Judul Buku: Mengislamkan Jawa, Sejarah Islam di Jawa dan Penentangnya; Dari 1930 Sampai Sekarang
Penerbit: NUS, Press, Singapore, 2012
Pengarang: M. C. Ricklefs
Tebal buku: 887 halaman
Peresensi: Mustaqim
Masyarakat Jawa telah mengembangkan sebuah budaya literar dan religius. Sangat dimungkinkan, sebelum abad ke-14 kaum Muslim telah sampai ke Jawa dan ada orang Jawa yang masuk Islam. Perkembangan Islam di Jawa tak terdokumentasi dengan baik. Namun manuskrip-manuskrip dari abad ke-16, menunjukan Islam mengakomodasi lingkungan budaya Jawa.
Dalam buku itu disebutkan, sholawatan yang merupakan kisah narasi kehidupan Nabi Muhammad SAW di dendangkan oleh kaum laki-laki entah dalam bahasa Arab atau Jawa. Biasanya, sholawatan juga diiringi terbangan (tamborin) tunggal tetapi dengan gaya Jawa.
Secara khusus, sholawatan dilakukan pada kesempatan-kesempatan seperti perikahan, sunatan, peringatan umur kehamilan tujuh bulan, peristiwa puput pusar bayi, dan penebusan janji. (h 79).
Terlepas dari kenyataan bahwa masyarakat Jawa pada masa itu mendrita kebutahurufan dan kemiskinan, di tingkat desa terdapat banyak orang jawa yang dengan sungguh-suggguh menghayati apa yang mereka pahami sebagai Islam yang benar.
Dalam pengamatan lapangan buku tersebut, dipotret bagaimana kehidupan sederhana petani desa. Mereka miskin secara harta dunia, tetapi kaya secara karakter dan moral. Walaupun buta huruf dalam abjad romawi, mereka dapat membaca dan beberapa diantaranya bisa menulis dalam abjad Arab.
Mereka menghabiskan waktu dengan mendaraskan Alquran dan sangat tegas dalam menjalankan apa yang diperbolehkan agama (halal) dan yang di larang (haram). Ketegangan yang terus berlangsung antara pengikut Islam tradisional dan kalangan Sintesis Mistik Islam Jawa lama.
Betapa pun tidak nyamannya kaum religius murni terhadap beberapa praktek dalam tradisi Jawa lama, kehidupan ritual istana tetap dipertahankan untuk menjaga kelangsungan tradisi-tradisi yang menghidupkan Sintesis mistik Islam Jawa. Kebudayaan Islam itu tidak murni, akan tetapi bercampur dengan kebudayaan Arab, India, Persia, Sumatera, Jawa, demikianlah seterusnya.
Islam di Jawa masih banyak dipengaruhi oleh mistisisme dan dalam hal ini pun ada beragam kontroversi pada dasawarsa 1930-an. Di Jawa, para kiai Tradisional yang merupakan pengikut aliran atau mazhab Syafi’I dan anggota NU juga merupakan pendukung dan pemimpin mistisisme Islam dengan praktek-prektek devosional (wirid, atau wird dalam bahasa Arab). (h 102)
Bahkan seorang pengikut setia tradisi Jawa dan tokoh yang mengakui adanya kekuatan kekuatan spiritual seperti Abdurrahman Wahid meyakini bahwa, dalam jangka panjang, berbagai bentuk kesenian khas Jawa seperti wayang akan bertahan, tetapi dengan kandungan Islami lebih banyak di dalamnya.
Persoalan paling mendasar bagi sebagian besar kaum modernis mengenai tradisi Jawa slametan, kekuatan spiritual yang hadir dalam pertunjukan tari, Ratu Kidul, keris yang “bernyawa dan hidup”, praktik sufi dan semuanya yang lain adalah karena mereka kental dengan nuansa takhayul dan irasionalitas.
Terlepas dari sikap keras rezim Orde Baru terhadap aspirasi politik kaum Modernis dan pengaruh kalangan Tradisional di pedesaan, kebijakan pemerintah dan aktivitas para pembawa Islam di tingkat akar-rumput semuanya menuju transformasi religious masyarakat Jawa dan rakyat Indonesia pada umumnya.
Antara kelompok Tradisionalis dan Modernis mempromosikan Islamisasi yang lebih dalam. Namun demikian , upaya ini mendapat serangan balik dalam bentuk kemunculan dua gerakan kebatinan yang dipimpin oleh seorang yang mengklaim memiliki kekuatan supranatural. Dalam kasusnya, mistisisme yang muncul bukan mewujud sebagai Sufisme Islam tetapi kebatinan Jawa ragam lama.