Pasal Penistaan Agama Perlu Ditinjau Ulang

[Semarang –elsaonline.com] Lembaga Studi Sosial dan Agama (Elsa) Jawa Tengah meminta agar pemerintah meninjau ulang keberadaan pasal-pasal yang berisi penistaan atau penodaan agama. Aktivisi Lembaga Studi Sosial dan Agama Jawa Tengah Tedi Kholiluddin menyatakan, dalam praktik selama ini penggunaan pasal penistaan agama sangat elastis.

“Pasal ini layak ditinjau ulang. Dalam praktiknya, pasal ini menjadi sangat subyektif karena sangat tergantung dengan atensi,” kata doktor di bidang sosialogi agama tersebut kepada Tempo di Semarang, Jum’at (11 November 2016).

Tedi menyatakan karena sifatnya sangat subyektif maka kasus-kasus penistaan agama menjadi sangat sulit pembuktiannya.

Tedi menyatakan jika pasal penistaan agama tetap dipertahankan maka butuh kehati-hatian yang sangat serius. Sebab, jika tak hati-hati maka pasal penistaan agama berpotensi mengkriminalkan keyakinan seseorang.

Selama ini, kata Tedi, jika ada dugaan penistaan agama maka penerapan pasal ini selalu dibarengi dengan tekanan massa. Tekanan itu bisa dari sejak dugaan hingga proses di pengadilan.

Tedi mencontohkan yang dialami Tajul Muluk alias Haji Ali Murtadho. Pemimpin syiah di Kabupaten Sampang, Jawa Timur, itu dihukum dua tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Sampang pada 12 Juli 2012. Tajul didakwa melakukan penodaan dan penistaan agama. Padahal, Tajul juga menjalankan sikap sesuai dengan keyakinanya.

Kasus lain, kata Tedi, penistaan agama di Temanggung pada 2011 lalu. Ada seorang bernama Antonius Richmond Bawengan diadili karena menyebarkan sejumlah selebaran dan buku yang dianggap melecehkan keyakinan agama tertentu. Pengadilan menghukum Antonius secara maksimal berupa penjara lima tahun. Namun, kata Tedi, saat itu ada warga yang tak terima sehingga menimbulkan kerusuhan.

Tedi menyatakan pasal penistaan agama di Indonesia ada dua sumber hukum, yakni Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama. Satu lagi adalah Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Baca Juga  Nahdlatul Ulama: Dari Politik Kekuasaan sampai Pemikiran Keagamaan

Ketentuan Penetapan Presiden Nomor 1/PNPS Tahun 1965 pernah diuji materi di Mahkamah Konstitusi pada 2010. Namun, diputuskan aturan ini masih diperlukan.

Para pemohon adalah Abdurrahman Wahid, Imparsial, Elsam, Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia, Yayasan Desantara, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, M. Dawam Raharjo, Maman Imanul Haq, serta Musdah Mulia.

Pemerintah, yang saat itu, diwakili Menteri Agama Suryadharma Ali berpendapat ketentuan itu masih diperlukan. Menurut Suryadharma Ali bila ketentuan itu dicabur bisa menimbulkan konflik sosial yang berpotensi terpicu. “Ini yang tidak kita harapkan,” kata dia di Mahkamah Konstitusi pada 4 Februari 2010. [rofi_uddin/elsa-ol/001]

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Pasar Tradisional dan Masjid Emas sebagai Penanda Kawasan Muslim Quiapo, Manila Filipina

Oleh: Tedi Kholiludin Quiapo adalah sebuah distrik yang berada merupakan...

Beristirahat Sejenak di Kapernaum: Renungan Yohanes 2:12

Oleh: Tedi Kholiludin “Sesudah itu Yesus pergi ke Kapernaum, bersama-sama...

Dua Peneliti ELSA Presentasikan Hasil Risetnya di Pertemuan Jaringan Penelitian HIV Indonesia

Jaringan Penelitian HIV Indonesia (JPHIV-Ina) menggelar pertemuan jaringan...

Liquid Identity: Saat Identitas menjadi Sebuah Entitas Muas

Oleh: Muhamad Sidik Pramono (Mahasiswa Magister Sosiologi Agama Universitas...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini