Majorocracy

Oleh: Tedi Kholiludin

Istilah Majorocracy dikenalkan John Titaley saat saya menempuh studi Sosiologi Agama pada 2007-2008. Ia sendiri mengintrodusir diksi ini sejak awal 1990-an, sesaat pulang dari studi doktoralnya di Amerika. Dari mana istilah itu ia dapatkan? Ketika saya konfirmasi Titaley menyebut kalau ia sendiri yang mengistilahkannya. Kata majorocracy, kata John, terinspirasi dari pikirannya JJ. Rousseau dalam “Social Contract” khususnya di bab Civil State.

Majorocracy (Majority: Mayoritas, Kratein: Pemerintahan) digambarkan sebagai pemerintahan berdasarkan kelompok-kelompok besar. Bahasa sederhananya, pemerintah mayoritas-mayoritasan. Tujuan dari model ini sejalan dengan apa yang digambarkan oleh Rousseau sebagai the will of all atau pemerintahan berdasarkan kelompok besar. Model ini berseberangan dengan kehendak bersama atau general will.

The will of all bukanlah demokrasi, karena mereka yang tak memberikan dukungan bagi yang terpilih, ditinggal di belakang atau tidak dipenuhi hak konstitusionalnya. Tentang hal ini, Titaley (2013) menulis, “Demokrasi bukanlah suatu majorocracy, pemerintahan yang dijalankan sekadar berdasarkan perolehan suara mayoritas saja. Karenanya, setiap bentuk mayoritas tidak selalu berarti baik dalam kehidupan demokrasi. Melalui kehidupan demokratik hak sasi manusia dijamin, karena tertuang dalam general will.”

Sebelum Titaley, pada 1953, Soekarno juga pernah mengintrodusir istilah ini sebenarnya. Ketika itu, Soekarno menjawab pertanyaan Dachlan Ranuwihardjo soal relasi Pancasila dengan Islam. Kata Soekarno “Democracy does not mean majorocracy, or more clearly, our democracy does not mean majorocracy, because we are obliged to hold ” mushawarah” , and not mere votings, what is the majority of votes..” (Indonesian Affairs, Volume III No 6/7, June/July 1953)

Pokok persoalan dalam kehidupan bersama, sebenarnya terletak pada pemerintahan yang didasarkan pada “menang-menangan” itu, atau the will of all. Setiap kelompok sosial, dalam rupa bentuk (partai politik, institusi agama dan lain sebagainya) punya potensi menjadi eksklusif. Disaat mereka menjadi grup besar, maka kelompok ini berpotensi membawa kendaraan sesuai dengan kehendak kelompok mayoritas dengan mengabaikan hak dari mereka yang kecil.

Baca Juga  15 Siswa Sedulur Sikep Sedang Bersekolah

Dalam filsafat politik kita mengenal istilah Majoritarianism. Kita memahami terma ini sebagai filosofi atau ide dalam lanskap politik dimana kelompok mayoritas (kadang-kadang dikategorikan berdasarkan agama, bahasa, kelas sosial, atau faktor pengidentifikasi lainnya) dari populasi berhak atas tingkat keunggulan tertentu dalam masyarakat, dan memiliki hak untuk membuat keputusan yang mempengaruhi masyarakat. Ide ini sebenarnya mendapat kritikan keras dan dalam perjalanannya ada upaya untuk memasukkan batasan tertentu dengan tujuan melindungi hak fundamental warga negara. (Przeworski dan Maravall, 2003)

Kelompok besar, potensi mengidap “majoritarianism syndrome.” Makanya ada kebutuhan untuk membangun tata laksana pengaturan hak warga negara yang melampaui aturan dari kelompok yang banyak (beyond majority rule) itu.

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Nahdlatul Arabiyyah Semarang: Jejak Keturunan Arab yang Terlupakan (Bagian Pertama)

Oleh: Tedi Kholiludin Pertumbuhan organisasi keturunan Arab di Hindia Belanda...

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini