatan jurnalistik” atau “reportase perjalanan” penulis tentang “dunia Eropa” sewaktu ia kuliah di sebuah kampus Katolik di Belgia, tepatnya di Katholieke Universiteit Leuven. Leuven adalah sebuah kota kecil semi-metropolitan yang berpenduduk tidak lebih dari 95 ribu jiwa. Dengan jumlah pelajar yang mencapai sekitar 35 ribu, maka bisa dipastikan denyut nadi kota ini sangat tergantung pada mahasiswa dan komunitas kampus. Menurut catatan penulis, mahasiswa Indonesia yang kuliah di kota ini hanya berkisar 20-an saja. Masyarakat Indonesia yang tinggal di kota ini pun tidak banyak hanya sekitar 40-an orang. Itupun sudah termasuk anak-anak. Di seluruh Belgia sendiri hanya ada sekitar 1.500 warga negara Indonesia. Sedikitnya masyarakat Indonesia yang tinggal di Belgia ini bisa dimaklumi mengingat negara ini memang bukan tempat destinasi favorit bagi warga Indonesia, baik untuk wisata, studi, maupun kerja. Dibanding dengan negara-negara lain di Eropa seperti Belanda, Inggris, Perancis, Italia, atau Jerman, Belgia memang kalah pamor.

Sebagai sebuah “laporan travelling,” buku ini tentu saja jauh dari kesan akademik-ilmiah yang berisi tumpukan teori dan analisis mengenai fakta-fakta sosial kemasyarakatan. Tidak seperti studi-studi sosiologi-antropologi misalnya yang berisi uraian dan penjelasan tentang rumitnya struktur sosial (social structure) dan kebudayaan sebuah masyarakat serta pelik dan beragamnya fenomena dan fakta sosial (social facts) sebuah komunitas tertentu, buku ini hanya berisi “sekilas pandang” mengenai pernik-pernik kehidupan di Eropa yang penulis lihat, dengar, jumpai, rasakan, dan alami saat belajar di kota Leuven.

Pula, buku ini bukan kajian akademik berdasarkan fieldwork (penelitian lapangan) mengenai tema tertentu dengan metode riset tertentu laiknya dilakukan para ilmuwan sosial. Sebagai sebuah “reportase perjalanan” pun, buku ini tidak bisa disejajarkan dengan karya-karya “roman ilmiah” spektakuler seperti Among the Believers (1982) atau Beyond Belief (1999), hasil sentuhan sastrawan kondang dan peraih nobel sastra kelahiran Trinidad, V.S. Naipaul, atau Guests of the Sheik (1965), karya Elizabeth Warnock Fernea, istri antropolog Robert Fernea, yang berisi dialog-dialog yang kuat, inspiratif, dan memukau plus data-data kuantitatif yang sangat kaya. Jika kedua buku Naipaul di atas memuat kisah petualangannya selama melakukan “lawatan spiritual-intelektual” di sejumlah negara berbasis Muslim di luar Arab (yakni Iran, Pakistan, Malaysia, dan Indonesia), buku Warnock merupakan “laporan antropologis” tentang kaum perempuan dan sebuah suku di Irak selatan.

Baik Naipaul maupun Warnock bukan seorang antropolog tetapi keduanya memiliki “instink antropologi” yang luar biasa. Jika Among the Believers: An Islamic Journey merupakan hasil lawatan Naipaul selama tujuh bulan, maka Beyond Belief yang judul lengkapnya: Beyond Belief: Islamic Excursions among the Converted Peoples merupakan buah dari perjalanan sang sastrawan di empat negara mayoritas Muslim di atas selama empat bulan saja. Meski hanya dalam hitungan bulan, Naipaul mampu mengemas cerita dan laporan yang menakjubkan tentang kaum Muslim beserta kekayaan tradisi dan kebudayaan mereka. Berbeda dengan buku mendiang antropolog Clifford Geertz, The Religion of Java (1960), yang—terlepas bahwa buku ini berisi laporan etnografi yang sangat kaya—bertaburan dengan prasangka buruk dan analisis negatif terhadap kelompok Muslim tertentu (misalnya “kaum abangan,” Muslim tradisionalis, atau sufi heterodoks) plus pujian terhadap kelompok Muslim lain (kaum “Islam modernis”), karya Naipaul di atas relatif netral dan imbang dalam mewartakan dan memotret kondisi umat Islam di negara-negara yang ia kunjungi.

