Oleh: Tedi Kholiludin
Ada dua cara pandang yang jamak digunakan untuk melihat keragaman budaya. Pertama, model melting pot. Secara harfiah, melting pot berarti wajan peleburan. Pendekatan ini dimaksudkan untuk melihat sebuah masyarakat yang awalnya heterogen lalu berbaur dan menjadi satu identitas baru. Pengelolaan keragaman dalam perspektif ini dimaksudkan untuk membangun kelompok dengan narasi identitas yang berbeda dengan muasalnya. Tentu saja, identitas baru yang merupakan peleburan dari identitas lama itu dicapai melalui sebuah kesepakatan. Sehingga bentuk baru ini adalah sesuatu yang memang didasarkan atas kerelaan.
Konsekuensi dari terbangunnya identitas baru ini adalah hilangnya identitas lama. Ia harus bernegosiasi dengan keadaan, yang pada gilirannya, keharusan untuk menanggalkan yang lama. Gambaran tentang terbentuknya Negara Amerika abad 18 kerapkali dikaitkan dengan model melting pot ini. Kelompok yang hendak membangun negeri ini harus rela menanggalkan adat dan tradisi lamanya untuk kemudian hidup dengan cara dan nilai baru di negara barunya itu.
Kedua, adalah model salad bowl atau mangkuk salad. Percampuran bahan-bahan (sayuran dan buah-buahan) yang menjadi komposisi salad, tak merubah atau bahkan meleburkannya. Potongan tomat, apel, sayuran dan lainnya tetap terlihat sebagaimana aslinya. Di dalam mangkuk itu, kita masih bisa melihat keragaman bahan. Tidak ada yang berubah.
Pengelolaan atas keragaman melalui jalan ini adalah dengan tetap mempertahankan karakter dasar dari identitas lama sebuah kelompok. Meski kemudian ada interaksi didalamnya, namun hubungan-hubungan yang terjalin, sama sekali tidak menghilangkan ciri dan karakternya. Inilah model pengelolaan keragaman yang dianggap sedikit lebih baik ketimbang cara meleburkan ala melting pot tadi.
Rupanya, dua pendekatan tersebut belum cukup mampu mendorong interaksi yang lebih intens diantara kelompok sosial yang memiliki latar belakang majemuk. Betapapun model “salad bowl” sedikit lebih maju dalam konteks pemertahanan jati diri kebudayaan lama, namun ada hal yang dirasakan kurang; intensitas hubungan, rekognisi kultural, keunikan kebudayaan tertentu dan lain sebagainya.
Terhadap kehendak untuk untuk menaikan derajat koeksistensi itu, maka ada dua tawaran konseptual yang bisa menjadi jalan keluar; pluralisme atau multikulturalisme. Untuk mengenalinya, kita bisa melihat dua gagasan itu dari tiga sudut; ruang publik, diversitas kultur dan prinsip dominan.
Gagasan pluralisme memandang bahwa individu diperlakukan sama dalam sebuah ruang publik yang netral. Berbeda dengan cara pandang ini, multikulturalisme melihatnya berbeda. Ruang publik, seturut ide multikultural, tidak pernah netral secara kultural. Ruang publik adalah arena untuk negosiasi. Tapi, perlu diingat bahwa dalam ruang itu, tidak boleh ada salah satu grup yang dominan dan menghilangkan atau menyingkirkan kelompok yang lain. Semuanya boleh eksis dan dipersilahkan untuk saling bernegosiasi.
Terhadap perbedaan budaya, ide pluralisme mengaku dan menempatkannya pada ruang kultural yang terpisah. Namun, masyarakat tidak memiliki kewajiban untuk mengakui atau mendukung bentuk-bentuk kebudayaan lainnya. Karenanya, pluralisme, sangat mungkin untuk “mengizinkan”, atau setidaknya mendiamkan, kala terjadi peleburan salah satu jenis kebudayaan.
Multikulturalisme melihat bahwa perbedaan budaya itu harus terus didorong. Individu dianggap sebagai bagian dari sebuah kolektivitas yang memberi makna bagi kehidupan mereka. Multikulturalisme berusaha mencari jalan untuk mendukung kolektivitas-kolektivitas tersebut.
Jika dalam pluralisme yang dominan adalah ide mengenai kesempatan yang sama dan kebebasan berasosiasi, maka diskursus multikulturalisme dihiasi dengan gagasan mengenai afiliasi dan rekognisi budaya. (bersambung)