Oleh: Ahilyatuz Zakiyah F. (Peneliti di eLSA)
Maret, 2020, rintik hujan sedang sering turun di Semarang. Saya memandang langit yang seakan murung. Pohon-pohon juga nampak berkabung. Jalan sepi. Kota dihidupi pekerja kalangan kelas menengah ke bawah yang tidak bisa meninggalkan rumah, hanya dengan itu nampak ramai. Mahasiswa banyak yang pulang ke kampung halaman.
Pada lain hari, seseorang menunjukkan foto saat Misa online kepada saya. Misa dipimpin oleh Uskup Agung di Gereja Katedral Semarang. Ada perasaan menyala pada dirinya ketika Uskup berjalan melewati kursi-kursi kosong yang berbaris hening. Saya turut larut menyamai perasaannya dan terharu akibat efek dramatis foto itu.
Saya rasa, semua ada pada situasi berkubang dalam kedukaan. Ditambah lagi jika sering membaca berita kematian. Tetapi ada banyak juga yang memperbaiki keadaan pikiran dengan mencipta wacana untuk didiskusikan melalui media online. Maka, pintarlah memilah supaya dirimu tidak sesak.
Saya berusaha mengatasi perasaan naik turun dengan menepi. Menelepon eyang. Suatu sore saya menelepon Eyan Jasmi. Karena eyang harus mengurus kambing, dan mempersiapkan bunga untuk dijual pada esok hari di pasar, akhirnya kami dapat leluasa mengobrol waktu malam.
Eyang hidup dengan menantu perempuan dan 2 cucu di rumah. Anak semata wayangnya telah meninggal. Eyang, tidak kalah dengan situasi. Usianya telah naik 74 tahun. Dalam keadaan pandemi seperti sekarang ini, eyang tetap ke pasar menjual bunga yang biasanya digunakan masyarakat sekitar untuk nyekar (baca: ziarah). Eyang sempat bingung tidak bisa jualan, ketika pasar ditutup selama 2 hari. Karena, itu artinya tidak ada pemasukan. Sedangkan menantunya menjadi buruh tani yang menggarap sawah tetangga. Bagi orang yang belum mengetahui lebih jauh tentang alur kehidupan eyang, hal semacam itu terkesan biasa, dan pasti banyak kita temui.
Mungkin ada yang beranggapan bahwa eyang miskin karena berpendidikan rendah dan malas bekerja. Permasalahannya, pemerintah yang telah merampas hak pendidikan masa muda eyang menjadi tahanan politik tahun 1965. Bahkan tidak hanya Eyang Jasmi yang ditahan, orang-orang yang hidup serumah dengannya juga ditahan tanpa sebab. Mereka adalah kakak kandung, dan kakak ipar. Setelah Eyang Jasmi bebas lalu menikah, suaminya juga ditahan, dan diasingkan di Pulau Buru.
Anehnya dalam telepon itu, beberapa kali saya tertawa. Bagaimana tidak, eyang sering keliru menyebut istilah “corona (baca: korona)” menjadi “karunia”. Eyang memiliki pembawaan yang humoris. Emosi yang saya rasakan justru timbul ketika menutup telepon. Saya teringat tanggal 24 Maret sebagai Hari Hak Atas Kebenaran dan Martabat Korban Pelanggaran HAM Berat Sedunia yang bersamaan dengan terjadinya wabah pandemi di Indonesia. Ini mengingatkan kembali pada diri saya bahwa penyintas 1965 yang dulu ditahan sangat kekurangan pangan.
Penyintas lainnya, bernama Eyang Maryadi, 96 tahun. Dalam kisahnya, ketika ditahan di Nusakambangan, setiap hari ada sekitar 5-10 orang meninggal. Di sana, muncul penyakit “honorudin”. Penyakit yang baru saya dengar. Kata eyang, penyakit itu membuat manusia kehabisan darah. Itu disebabkan, karena makanan yang tidak
layak. Sedangkan di Pulau Buru, muncullah “malaria” yang mematikan.
April, Mei korban corona semakin bertambah. Pernah suatu hari di bulan Mei, ada penyintas yang harus masuk rumah sakit. Satu ruangan untuk 3 pasien rawat. Ada pasien baru yang masuk dengan wajah merah, Eyang Soemini menceritakan pada saya melalui telepon. Malamnya pasien baru itu langsung dipindahkan karena memiliki ciri-ciri gejala corona. Ruangan langsung disemprot disenfektan dan eyang dipindahkan ke ruang lain. Yang sempat dirawat di rumah sakit ini adalah Eyang Soemini, karena sakit vertigo.
Bulan Juni, setelah kondisi New Normal mulai diterapkan sejak Mei 2020, aktivitas mulai kembali seperti semula. Sayangnya perintah Jokowi ini untuk berdamai dan hidup berdampingan dengan corona diiringi dengan banyaknya korban meninggal yang semakin bertambah. Dan diantara orang-orang yang rentan adalah mereka yang berusia senja, tak lain dari mereka adalah penyintas 1965 yang tidak sedang mengalami situasi begini untuk pertama kalinya.
Pemerintah harusnya juga tahu diri, untuk tidak kedua kalinya membiarkan penyintas 1965 sampai kehilangan hak-hak dasarnya. Kesulitan makan bergizi misalnya! Jangan jadi penjara kedua kalinya.