Guests of the Sheik-nya Warnock lain lagi. Selama kurang lebih dua tahun, Warnock mendampingi sang suami, Robert A. Fernea, yang waktu itu masih berstatus sebagai mahasiswa doktoral antropologi di Universitas Chicago yang sedang melakukan penelitian disertasi (ethnographic fieldwork) di Al-Nahra, sebuah perkampungan suku Muslim (tribal settlement) di Irak selatan yang mempraktekkan tradisi poligami. Dalam penelitian antropologi, seorang peneliti dituntut untuk tinggal membaur bersama komunitas yang ia teliti serta melakukan seoptimal mungkin semua aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat yang ia teliti agar mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif tentang kebudayaan masyarakat tersebut atau, meminjam istilah Cliff Geertz, “the native point of view.”

Sebagaimana antropolog lain, Robert Fernea pun sama. Selama penelitian, ia bersama sang istri tinggal di antara bilik-bilik (harem) penduduk suku setempat. Tidak sebatas itu, pasangan suami-istri ini juga berpakaian ala masyarakat lokal dan mengikuti adat-istiadat mereka. Wal hasil, Warnock pun sehari-harinya mengenakan pakaian khas Muslimah Arab (purdah) lengkap dengan burqa sehingga hanya mata-nya saja yang kelihatan ketap-ketip. Warnock tidak menyia-nyiakan kesempatan langka ini untuk merekam, meliput, dan menulis semua pernak-pernik kehidupan kaum perempuan dan masyarakat suku ini secara detail mulai dari soal tata cara salat, adat perkawinan, cara perawatan rumah, metode pengoragisasian rumah tangga, ibadah puasa sampai cerita-cerita soal para istri dari seorang sheikh di kampung itu. Tak pelak buku Guests of the Sheik ini kemudian menjadi sangat populer di Barat, Amerika khususnya, karena mengisahkan sebuah tradisi dan komunitas yang asing bagi masyarakat Barat.

Baca Juga  Max Muller dan "Science of Religion"

***

Meskipun bukan sebuah “karya akademik,” buku ini berisi kisah-kisah mencerahkan yang sangat bermanfaat bagi pembaca dan publik luas di Indonesia terutama mereka yang belum pernah bersentuhan langsung dengan dunia Barat tapi seolah-olah mengetahui “jeroan” Barat, dan celakanya lagi, hobi mengecam warga negara Barat yang tidak pernah mereka “gauli” itu. Buku ini juga berisi tentang pengalaman sosial-intelektual-spiritual yang sangat berharga serta pelajaran moral yang sangat kaya—tentu saja bagi yang bersedia membacanya dan bersedia untuk memetik buahnya—mengenai berbagai hal: tentang toleransi beragama, solidaritas sosial, kebaikan agama lain, perjuangan hidup, kemajuan dan kemunduran sebuah bangsa, kemaslahatan umat, dan masih banyak lagi.

Pula, buku mungil ini berisi tentang sejumlah “pengalaman getir” yang bisa menjadi pepeling atau peringatan bagi siapapun. Salah satu pelajaran yang bisa dipetik dari karya ini adalah bahwa kebaikan dan keburukan bukanlah monopoli pengikut agama tertentu, negara tententu, etnis tertentu dan seterusnya, melainkan sesuatu yang sifatnya universal yang bisa terjadi di umat manapun, di agama apapun, dan di negara manapun. Di Indonesia dewasa ini misalnya ada sekelompok Muslim dan ormas Islam yang begitu fanatik dengan hal-ikhwal yang berbau Arab dan Timur Tengah. Arab dan Timur Tengah buat kelompok fanatik ini dipandang sebagai “sumber kebaikan universal” atau “kiblat” untuk segala hal: dari ibadah akhirat yang sakral sampai masalah duniawiyah yang profan. Sebaliknya, mereka berpandangan miring dengan hal-ikhwal yang berhubungan dengan Barat seolah-olah tidak ada kebaikan secuilpun di Barat. Dunia Barat, bagi kelompok ini, identik atau diidentikkan dengan “sumber keburukan dan kemaksiatan” semata.

