Meneladani Buddha

Oleh: Tedi Kholiludin

Hari Waisak, bagi umat Buddha menjadi semacam tetesan air yang jernih di tengah teriknya padang pasir. Ada perasaan yang sungguh menenangkan jiwa. Trisuci Waisak bagi umat Buddha bukan hanya sekadar mengingat tiga peristiwa penting dalam kehidupan Sang Buddha Gotama, pendiri agama Buddha, yakni: kelahiran Pangeran Siddhattha Gotama (623 SM), Petapa Gotama mencapai Kebuddhaan Sempurna (588 SM), dan Buddha Gotama Parinibbana (mangkat) (543 SM).

Memperingati Waisak bagi umat Buddha adalah semangat menyucikan diri. Ada satu spirit yang juga dikembangkan oleh Buddha selama hidupnya, yaitu semangat untuk menjadi diri sendiri dan menghargai universalitas. Dalam konteks inilah seharusnya ajaran sang Buddha dikembangkan sebagai satu kesatuan utuh untuk menangkap makna dari peringatan Waisak.

***

Charles Kimball seorang Guru Besar studi Agama di Universitas Wake Forest menggambarkan dengan cukup baik bagaimana Buddha mengembangkan tradisi kritik dalam beragama. Dalam bukunya, When Religion Becomes Evil (2002) Kimball mengungkapkan bahwa taklid buta adalah tanda yang pasti tentang adanya suatu masalah.

Kecenderungan agama menjadi jahat benar-benar akan berkurang manakala terdapat kebebasan bagi pemikiran individui dan ketika pengkajian yang jujur selalu didorong. Semangat inilah yang terus menerus dikobarkan oleh Buddha hingga menjelang wafatnya. Ketika ia berbaring di tempat kematiannya, Buddha menekankan tanggung jawab manusia dan menggunakan metafora cahaya. Dia menyampaikan kata-kata akhir tersebut.

“Jangan terima begitu saja apa yang kamu dengar dari laporan. Jangan terima begitu saja agama. Jangan terima begitu saja suatu pernyataan hanya karena ia ada dalam kitab kamu, atau karena ia sesuai dengan keyakinanmu, atau karena ia adalah kata-kata gurumu. Jadilah lampu yang menerangi dirimu sendiri. Siapa saja yang kini atau nanti setelah aku mati, percaya kepada diri sendiri dan tidak meminta bantuan orang lain selain dirinya sendiri, dialah orang yang akan mencapai puncak tertinggi.” (Kimball; 2002).

Baca Juga  Perayaan Imlek, Perayakan Syukur Petani

Buddha nampaknya merasa perlu untuk menekankan tradisi kritik dalam beragama ini. Karena truth claim yang biasa hadir dalam pergumulan masyarakat beragama, biasanya bermula dari bentuk fanatisme yang berlebihan terhadap agama. Klaim kebenaran kaku merupakan faktor yang menyebabkan dehumanisasi orang lain yang berbeda. Dan ini biasanya dimulai dari klaim kebenaran atas teks suci yang memberikan justifikasi bagai perilaku yang berlawanan dengan kebenaran agama yang terkandung dalam kitab suci itu sendiri.

Semangat yang senantiasa ditunjukan Buddha adalah hidup nirkekerasan. Itulah salah satu bentuk dari ajaran yang terus menerus dikembangkan oleh Buddha. Bahwa beragama tidak hanya berwujud penerimaan terhadap nilai-nilai, tetapi lebih dari itu, beragama juga mengandaikan terpenuhinya hak sebagai manusia yang beragama, yang senantiasa selalu mengandaikan hadirnya proses komunikatif antara manusia itu sendiri dengan sesamanya, kitab suci dan Tuhannya.

Universalitas Nilai
Ajaran lain yang juga sering ditekankan oleh Buddha adalah penerimaan terhadap keragamaan dan mengakui adanya universalitas nilai dalam tradisi (agama) yang berbeda. Dan gambaran ini diungkapkan secara gamblang oleh Gunaseela Vitanage (2003).

Mafhum diketahui bahwa ketika Buddha berada di India, selain agama yang dominan (Brahmanisme), terdapat beberapa agama, sekte dan aliran filsafat. Agama yang utama tidak disebut dengan Brahminisme atau Hinduisme tetapi Sanatana Dharma atau agama yang abadi (immortal religion). Agama lain yang juga memiliki banyak pengikut pada zaman tersebut adalah Jainisme yang didirikan oleh Mahavira, saudara tua yang semasa dengan Buddha.

Selain agama tersebut, berkembang juga aliran filsafat. Seperti aliran Theistik atau penciptaan (Makkhali Ghosala), aliran Materialis (Ajita Kesakambali), aliran Skeptis ataupun agnostik (Sanjaya Bellatiputta), aliran Natural Determinis (Purana Kassapa), aliran Kategoralis (Pekkuda Kaccana) serta aliran eklektikal (Nighantha Nata Putta atau Mahavira). Selain itu juga berkembang kelompok-kelompok pertapa seperti Paribbajakas, Acelakas, Ajivakas dan Jatilas.

Baca Juga  Akademi Kiri

Semua agama dan aliran filsafat serta kelompok pertapa ini hidup dalam suasana yang sangat harmonis. Dan Buddha menganggap semua agama dan aliran tersebut sebagai kesatuan yang sama-sama sedang mencari jalan menuju Tuhan. Buddha sungguh-sungguh tidak menganggap bahwa ajarannya lebih baik dari ajaran lainnya.

Buddha mengungkapkan pandangannya ini dengan ujaran “Aku tidak ingin mencari murid, tidak ingin berharap dapat membuat orang lain lepas dari janji-janji agama mereka, juga tidak berharap orang lain meninggalkan jalan hidup mereka, tidak berharap dapat membuat anda di jalan yang salah atau membuat anda meninggalkan jalan-jalan yang baik. Tidak sama sekali”.

Beberapa hal yang bisa kita ambil sebagai ajaran universal yang dikehendaki Buddha seperti yang ia ungkapkan di atas adalah pertama, maksud dan misi Buddha di dunia ini adalah tidak untuk mengumpulkan pengikut dalam jumlah besar (kuantitas) dengan sekadar meminta mereka merubah identitas agama, tetapi mengajarkan manusia tentang keinginan yang baik untuk mencapai kebahagiaan dan kedamaian batin. Kedua, Buddha tidak menginginkan penganut agama lain yang berharap menjadi muridnya agar membuang apa yang benar dan baik di dalam kepercayaan mereka sendiri.

Buddha mengakui sepenuhnya adanya ajaran yang dalam ukuran besar atau kecil ada dalam ajaran agama lain. Ketiga, Buddha mengajarkan apa yang ia anggap sebagai sebuah “cara beragama” dengan memegang prinsip edukatif yang didasarkan atas kepercayaan dan kesadaran diri. Keempat, Buddha tidak pernah mengklaim dirinya sebagai penyelamat dalam pengertian orang yang memikul dosa orang lain. Tetapi ia bermaksud menganggap dirinya orang yang sedang mengajarkan kebenaran yang menyelamatkan menuju kelepasan terakhir dari penderitaan (vimutti).

Inilah ajaran Buddha yang perlu terus dihidupi. Karenanya, Waisak adalah tentang bagaimana melakukan transformasi nilai-nilai ajaran Sang Buddha yakni tentang mengembangkan sikap penghargaan terhadap keyakinan yang berbeda.

Baca Juga  Sesaji di Tengah Erosi Tradisi
spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

Tiga Tema Alkitab sebagai Basis Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam "Justice and Only Justice: A Palestinian...

Kekristenan Palestina dan Teologi Pembebasan: Berguru Pada Naim Stifan Ateek

Oleh: Tedi Kholiludin Ia adalah seorang Palestina dan bekerja sebagai...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini