[Sentani –elsaonline.com] Ketika Indonesia dibentuk, ada harapan. Tetapi pada perjalanannya, seperti ada yang lupa dirawat dengan baik. Salah satunya adalah konsep kemajemukan yang dikaitkan dengan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB). Bagaimana nilai kebersamaan yang menyatukan itu bisa diwujudkan.
Prof. Machasin, Staf Ahli di Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia Kementerian Agama Republik Indonesia, menyampaikan hal tersebut dalam Konferensi Nasional Jaringan Antar Iman di Sentani, Papua (19/5). Menurut Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia tersebut, ada bangunan kebangsaan yang terlupakan. Padahal, ciri khas bangsa Indonesia itu sesungguhnya terletak pada keterbukaannya untuk menerima perbedaan.
“Lihat di Ambon misalnya. Umat Islam yang membantu mendirikan gereja atau umat Kristen yang turut bantu mendirikan mesjid itu sesuatu yang sangat biasa,” urai staf pengajar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Machasin mengingatkan bahwa memang ada level yang berbeda dalam memahami kehadiran agama-agama lain. “Saya seringkali mencontohkan kepada mahasiswa. Meski ini sebenarnya sekedar guyonan saja. Tapi ada nilai pentingnya. Saya bilang kepada mereka, saat madrasah saya menganggap bahwa yang paling benar itu NU (Nahdlatul Ulama, red). Ketika kuliah S1 saya melihat bahwa Muhamadiyyah juga benar. Pas S2, saya anggap Islam saja yang benar. Selain itu salah. Tapi pas S3 saya kok melihat tidak ada yang benar. Maksudnya mereka benar secara parsial saja,” kata Machasin seraya bergurau. Nilai yang ingin disampaikan maksudnya adalah bahwa meski tidak semua, tetapi level pendidikan memang kerapkali menentukan cara pandang seseorang.
Ia sering menemukan kelompok keagamaan tertentu yang tidak jelas riwayat pengetahuan keagamaannya, lalu tiba-tiba mencap sesat kelompok lain. Model beragama seperti ini tentu saja tidak sehat dalam hubungan antar dan intern umat beragama. [elsa-ol/TKh-@tedikholiludin]