Pandangan atau penilaian yang esensialis semacam ini tentu saja hanya meyakinkan mereka yang “kuper” alias “kurang gaul” atau mereka yang tidak pernah keliling ke negara-negara dan bersedia belajar tentang kelompok masyarakat lain. Sementara bagi mereka yang berpengalaman berkelana ke berbagai penjuru dunia dan mempelajari aneka kelompok masyarakat, pandangan semacam itu terasa hampa. Seperti disaksikan penulis buku ini, perbuatan baik dan buruk tidak mengenal suku, etnis, dan agama. Penulis melihat bagaimana ulah menyebalkan sejumlah gerombolan begundal “berpotongan” Arab di Brussel yang tidak ubahnya seperti para preman di Tanah Air yang gemar membuat onar dan hobi mengganggu kenyamanan warga. Penulis juga menyaksikan orang-orang Arab yang suka main dan “jajan” di Red Light Districts, yakni kawasan pelacuran dalam bentuk kios-kios berkaca yang menjajakan para perempuan cantik berpakaian ala kadarnya.

Kawasan ini sangat populer di sejumlah negara Eropa. Kaum perempuan yang berprofesi sebagai pelacur pun banyak yang beretnis Arab/Timur Tengah, selain Asia dan Sub-Hahara Afrika. Lebih parah lagi, penulis juga memaparkan sejumlah kasus pemerkosaan atas perempuan setempat yang dilakukan para pemuda Muslim dari Maghribi. Celakanya, seperti diberitakan dalam berbagai media dan laporan persidangan pengadilan, para pemuda Muslim tanggung berusia belasan tadi melegitimasi aksi-aksi pemerkosaan dengan doktrin dan jargon keislaman. Mereka berdalih bahwa “perempuan bule yang tidak berjilbab halal untuk diperkosa”. Kasus ini tidak hanya menggemparkan Belgia. Di sejumlah negara Barat, kasus serupa sering terjadi. Di Australia bahkan seorang tokoh Muslim senior membela si pemerkosa ketimbang mengutuknya dengan alasan serupa: perempuan yang tidak berjilbab halal diperkosa. Saya tidak tahu ajaran Islam yang mana yang dijadikan sebagai “payung teologis” ini.

Harap digarisbawahi bahwa peristiwa memilukan yang dilakukan sejumlah begundal tengik yang kebetulan Muslim ini bukan berarti mencerminkan watak dan perilaku umat Islam secara keseluruhan. Ini juga bukan berarti pelaku pemerkosaan dan kejahatan hanya melulu dilakukan oleh kaum Muslim. Warga non-Muslim berkulit putih maupun hitam juga tidak luput dari tindakan kriminal ini. Pula, meskipun penulis menyaksikan sejumlah warga keturunan Maghribi atau Arab yang mengunjungi “distrik lampu merah”, bukan berarti tidak ada warga kulit putih atau hitam yang mengunjungi tempat pelacuran ini atau berprofesi sebagai, maaf, pelacur. Ini juga bukan berarti tidak ada warga Muslim Arab/Timur Tengah yang baik dan saleh.

Perlu diingat bahwa Belgia, seperti negara-negara lain di Eropa, tidak hanya diisi oleh “warga lokal” (natives) tetapi  juga warga pendatang atau kaum migran. Untuk kaum migran Muslim di Belgia, kebanyakan didominasi oleh warga Maghribi (misalnya Maroko dan Aljazair), Kurdi, Turki, Afrika Utara, dan negara-negara Muslim pecahan Uni Soviet. Karena itu dunia dewasa ini, lantaran arus migran yang begitu deras, sulit untuk mendapatkan sebuah negara yang masyarakatnya homogen. Sebagaimana Timur Tengah yang diisi banyak kelompok etnik, Barat pun dipenuhi oleh masyarakat dari berbagai suku-bangsa, tak terkecuali dari negara-negara berbasis Muslim. Tak pelak negara-negara Barat baik di Eropa maupun Amerika saat ini juga menjadi rumah bagi komunitas Muslim dari berbagai manca negara. Kaum Muslim ini pelan tapi pasti menjadi bagian dari komunitas Barat itu sendiri. Beragamnya masyarakat berdampak pada beragamnya kultur, tradisi, dan pemikiran yang berkembang. Karena alasan inilah maka menilai Barat sebagai entitas yang monolitik seperti sering dilakukan oleh kelompok Islam tertentu di Indonesia sangat tidak relevan, sama tidak relevannya dengan sebagian masyarakat Barat yang menuding kaum Muslim sebagai umat yang homogen baik dari segi budaya, aspirasi politik, dan cara berpikirnya.

Baca Juga  Lewat Peace Talk, Wahid Foundation Dorong Pemuda Turut Menyemai Perdamaian di Desa

***

Buku ini antara lain mengajarkan tentang fakta pluralitas ini, yakni di negara manapun dan di masyarakat manapun di dunia ini, keragaman merupakan sebuah fakta sosial yang tidak bisa dihindari: pluralitas etnis, bahasa, agama, pemikiran, pendapat, kebudayaan, makanan, tradisi, jender, dan seterusnya. Belgia juga tidak luput dari watak pluralitas ini. Seperti dituturkan dan dialami sendiri oleh penulis buku ini, masyarakat dan kebudayaan di negara ini pun sangat warna-warni (colorful). Yang dimaksud dengan kebudayaan (culture) di tulisan ini adalah “socially distributted knowledge  and habits” atau sebuah “kebiasaan dan pengetahuan yang didistribusikan secara sosial dalam sebuah masyarakat.” Sebagaimana negara lain, Belgia juga bukan sebuah suku-bangsa homogen, melainkan syarat dengan keragaman. Bahkan diantara sesama warga Indonesia yang penulis temui sendiri di Leuven pun tidak lepas dari ke-bhineka-an ini. Ada yang santri saleh, Muslim setengah taat, “abangan,” Kristen dan seterusnya.

Berbagai fakta pluralitas telah ditemui penulis dimanapun ia menginjakkan kaki: di kampus, di pasar tradisional, di stasiun kereta, di bus, di toko, di kedai kebab dan sebagainya. Agama atau etnis boleh sama tetapi pandangan dan nasib tidak selamanya serupa. Pula, hampir-hampir tdak ada sebuah negara atau masyarakat yang “memonopoli” praktek dan kebiasaan atau kepercayaan tertentu. Misalnya saja ada anggapan umum yang salah kaprah bahwa praktek klenik identik dengan masyarakat yang “belum maju.” Sementara masyarakat maju dan modern cenderung rasional dan anti hal-hal yang bersifat irasional seperti cerita mitos dan tradisi klenik tadi. Faktanya di negara-negara Barat yang maju pun banyak masyarakat yang mempercayai dan melakukan praktek ini. Penulis misalnya menyaksikan orang-orang di Brussel berbondong-bondong ingin mengusap patung Everard ‘t Serclaes karena ada kepercayaan barang siapa yang mengusap patung yang berposisi tidur miring ini bisa mendapat keberuntungan dalam hidup. Memang perbedaan antara rasionalitas dan irasionalitas sangat tipis. Sesuatu yang dianggap tidak rasional bagi orang lain bisa dianggap sangat rasional bagi yang lain.

Fakta pluralitas lain yang penulis jumpai misalnya tentang warga Muslim Kurdi. Penulis menjumpai sejumlah warga Muslim Kurdi penjual kebab (roti yang berisi sayuran dan daging) yang mengekspresikan kejarakannya dengan warga dan budaya Arab meskipun sebagian besar warga Kurdi tinggal di kawasan Arab.

“Saya orang Kurdi, dan Kurdi tidak sama dengan Arab,” tegas seorang Muslim penjual kebab beretnis Kurdi dari Syria seperti dikutip oleh penulis.

Sejarah Kurdi memang memilukan. Sepanjang sejarah mereka mengalami nasib sial. Kurdi bisa disebut sebagai sebuah “bangsa tanpa negara.” Sebagai komunitas mereka eksis dan hidup menyebar dari Syria, Irak, Iran, Jordan, dan Turki tetapi mereka tidak memiliki negara sendiri yang berdaulat. Kurdistan adalah “negara imajiner” yang hanya ada di alam angan-angan warga Kurdi. Berbagai upaya pemberontakan separatisme telah dilakukan terutama oleh warga Kurdi di Irak dan Turki tetapi selalu gagal total. Pada masa mendiang rezim Saddam Husain, para pemberontak ini ditumpas. Sejumlah perkampungan Kurdi juga dimusnahkan. Karena itu tidak heran jika warga Kurdi di Irak lebih memilih berkoalisi dengan sekutu, terutama dengan Amerika Serikat, untuk menggulingkan Saddam. Ketika pemerintah Saddam tumbang, warga Muslim Kurdi pun bersorak sorai pesta pora di jalan-jalan.

Tetapi nasib warga Kurdi di Irak tidak seburuk dengan nasib mereka di Turki. Seorang warga Kurdi di Leuven bertutur, seperti dikutip penulis, bahwa “Saddam hanya ingin loyalitas politik warga Kurdi. Ia tidak membenci etnik dan identitas Kurdi. Ia hanya geram dengan kaum separatis Kurdi.” Dengan kata lain, warga Kurdi di Irak “hanya” mengalami penindasan politik bukan penjajahan budaya. Sementara di Turki, kaum Kurdi menderita secara politik dan budaya. Mereka tidak hanya dikerdilkan secara politik atau dimumikan dalam sejarah tetapi juga tidak diberi ruang untuk mengekspresikan kebudayaan mereka persis seperti apa yang dilakukan mendiang Suharto terhadap kelompok etnis Cina di Indonesia. Warga Kurdi di Turki dituntut untuk melebur “menjadi Turki”—menjadi “satu bangsa, satu bahasa, satu budaya, dan satu negara”: Turki.

Baca Juga  Tradisi Grebeg Besar dan Simbol Keberagaman

Akibat perlakuan diskriminatif ini, kelompok Kurdi di Turki yang kini ditaksir antara 12 sampai 20 juta jiwa sudah melakukan pembelotan sejak awal pendirian negara Turki modern pada tahun 1923 di bawah pimpinan Mustafa Kemal Attaturk. Konflik horizontal Kurdi-Turki yang berlangsung sejak 1925 sampai kekerasan dewasa ini yang dikoordinir oleh Kurdistan Workers Party telah mengakibatkan puluhan ribu warga Kurdi meninggal, ratusan ribu mengungsi ke berbagai negara (termasuk Belgia), serta jutaan lain mengalami trauma yang begitu mendalam. Data ini belum termasuk kerugian milyaran dollar akibat musnahnya berbagai properti selama berlangsungnya konflik dan peperangan. Melihat demikian parahnya masalah Kurdi di Turki ini, maka tidak terlalu berlebihan jika Henri Barkey dan Graham Fuller dalam buku Turkey’s Kurdish Question (1998) menulis: “The Kurdish issue is Turkey’s most difficult and painful problem that presents an immense moral predicament for Turkey.”

Ekspresi warga Kurdi di Leuven yang menunjukkan ketidaksenangan atau ketidakcocokan terhadap Arab dan Turki, meskipun sesama Muslim, bisa menjadi alat pengukur sekaligus cerminan tentang nasib sial mereka di negara-negara Arab dan Turki.

***

Tentu saja Kurdi bukan satu-satunya etnis Muslim yang dijumpai penulis di Leuven. Ada banyak kaum Muslim dari negara-negara lain yang ia temui di kota ini. Meskipun sama-sama beragama Islam, mereka memiliki pandangan beragam tentang berbagai isu-isu sosial-keagamaan. Selain sesama Muslim, penulis juga menjumpai dan bergaul dengan komunitas Kristen, baik teman-teman Kristen dari Indonesia sendiri maupun dari negara-negara lain. Meskipun sama-sama beragama Kristen, bukan berarti mereka memiliki pandangan seragam persis seperti kaum Muslim tadi. Fakta ini penting untuk ditegaskan mengingat ada sejumlah pihak yang beranggapan bahwa baik Muslim maupun Kristen—atau kelompok agama manapun—adalah entitas monolitik yang memiliki watak, persepsi, pendapat, dan pandangan seragam mengenai berbagai hal. Misalnya, sebagian kaum Muslim menilai umat Kristen sebagai “kaum pembenci Islam”. Pula, sebagian kelompok Kristen memandang Muslim sebagai “musuh Kristen.”

Apa yang dialami oleh penulis buku ini membalik asumsi-asumsi negatif atau syakwasangka tersebut. Banyak orang-orang Kristen yang ia jumpai yang menaruh rasa hormat dan respek terhadap kaum Muslim dan menghormati praktek-praktek ibadah yang mereka jalani seperti puasa di bulan Ramadan. Meski banyak juga dari mereka yang mengidap “Islamophobia” sebagaimana banyak umat Islam yang menderita penyakit “Christianophobia.” Dengan kata lain, lagi-lagi, pluralitas merupakan sebuah fakta sosial yang tidak terbantahkan.

Saya menangkap kesan kuat, melalui buku ini, penulis tidak sekedar ingin berbagi cerita dan pengalaman hidup selama tinggal di Leuven, Belgia, kepada pembaca di Indonesia melainkan juga ingin menyampaikan rentetan pelajaran dari aneka peristiwa yang ia lihat, dengar, rasakan, dan alami selama tinggal di Leuven. Dengan menjelenterehkan kasus demi kasus, momen demi momen, penulis berharap para pembaca menjadi lebih kaya wawasan mengenai “dunia lain” sehingga diharapkan mereka tidak mudah untuk menghakimi “orang lain,” “komunitas lain” atau “bangsa lain,” sementara dengan entengnya memuja-muja agamanya sendiri, komunitasnya sendiri atau bangsanya sendiri. Memang salah satu penyakit manusia adalah sering lupa dengan “borok-boroknya” sendiri sementara dengan mudah menuding kebobrokan orang dan komunitas lain. Tentu saja penilaian semacam ini selain tidak akurat dan berlawanan dengan fakta-fakta sosiologis yang plural juga berpotensi menimbulkan konflik dan ketegangan antar-kelompok atau bahkan “antar-peradaban” seperti yang pernah disinggung oleh ilmuwan politik kondang mendiang Samuel Huntington dalam buku populernya, The Clash of Civilizations.

Perjumpaan (engagement) dan dialog mendalam (deep dialogue) menjadi kata kunci untuk meminimalisir potensi-potensi konflik dan ketegangan tadi sekaligus mengtransformasi potensi-potensi negatif tadi menjadi energi positif guna membangun relasi antar-peradaban yang lebih sehat dan manusiawi. Apa yang dilakukan oleh penulis dengan menyelami, belajar, berdialog, dan kesediaan untuk mendengar keluh-kesah dari komunitas lain merupakan bagian dari upaya untuk membangun hubungan antar-manusia yang lebih manusiawi tadi. Karena memang hanya dengan cara “memanusiakan manusia”-lah, manusia di planet ini—apapun agama dan etnis mereka—bisa hidup damai dan toleran serta saling menghargai dan menghormati keunikan budaya masing-masing. Kekerasan, pertikaian, pengusiran, pemerkosaan dan berbagai tindakan tidak manusiawi lain terjadi karena bermula dari persepsi keliru tentang manusia.

Jika setiap manusia menganggap manusia lain sebagai manusia bukan “setengah manusia” atau bahkan “bukan manusia”, maka kedamaian akan terjadi di muka bumi. Pernyataan ini memang terkesan seperti sebuah mimpi. Tetapi bukankah banyak peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah yang bermula dari sebuah mimpi? Penulis sekarang sedang bermimpi: mimpi untuk mewujudkan sebuah tatanan dunia yang beradab dan manusiwi melalui goresan kisah-kisah menarik dari Eropa, khususnya Belgia.

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini