Oleh: Tedi Kholiludin
Apa latar belakang para sosiolog (dan para akademisi ilmu sosial) mengkategorikan bahwa di dunia ini ada yang agama (religion), religius (religious) di satu sisi dan sekuler (secular) di sisi yang lain? Apakah klasifikasi semacam ini masih relevan untuk dipertahankan?
Dalam karya klasiknya, “Primitive Classification,” Emile Durkheim dan Michael Mauss mengajak untuk membaca kembali klasifikasi yang dibuat oleh manusia. Menurutnya, dalam bahasa saya, kita semestinya bertanya pada diri kita sendiri apa yang bisa membuat manusia mengatur ide dengan membentuk klasifikasi, daripada bergantung pada kesimpulan bahwa mereka melakukannya secara alamiah.
Dengan semangat yang mirip, Mitsutoshi Horii, Guru Besar Sosiologi di Shumei University Jepang melakukan dekonstruksi terhadap kategorisasi atau klasifikasi dalam Sosiologi yang tak tersentuh, religius (religious) dan sekuler (secular). Horii, dalam buku “‘Religion’ and ‘Secular’ Categories in Sociology: Decolonizing the Modern Myth” mendekonstruksi pandangan dikotomis ini. Ia mencoba menetralisir klasifikasi mengenai “agama” dan “sekuler” yang sejauh ini nuansa hierakhisnya.
Setelah melakukan klasifikasi mengenai “agama” dan “sekuler,” kategorisasi kemudian dibuat untuk mengintroduksi berbagai jenis agama. Kemudian dikenal “agama dunia,” “agama pribumi,” “agama yang dihidupi,” “agama modern,” “agama historis,” dan seterusnya. Yang sekuler merupakan istilah untuk merujuk pada apa yang kita pahami sebagai “politik,” “ekonomi,” “ilmu pengetahuan” dan lain sebagainya.
Durkheim dan Mauss, seperti dikutip Horii, telah dengan tepat menunjukan bahwa “every classification implies a hierarchical order.” Pada setiap klasifikasi yang dibuat, menyiratkan adanya urutan atau tatanan yang hierarkis. Hal ini tampak, kata Horii, pada keistimewaan yang diterima oleh “sekuler” sebagai representasi dari kenyataan faktual dari sebuah tatanan universal, sementara mode keberadaan dan pengetahuan non-modern yang diklasifikasikan sebagai “religius” merujuk pada apa yang oleh orang modern dianggap sebagai irasional, ilusi, fiksi, tidak nyata dan seterusnya.
Mengapa dekonstruksi terhadap klasifikasi yang religius dan sekuler itu penting? Pertama, karena hierarki pengetahuan sudah tertancap, maka perlu merobohkannya. Kedua, sebagai kelanjutan dari poin pertama, maka, akan ada dialog yang lebih konstruktif antara pengetahuan di dunia modern dan non-modern.
Pada praktiknya, sosiolog menggunakan teori sosial untuk mengamati atau menganalisis agama dari posisinya yang tampak “sekuler.” Teori sosial yang “sekuler” itu digunakan untuk mencermati “agama.” Dalam posisi ini, agama diposisikan sebagai objek, bukan subjek analisis. Horii mengusulkan agar sosiologi harus mempertimbangkan dengan serius menggunakan pandangan dunia modern sebagai alat analisis, bukan sekadar objek.
Harus diakui, bahwa teori sosial dan sosiologi itu sejatinya lahir dalam konteks tertentu. Keberadaannya tidak bisa dilepaskan dari pengetahuan emik yang sangat khas bagi elit intelektual pria di pusat Kekaisaran Euro-Amerika abad 19.Abad 21 menghadirkan situasi yang sangat problematis. Persoalan ekologi, ketidaksetaraan, perang, menjadi pemandangan yang terus menerus hadir dalam layar nyata kehidupan masyarakat modern. Dan, kata Horii, modernitas sering menjadi lantaran dari problem tersebut. Perlu untuk melakukan obrolan di luar istilah-istilah modernitas yang kerap menjadi sebab hadirnya pelbagai masalah. Disini, sesuatu yang non-modern perlu dipertimbangkan sebagai alat analisis.
Melakukan dekonstruksi atas klasifikasi “religius” dan “sekuler” berarti mengakui bahwa secara kualitatif, teori sosial itu sama dengan apa yang disebut dengan Kekristenan, Buddhisme, Konfusianisme, Islam, Agama Leluhur dan lainnya. Cara berpikir yang lebih terbuka, diharapkan muncul dari cara pandang ini. Sosiolog bisa dengan rendah hati mengakui bahwa ada pengetahuan non-modern yang juga bisa menjadi alat menganalisis, sehingga akan ada pemanfaatan atas kekayaan intelektual warisan umat manusia. Kategori-kategori itu mesti diperlakukan sama dengan kualitas yang juga setara.
Saya kutipkan secara utuh satu paragraf tentang pentingnya melihat yang religius dan sekuler sebagai dua entitas yang memiliki kualitas sama sebagai inti ide Horii. “Kita harus mencoba menemukan kesamaan antara cara berpikir dan keberadaan non-modern dengan karakteristik cara hidup manusia modern yang tampaknya ‘sekuler’. Orang modern harus memahami orang non-modern melalui kesamaan yang saling menguntungkan. Berbagai kegiatan manusia yang diorganisir di bawah rubrik (tema) Tuhan, dewa, atau karma, misalnya, mungkin memiliki kesamaan dengan berbagai fenomena modern yang tampaknya ‘sekuler’, seperti negara bangsa, demokrasi parlementer, hukum modern, ekonomi pasar, mata uang, nilai moneter barang dan jasa, gagasan kepemilikan dan properti pribadi, ‘semangat’ kapitalisme modern, korporasi sebagai badan hukum, hak-hak alami, gagasan individu, standarisasi waktu, orientasi khusus bersama, dan sejenisnya.”