Ibnu Rusyd atau biasa dikenal dengan al-Hafid memiliki nama lengkap Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd. Lahir di Qurthubah pada 520 H / 1126 M. Dalam bidang filsafat Ibnu Rusyd sangat mengagumi Aristoteles. Kekaguman ini selain terlihat dari beberapa karyanya yang banyak berisi penjelasan (syarh) dan ringkasan (talkhîsh) atas karya-karya Aristoteles, juga dapat dipahami dari beberapa pernyataannya.
Dalam salah satu karyanya, Tahâfut al-Tahâfut, Ibnu Rusyd menyatakan bahwa yang dimaksud dengan orang yang mendapat anugrah dari Allah dalam QS. Al-Mâ`idah 54 adalah Aristoteles.
Pernyataan itu mungkin berlebihan, tapi demikianlah kenyataan menggambarkan betapa kagumnya Ibnu Rusyd terhadap Aristoteles. Kekaguman ini menjadikan Ibnu Rusyd seakan-akan taqlid buta terhadapnya.
Jamil Saliba dalam bukunya, Min Aflâthûn ilâ Ibni Sînâ, menggambarkan sikap Ibnu Rusyd kepada Aristoteles sebagai orang yang sangat taat dan sangat mempercayai segala ungkapannya. Andai Aristoteles menyampaikan pernyataan yang tidak mungkin terjadi atau jauh dari kebenaran, Ibnu Rusyd akan tetap mengikutinya. Jamil Saliba mengatakan: “Andai Aristoteles mengatakan dalam waktu yang bersamaan seseorang bisa berdiri sekaligus duduk maka Ibnu Rusyd akan mempercayainya.”
Gagasan-gagasan Ibnu Rusyd dalam bidang filsafat mendapatkan tempat yang sangat tinggi, baik di mata ulama maupun penguasa pada masanya. Seiring berjalannya waktu, Ibnu Rusyd pernah mengalami ujian besar yang disebabkan oleh beberapa gagasan dan kritik-kritiknya terhadap sarjana fiqh (fuqahâ`) yang saat itu hanya bisa membebek kepada imam-imam madzhab.
Fuqaha ini selain tidak kreatif, konservatif, juga banyak yang sombong dan berebut kekuasaan di hadapan penguasa. Oleh karena itu ketika Ibnu Rusyd menyerukan pembaharuan dalam berpikir baik dalam bidang fiqh, filsafat, maupun yang lainnya dan mengkritik praktik taqlid sarjana-sarjana pada masanya banyak yang tidak terima.
Sarjana-sarjana yang kontra dengan Ibnu Rusyd ini kemudian menuduh Ibnu Rusyd musyrik, keluar dari agama Islam, sebagai penyembah bintang, mengingkari kisah musnahnya kaum ‘Âd, dan tuduhan-tuduhan negatif lainnya. Selain itu karya-karya Ibnu Rusyd juga banyak yang redaksinya dirubah, lalu dibacakan di majelis-majelis pengajian sehingga keterangan dari Ibnu Rusyd terkesan menyimpang dan bertolak belakang dengan syari’at.
Provokasi itu kemudian diterima oleh penguasa, khalifah Abu Ya’qub. Khalifah menganggapnya sebagai kebenaran lantaran banyaknya ulama-ulama yang mengiyakan. Atas dasar itu akhirnya Abu Ya’qub menjatuhkan vonis terhadap Ibnu Rusyd berupa diasingkan ke luar Andalusia dan semua karya-karyanya dibakar. [elsa-ol]