Oleh: Tedi Kholiludin
Kita biasa mendapati ada beberapa kran yang dipasang pada pipa air. Pada tekanan air yang besar, saat saluran itu ditutup, maka air akan berusaha mencari titik terlemah dari pipa itu. Saat titik itu ditemukan, air bisa menembus rongga pipa lalu keluar; baik perlahan-lahan ataupung langsung deras.
Pipa yang ditutup pada seluruh lubangnya, membuat air tak serta merta berdiam diri. Ia akan terus berusaha mencari cara agar bisa keluar.
Penjelasan ini sebangun dengan mekanisme psikis ala Freudian. Kita kerap menumpahkan kekesalan yang tak terduga kepada orang lain, namun, masalah sesungguhnya mungkin tidak berada pada orang tersebut. Frustrasi emosional itu besar kemungkinan ada di diri kita, namun muntahannya ditumpahkan kepada yang lain.
Jonathan Benthall dalam “Returning to Religion,” membuat ilustrasi ini untuk menjelaskan bagaimana kecenderungan beragama saat berada dalam ruang sekularisme. Ketika modernisme dan globalisasi sedemikian menggila, kala manusia telah berhasil menyelesaikan sebagian besar persoalan melalui otaknya, agama mungkin hanya ada di pojok sejarah. Begitu kurang lebih tesis tentang sekularisasi yang begitu optimis bisa menenggelamkan agama dan digenggam erat para sosiolog agama setidaknya dalam empat dasawarsa terakhir.
Yang terjadi, nyatanya, tidak demikian. Agama justru menjadi hantu yang paling konsisten membayangi sekularisme. Tentang hal ini, Benthall mengaku terilhami oleh Antropolog Alfred Gell penulis buku “Antropologi Waktu,” kata Gell, seperti dikutip Benthall, masyarakat teknologi dihantui irasionalitas atau magis yang digambarkannya sebagai “technology of enchantment” alias teknologi pesona, termasuk didalamnya pengendalian pikiran yang membuat orang merasa bisa mendapatkan sesuatu dengan cuma-cuma. Hal ini mencakup sebagian besar aspek yang membuat hidup layak dijalani oleh kita termasuk seni, iman, namun juga semua sisi, selain mekanisme yang kasar, dan dengan itu membuat kita seperti ditundukkan padanya.
Kata Alfred Gell, yang diamini Benthall, lebih baik tunduk dengan sukarela pada pesona yang melindungi diri kita dari perbudakan melalui keceriaan dan humor. Joseph Conrad, seorang novelis, dengan ritmis mengatakan bahwa hidup harus menjadi pilihan ilusi yang bijaksana (life had to be a judicious choice of illusions), namun dengan catatan, perlu pilihan yang bijaksana terhadap kecanduan.
Begitu juga iman terhadap sekularisme. Kata Benthall, mungkin ada otoritas keagamaan tradisional yang menurun dan mengambil posisi defensif, tetapi itu sama sekali tidak mengubah kecenderungan keberagamaan seseorang. Pada panorama yang lain terlihat gerakan spiritual transnasional yang baru, bermunculan; dari kultus neo-oriental hingga scientology. Gerakan-gerakan keagamaan yang bersifat hibrid juga bermunculan, yang terkadang mereka berada di posisi tengah antara religius dan sekuler. Tulis Benthall, mengutip Robert Wuthnow, “sentimen religius tidak hanya bertambah dan berkurang; ia berganti pakaian dan muncul dalam tampilan yang kadang-kadang tidak kita kenali.”
Organ yang bermunculan itu, menurut Benthall, mengandung dimensi “religioid” dan tersebar dalam banyak bidang; seni, aliran intelektual, maupun politik. Benthall menyebut fenomena itu sebagai parareligion atau para-agama. Tak hanya Benthall yang mengamini bahwa ada “parareligion,” tetapi juga saintis lain seperti Freeman Dyson. Kata ahli elektrodinamika kuantum itu, “environmentalisme telah menggantikan sosialisme sebagai agama sekuler.”