NU di Persimpangan Islamicate dan Islamdom

Oleh: Muhamad Sidik Pramono (Mahasiswa Magister Sosiologi Agama UKSW, Salatiga)

Beberapa waktu yang lalu, ramai berita tentang pembagian konsensi izin tambang dari pemerintah bagi organisasi masyarakat keagamaan atau ormas keagamaan. Hal tersebut menuai banyak respon baik positif, negatif, dan kritis. Respon beragam tersebut bukan hanya datang dari masyarakat sipil, namun juga dari ormas keagamaan yang akan diberikan izin mengelola tambang. Salah satu yang merespon positif dengan adanya pemberian izin pengelolaan tambang tersebut. Hal tersebut disampaikan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Yahya Cholil Staquf. Beliau menyambut baik hal tersebut sebab dapat memberikan perbaikan dalam hal keuangan organisasi dan NU membutuhkan support tersebut (Wakang, 2024).

Sambutan Gus Yahya ini mendapat respon variatif mulai dari respon sederhana di komentar media sosial maupun respon serius melalui berita, opini atau artikel. Bahkan respon yang bertolak belakang dengan PBNU disampaikan oleh generasi mudanya (Belseran et al., 2024). Penentangan oleh generasi muda NU ini dikarenakan dalam hasil-hasil muktamar dan nomenklatur organisasi jelas mengharamkan eksplorasi sumber daya alam sebagaimana hasil sidang bathsul masail PBNU ada 10 Mei 2015 (Belseran et al., 2024). Respon penolakan ini menarik penulis untuk memberikan tanggapan dan respon dari sisi sosiologi agama.

Melalui tulisan ini, penulis mencoba untuk memberikan pandangan dan kekhawatiran yang dilihat dari disiplin sosiologi agama. Bila dibaca dengan kacamata sosiologi agama, respon positif yang dilanjutkan dengan komitmen serius dari PBNU (CNN Indonesia, 2024) akan membawa dampak kompleks dari sisi sosial. Pasalnya NU yang semula dikenal sebagai ormas penjaga Islamicate akan menjadi ormas Islamdom pelindung kepentingan pemerintah dan oligarki.

Izin Tambang dan NU yang Berada di Persimpangan Jalan

Baca Juga  Kebaikan Seorang Sekuler

Bagi penulis, kesediaan untuk mengelola tambang bagi ormas keagamaan, akan menyebabkan NU berada di persimpangan jalan. NU sedang berada diambang ambiguitas antara menjadi penjaga Islamicate atau menjadi ormas pemroduksi Islamdom yang berpihak pada kekuasaan dan oligarki tambang. Sebelum masuk dalam penjelasan tersebut perlu kiranya penulis menjelaskan tentang Islamicate dan Islamdom. Mengambil penjelasan Marshall Hodgson yang dikutip Sumanto Al Qurtuby, Islamicate ialah praktek keislaman yang membudaya atau sudah mewujud menjadi tradisi dan kebudayaan setempat dari waktu ke waktu. Contoh dari Islamicate ialah seperti tahlilan, manaqiban, ziarah kubur, muludan dll. Islamicate ini menggunakan pendekatan “bottom up”. Sedangkan, Islamdom sendiri ialah praktek keislaman dari buah hasil “produk politik” yang kemudian menjadi “norma sosial” di masyarakat luas. Contoh Islamdom adalah tata busana islami dll. Berbeda dengan Islamicate, Islamdom memakai pendekatan “top-down” dan memaksa (Al Qurtuby, 2016).

Sebagaimana penulis sampaikan di atas, kemunculan izin tambang bagi ormas dari pemerintah akan membawa NU pada persimpangan jalan. NU sedang berada dalam pertigaan jalan antara menjadi organisasi penjaga Islamicate atau justru menjadi bagian dari rezim yang memproduksi Islamdom dengan konsekuensi turut menguatkan cengkeraman oligarki di Indonesia. Artinya, NU yang tadinya sebagai penjaga Islamicate dan dekat dengan rakyat sekaligus menjadi corong melawan kekuasaan berangkat dari pendekatan “bottom up” justru akan berbalik badan. Berkaca dari sejarah, NU sendiri menjadi basis perlawanan terhadap rezim Orde Baru atas keotoriteran penguasa kala itu (Suryani, 2015). Kesediaan NU mengelola dan menerima konsesi tambang akan berdampak buruk dan menimbulkan ancaman.

Komitmen NU atas Tambang dan Bahaya yang Mengancam

Selain mengancam secara kondisi alam atau berdampak pada kerusakan sumber daya alam, komitmen NU terhadap izin tambang akan berdampak pada sumber daya manusia. Mengapa demikian? Kesetujuan atas izin tambang yang diberikan negara untuk NU bukanlah satu hadiah. Tapi, sebagaimana idiom dari Milton Friedman, “no such thing as a free lunch” atau tidak ada makan siang yang gratis, semua harus dibayar. Bagi penulis, bayaran yang dapat diberikan NU kepada pemberi izin bukanlah uang hasil tambang, namun memaksimalkan keorganisasian NU dan pengondisian terhadap warganya untuk menciptakan status quo. Cara ini dapat dilakukan dengan menjadi organisasi yang memroduksi Islamdom.

Dari sinilah akan membawa perubahan fundamental bagi NU. Dengan mengelola tambang NU bukan hanya organisasi penjaga Islamicate tapi juga memproduksi Islamdom. Bahkan kemungkinan terburuknya adalah menggunakan Islamicate sebagai saran mentransmisikan Islamdom yang akan menumpulkan kekritisan warga NU. Alih-alih, melakukan perlawanan atas ketidakadilan sebagaimana saat Orde Baru berkuasa, NU justru melanggengkan ketidakadilan itu dengan turut berkontribusi menciptakan Islamdom.

Menjadi ormas agama pemroduksi Islamdom untuk melanggengkan kekuasaan adalah konsekuensi yang harus dibayar NU sebagai imbal balik terhadap pemberi izin. Dengan menjadi alat produksi Islamdom, meminjam istilah Michel Foucault (1979), NU dapat mendisiplinkan warganya bahkan di luar warganya sebagai ormas dengan jumlah anggota terbesar di Indonesia. Pendisiplinan NU terhadap warganya dilakukan dengan memproduksi Islamdom praktek keislaman yang kemudian menjadi norma sosial (Foucault, 1979). Untuk menjadi ormas pemroduksi praktek keislaman yang sarat keberpihakan pada kekuasaan dan oligarki tambang adalah jalan mudah cum murah bagi NU.

Baca Juga  "Infantile Faith"; Iman Kekanak-kanakan

Hal tersebut sangat mungkin dan sangat mudah dilakukan oleh NU mengingat, sebagai sebuah ormas Islam terbesar, NU memiliki cultural capital-bila memakai istilah dari Pierre Bourdieu. Sama halnya bila melihat dengan kacamata Max Weber, NU yang memiliki banyak Kiai, juga memiliki modal untuk memproduksi Islamdom melalui kepemimpinan kharismatik dari para tokohnya. NU juga memiliki tiga hal untuk menerapkan hegemoni terhadap para warganya lewat kontrol ajaran dan ideologis. Tiga hal (Giddens, 1984) tersebut ialah signifikansi (simbol) dengan memproduksi aturan, dominasi atas warga NU, legitimasi dari anggota NU. Pada saat NU juga menjadi ormas Islam pemroduksi Islamdom maka negara berhasil meredam, mengendalikan perlawanan yang bisa muncul dari organisasi dengan jumlah anggota terbesar di Indonesia tersebut.

Hal yang penulis uraikan ini menjadi lampu kuning baik bagi NU yang ada di struktural ataupun warga NU. Sebab, jika NU sudah berpihak pada penguasa dan memproduksi praktek keislaman yang sarat akan kepentingan rezim, maka keberpihakan NU sterhadap rakyat dan warganya akan sulit diwujudkan.

Referensi:
– Al Qurtuby, S. (2016). Islam, Sosiologi, dan Sosiologi Islam. In I. Y. M. Lattu (Ed.), Sosiologi Agama Pilihan Berteologi di Indonesia. Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana.

– Belseran, C., Asnawi, A., & Maulana, I. (2024). PBNU Ajukan Izin Tambang Tuai Protes dari Tokoh Mudanya, PGI Menolak. Mongabay.Co.Id.

– CNN Indonesia. (2024). PBNU Jadi Ormas Agama Paling Pertama Minta Izin Tambang ke Pemerintah. Cnnindonesia.Com.

– Foucault, M. (1979). Discipline and Punish: The Birth of the Prison. Vintage Books.

– Giddens, A. (1984). The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration. Polity Press.

Baca Juga  Ketua NU Jateng: ISIS Ancaman Kerukunan Bangsa Indonesia

– Suryani, S. (2015). Kontribusi NU sebagai Organisasi Civil Society dalam Demokratisasi. Dialog, 38(1), 51–64. https://doi.org/https://doi.org/10.47655/dialog.v38i1.34

– Wakang, A. A. (2024). PBNU Dapat Izin Tambang, Gus Yahya: Kami Butuh. Tempo.Co.

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Pasar Tradisional dan Masjid Emas sebagai Penanda Kawasan Muslim Quiapo, Manila Filipina

Oleh: Tedi Kholiludin Quiapo adalah sebuah distrik yang berada merupakan...

Beristirahat Sejenak di Kapernaum: Renungan Yohanes 2:12

Oleh: Tedi Kholiludin “Sesudah itu Yesus pergi ke Kapernaum, bersama-sama...

Dua Peneliti ELSA Presentasikan Hasil Risetnya di Pertemuan Jaringan Penelitian HIV Indonesia

Jaringan Penelitian HIV Indonesia (JPHIV-Ina) menggelar pertemuan jaringan...

Liquid Identity: Saat Identitas menjadi Sebuah Entitas Muas

Oleh: Muhamad Sidik Pramono (Mahasiswa Magister Sosiologi Agama Universitas...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini