Miris, Penghayat Cahya Buwana Punah

Sudijana
Sudijana
[Temanggung –elsaonline.com] Ketua Himpunan Penghayat Kepercayaan (HKP) Kabupaten Temanggung, Sudijana, menuturkan, bahwa selama ini memang masih ada pandangan miring di masyarakat tentang eksistensi keberadaaan penghayat. Namun menurutnya, hal tersebut semestinya tidak menjadi kendala bagi kalangan penghayat untuk mendalami dan mengembangkan kepercayaan yang diyakininya. “Maklum, penghayat kepercayaan bukanlah aliran sesat. Apalagi kami berharap bisa menjadi bagian dari upaya melestarikan budaya leluhur,” ungkap dia saat ditemui di kediamannya Desa Kuncen RT 01 RW 03, Badran, Kranggan, Temanggung, Senin (9/6) siang.

Oleh karena itu, Sudijana memaparkan, penghayat kepercayaan tak salah bila dikenal pula dengan sebutan kejawen. Menurutnya, kajawen merupakan salah satu bentuk sederhana dari manusia untuk mengerti dan memahami dari mana manusia berasal dan kemana menyembah. “Jadi, kejawen ini bagian tatanan kehidupan yang selaras dan seimbang, baik dengan Tuhan, leluhur, alam dan sesama manusia,” ujar pria kelahiran Bantul ini.

Kendati demikian, pihaknya mengaku miris dengan perkembangan paguyuban penghayat Cahya Buwana yang mengalami kepunahan semenjak pimpinannya meninggal dunia. Sudijana menuturkan, penghayat yang terletak di kawasan lereng Gunung Sindoro dan Sumbing tersebut menyusut karena tidak ada penerus dan dilarang kelompok tertentu. “Padahal, kita hidup di tanah Jawa harus nguri-nguri kebudayaan nenek moyang. Sebab, kami menghormati kebudayaan merupakan satu perintah yang harus dilakukan,” terangnya.

Lebih jauh dia menambahkan, dalam penghayat Cahya Buwana ini memang sangat terasa nuansa Jawanya. Ia mengungkapkan, misalnya bagi anggota yang telah ‘diwisuda’ maka akan diberi nama depan Teguh bila laki-laki. Adapun untuk perempuan mendapat tambahan Endang atau Endah. Begitupula dalam ruang-ruang padepokan muncul nama Jawa seperti Sasana Joli, Sasana Panitra dan Upaksi Tamu. “Untuk simbol utama adalah Sanghyang Ismpyo atau Ki Semar dengan logo angka 1610. Artinya siji, enem, sepuluh dalam aksara Jawa adalah Ha, Da, La yang memiliki makna Adilah,” bebernya.

Baca Juga  Kisah Pramuria di Sebuah Sudut Kehidupan (3-Habis)

Terpisah, Kasi Politk dan Kewaspadaan Nasional Kantor Kesbangpol Kabupaten Temanggung, Sri Widodo, mengatakan, pihaknya akan meneliti dan mengecek kebenaran kasus tersebut. Di samping itu, Sri Widodo juga selalu menekankan pentingnya undang-undang No 23 tahun 2006, peraturan pemerintah No 37 tahun 2007, peraturan menteri dalam negeri No 44 tahun 2009 dan permendagri No 33 tahun 2012. “Aturan ini merupakan dasar berkaitan dengan pedoman keormasan dan kerjasama ormas dengan pemerintah,” tandasnya. [elsa-ol/Munif-@MunifBams]

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Pasar Tradisional dan Masjid Emas sebagai Penanda Kawasan Muslim Quiapo, Manila Filipina

Oleh: Tedi Kholiludin Quiapo adalah sebuah distrik yang berada merupakan...

Beristirahat Sejenak di Kapernaum: Renungan Yohanes 2:12

Oleh: Tedi Kholiludin “Sesudah itu Yesus pergi ke Kapernaum, bersama-sama...

Dua Peneliti ELSA Presentasikan Hasil Risetnya di Pertemuan Jaringan Penelitian HIV Indonesia

Jaringan Penelitian HIV Indonesia (JPHIV-Ina) menggelar pertemuan jaringan...

Liquid Identity: Saat Identitas menjadi Sebuah Entitas Muas

Oleh: Muhamad Sidik Pramono (Mahasiswa Magister Sosiologi Agama Universitas...

2 KOMENTAR

  1. Janfan sampai tumbuh kata : kristalisasi semua ini kembali.pada tekad,kesungguhan dari semua.sumbet yang menjadi pondasi paugeran peserta hayat itu sendiri.bagaimanapun akar masalahnya semua.bermula dari situ./ rahayu sagung dumadi.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini