Menyuarakan Suara-Suara yang Bersuara

Oleh: Pdt. Weinata Sairin
Pendeta di Gereja Kristen Pasundan (GKP)

“Sonare inani voce. Bicara dengan suara kosong”.

Dalam kehidupan modern, peranan ”suara” sangat penting. ”Suara”, dalam arti ’perkataan’, ’pendapat’, ’gagasan’, juga ”suara” dalam konteks pemilihan pimpinan dalam berbagai level, dan ”suara” dalam pengertian standar, semuanya memiliki makna yang penting.

Dalam suatu acara penggalangan dana, panitia mengundang penyanyi top. Suara merdu sang penyanyi akan dilelang dan para tamu yang berkantung tebal akan ”membeli” suara itu. Andaikata pada saat yang sudah ditentukan sang penyanyi tak bisa datang karena ada masalah dengan ”suara”-nya maka upaya panitia menggalang dana bisa gagal. Padahal, karakter suara penyanyi itu amat khas, lembut melankolis, tak bisa dicarikan penggantinya.

Kita maklum bahwa karakter suara penyanyi amat spesifik. Dengan karakter seperti itu sang penyanyi cocok untuk membawakan lagu dari genre musik tertentu.

Karakter suara dalam konteks menyanyi sangat penting. Orang yang menyanyikan sebuah lagu harus paham bagaimana karakter suaranya.

Berdasarkan hal itu ia bisa memilih lagu yang pas. Orang yang bersuara serak-serak basah tidak bisa menyanyikan sebuah lagu berirama keroncong dengan sempurna di suatu pentas musik, kecuali di kamar mandi. Itulah sebabnya, pada saat kita memasuki grup paduan suara, suara kita dites terlebih dahulu, apakah karakter suara kita lebih cocok untuk sopran, alto, tenor, atau bas. Dengan demikian, pada waktu kita berpaduan suara (koor), kita ditempatkan sesuai dengan karakter suara kita masing-masing.

Sangat penting bagi kita, untuk memahami notasi sebuah lagu secara standar. Di Sekolah Rakyat, lebih dari setengah abad yang lalu, para peserta didik dalam mata pelajaran menyanyi diajarkan lagu baru, dimulai dengan mempelajari not (angka). Seorang murid harus bisa membaca not angka sesuai dengan tangga nadanya dan tidak mengeluarkan suara yang sumbang (fals). Dengan demikian, sebuah lagu dipelajari dengan membaca notasinya.

Baca Juga  Sarekat Islam dan Gerakan Kiri di Semarang (1917-1920)

Dalam beberapa kesempatan upacara bendera terkadang kita masih mendengar suara yang fals dalam menyanyikan lagu.

Seorang mahasiswa di sekolah teologi biasanya mendapat mata kuliah musik Gereja. Di situ dipelajari notasi lagu, bahkan not balok, sehingga jika nanti mereka menjadi pemimpin umat, mereka akan mampu mengajari umat bernyanyi dalam ibadah.

Suara yang bagus, merdu (dan tidak fals) amat penting dalam melantunkan pujian kepada Tuhan. Pernah terjadi lebih kurang 40 tahun yang lalu di sebuah Gereja di Jawa Barat. Dalam ibadah hari Minggu seorang pimpinan umat, yang notabene jebolan sekolah teologi, tidak paham notasi lagu. Ia mengambil nada tidak pas, mungkin karena ia kurang menguasai partitur sebuah lagu. Padahal, ia berada dalam posisi memimpin. Akhirnya, ibadah tidak bisa berlangsung khusyuk. Sang teolog menggunakan nada dasar C, sedangkan umat menggunakan E. Wow bisa dibayangkan!

Hidup modern kadang terasa kering dan membuat penat. Dalam konteks itu, musik, sastra, dan bentuk-bentuk karya seni yang lain makin terasa perlu mewarnai kehidupan kita. Beberapa puluh tahun yang lalu, ada grup musik bernama Lingga Binangkit dari Bandung yang biasa membawakan lagu-lagu bernuansa Islami. Lagu-lagunya amat bagus karena ditata dalam format empat suara.

Demikian juga grup Bimbo. Paduan Suara Unpar Bandung, Paduan Suara Anak Indonesia, misalnya, untuk menyebut beberapa nama, sudah terkenal bahkan hingga mancanegara karena menampilkan suara yang sangat bagus.

Suara-suara dalam konteks pemilihan pimpinan juga sangat penting, baik pada aras lokal, regional, maupun nasional. Suara-suara dalam hubungan dengan Pilkada itu amat kental aroma politiknya, yang kadang-kadang tidak lagi senapas dengan ketentuan perundangan dan bahkan menafikan nilai-nilai luhur ajaran agama. Aspek politik yang sarat dengan kekuasaan lebih mengedepan dalam konteks ini dan bukan politik dalam konteks ”bagaimana mengelola sebuah ’polis’ dengan baik”.

Baca Juga  Tertutup Akan Kebenaran

Sebagai umat beragama, kita berharap agar warga bangsa kita tetap memiliki daya tahan keberagamaan yang tangguh, yang mengamalkan agama secara kaffah dan profesional dalam menjalankan peran sebagai anggota partai politik. Dalam konteks menjalankan aktivitas politik yang profesional kita berharap agar agama tidak dikerdilkan dan/atau direduksi menjadi kendaraan, vehicle, instrumen politik (praktis). Pemikiran jernih tentang peran dan posisi agama dalam sebuah NKRI yang majemuk yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945 harus selalu kita suarakan.

Pikiran tentang harmoni, tali silaturahmi, saling menolong, bahasa dan ”wording” yang respek terhadap kemajemukan, mesti selalu diperdengarkandan dikedepankan.

Suara-suara tentang persatuan bangsa, pengalaman empirik kelompok masyarakat dalam menumbuhkan toleransi, harus dibagikan kepada khalayak. Anggota parlemen, pejabat pemerintah, para tokoh masyarakat, para akademisi, mari kita semua mengembangkan pikiran positif demi sebuah NKRI yang lebih baik. Kita harus lebih sering menggunakan kosakata ”saling”, ”kita”, “kesalingan”, “kekitaan”, “empati, “cinta kasih” dalam berinteraksi, apalagi dalam sebuah masyarakat majemuk. Mari ungkapkan suara-suara penuh persaudaraan; bukan ancaman, ujaran kebencian, dan/atau penghinaan. Ungkapkan kata dan suara memotivasi, bukan arogansi kelompok/golongan.

Pepatah kita mengingatkan agar kita jangan bicara dengan suara kosong: ”Bubarkan ini-itu!”, ”hentikan ini-itu!”, yang bisa dimaknai naif dan emosional. Mari bersuara yang beretika, cantik dan elegan sesuai dengan fitrah kita sebagai umat beragama dan berkepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Suarakan suara-suara berwibawa dan bermakna di dalam rumah, di kantor, (di rumah-rumah ibadah), dan di ruang publik.

Takada pilihan lain!

Selamat Berjuang, God Bless!

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

Tiga Tema Alkitab sebagai Basis Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam "Justice and Only Justice: A Palestinian...

Kekristenan Palestina dan Teologi Pembebasan: Berguru Pada Naim Stifan Ateek

Oleh: Tedi Kholiludin Ia adalah seorang Palestina dan bekerja sebagai...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini