Oleh: M. Najibur Rohman
(Tulisan ini telah dimuat di Harian Suara Merdeka, 07 September 2010)
Mudik lebaran adalah momentum tahunan yang selalu ramai, dan tentu pula ditunggu-tunggu. Terasa kurang begitu ”menggigit” andai Lebaran tanpa mudik, khususnya bagi perantau. Kata mudik, yang disebut-sebut berasal dari udik, merepresentasikan sebuah perjalanan kembali atau pulang yang umumnya dipahami dari kota ke desa. Tetapi lebih luas dari itu, mudik sesungguhnya merupakan peristiwa besar dalam berbagai perspektif: sosial, ekonomi, budaya, dan tentu agama.
Di sisi lain, mudik adalah bagian dari dilema. Secara kasat mata, mudik terkadang menampilkan sisi kerepotan bagi manusia: uang, tenaga, oleh-oleh, bahkan kesedihan yang tidak disangka-sangka. Namun mudik telah menjadi simbol bagi kembalinya manusia kepada intimitas kekeluargaan, kekerabatan, dan lingkungan sosial lama dengan segala keruwetan. Mudik adalah bagian dari upaya menjalin kembali tali silaturahmi, atau dengan kata lain, mengaktualisasikan pertemuan yang sebelumnya mungkin hanya terjadi dalam keintiman memori.
Karena itulah pilihan untuk tidak mudik terkadang menjadi semacam tragedi atau kesedihan sebab aktualisasi silaturahmi itu tertunda. Apalagi, sebagaimana bisa kita saksikan, mudik merenggut kehebohan kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, Semarang, dan lainnya, karena kota-kota ini pada dasarnya dibangun dan diisi oleh para ”pendatang”.
Begitu pula bagi sebagian masyarakat mudik kerap dianggap sebagai aktivitas yang tidak produktif, pemborosan, dan menciptakan ketidakteraturan sosial. Barangkali yang terlihat adalah bagaimana berjubelnya manusia di tempat pembelian tiket, tingginya kriminalitas saat musim mudik tiba, hingga keselamatan bertransportasi yang kadang kurang diperhatikan. Namun begitu, ghirah mudik Lebaran tak pernah surut tiap tahunnya.
Sebagai sebuah tradisi, mudik lebaran telah menghidupi dan dihidupi oleh agama. Mudik dan Idulfitri merupakan dua entitas yang saling mengisi dalam ranah budaya Indonesia. Kreasi mudik ini membuat perayaan Lebaran menjadi begitu semarak, bahkan tidak hanya oleh umat muslim, tetapi juga umat agama lain. Hingga di sini, Dengan begitu, mudik Lebaran tak sekadar menciptakan ruang interaksi sesama muslim, tetapi interaksi yang lebih luas dari itu, yaitu sebuah interaksi yang didasari atas rasa kebangsaan dan kemanusiaan. Selain karena diperintahkan oleh Tuhan (QS. 49: 13), pola interaksi semacam inilah yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw ketika membangun harmonisasi antarpenduduk Madinah yang plural.
Keterikatan Untuk membangun pola itu maka sebuah perilaku yang menciptakan keharmonisan menjadi bagian yang penting. Saat di jalan misalnya, pemudik hendaknya berhati-hati dan mematuhi peraturan dalam rangka menghormati dan menjaga keselamatan pemudik lain. Situasi seperti ini tak ubahnya kehidupan berbangsa yang membutuhkan kerja sama antara satu elemen masyarakat dan yang lain.
Kesadaran ini sendiri perlu dibangun dan dipupuk oleh manusia Indonesia dengan perasaan keterikatan satu sama lain. Melalui perasaan ini manusia akan membangun kesetiakawanan sosial dan kepedulian sosial. Tradisi bersilaturahmi agaknya dapat dimaknai sebagai sebuah upaya membangun perasaan keterikatan itu melalui pertemuan hangat. Bagi sebuah bangsa dan negara, keterikatan ini menjadi modal sosial yang sangat dibutuhkan untuk menjadi kuat.
Di samping itu, jangan dilupakan pula bahwa dalam rasa keterikatan manusia membutuhkan sebuah kesadaran lain, yaitu kesadaran akan kesalahan. Setiap manusia, betapa pun dia bertanggung jawab, tetap tidak lepas dari unsur kesalahan karena kelemahan manusiawinya (Sindhunata, 2001). Karena itulah tradisi bermaaf-maafan (halalbihalal) menjadi sebuah pertanda bagi kelemahan manusia yang tidak luput dari kesalahan itu. Tradisi ini juga seakan memperingatkan bangsa ini supaya tidak jatuh dalam krisis rasa malu, sebuah krisis yang cepat atau lambat akan mengantarkan kita pada keterpurukan.
Demikianlah bahwa peristiwa mudik dapat menjadi portal bagi kesadaran berbangsa kita. Mudik bukan sekadar perjalanan pulang ke rumah tetapi perjalanan untuk kembali merekatkan individu dan masyarakat ke dalam sebuah kesadaran berbangsa: Indonesia. Semoga!