Oleh: Khoirul Anwar
Dalam kamus bahasa Arab Lisânu al-‘Arab karya Ibnu Mandhûr, shanam diartikan dengan sesembahan berupa imitasi tubuh yang terbuat dari emas, kayu, tembaga atau yang lain. Sedangkan watsan tidak memiliki badan (jutstsah). Sederhananya, jika shanam memiliki tubuh, watsan tidak. Masuk dalam istilah watsan, sesembahan berupa batu tanpa gambar, kayu, atau yang lain. Persamaan keduanya sama-sama dijadikan sesembahan atau sekutu Tuhan. Jika keduanya diletakkan dalam keadaan berdiri dinamakan dengan “al-anshâb” atau berhala berdiri. (1414 H: XII, 349 dan XIII, 442).
Sedangkan kata timtsâl artinya lebih umum, yakni tidak terikat dengan sesembahan. Dalam Lisânu al-‘Arab diartikan sebagai nama untuk “imitasi” ciptaan Tuhan (ismun li asy-syai`i musyabbahan bi khalqin min khalqillah) baik berupa makhluk yang bernyawa seperti manusia dan binatang, maupun benda mati seperti batu, tumbuhan, lautan dan yang lainnya. (Mandhûr, 1414: XI, 11).
Makna timtsâl berbeda dengan shûrah (bentuk pluralnya: shuwar) yang juga digunakan untuk menyebut gambar imitasi ciptaan Tuhan. Timtsâl adalah gambar tiga dimensi atau patung (ash-shuwar al-latî lahâ dhillun) yang terbuat dari tembaga, batu atau bahan lainnya. Sedangkan shûrah yaitu gambar atau lukisan yang tidak memiliki bayang-bayang yang dibuat pada kertas, kain, tembok, papan, atau benda lainnya. (Ash-Shâbûnî, 2001: II, 332).
Melalui telaah makna di atas dapat dipahami bahwa penyebutan patung dalam al-Quran ada yang secara khusus ditujukan pada makna berhala yang dijadikan sekutu Tuhan, yakni ashnâm (QS. Al-A’râf 138, QS. Ibrâhîm 35, QS. Al-An’âm 74, QS. Asy-Syu’arâ` 71, QS. Al-Anbiyâ` 57) dan al-autsân (QS. Al-Hajj 30, QS. Al-‘Ankabût 17, QS. Al-‘Ankabût 25), juga ada yang maknanya umum, bebas dari nilai teologis, yaitu at-tamâtsîl (QS. Al-Anbiyâ` 52, QS. Saba` 13). Kendati demikian, apabila timtsâl dijadikan sesembahan maka bisa masuk dalam kategori shanam dan watsan atau diistilahkan dengan al-anshâb (QS. Al-Mâ`idah 90) atau an-nushub (QS. Al-Mâ`idah 3, QS. Al-Ma’ârij 43). Jadi, selama pembuat atau pemilik patung tidak memiliki maksud menjadikannya sebagai sesembahan maka dinamakan timtsâl. Sebaliknya, jika pembuat atau pemilik menjadikannya sebagai sekutu Tuhan, maka dinamakan shanam atau watsan.
At-Tamâtsîl: Patung Sebagai Seni
Dalam al-Quran kata at-tamâtsîl disebut sebanyak 2 kali.
Pertama; QS. Al-Anbiyâ` 52 yang berisi tentang kisah Nabi Ibrahim berdialog dengan ayah dan kaumnya yang menyembah berhala. “Apakah patung-patung ini (hâdzhi at-tamâtsîl) yang kalian sembah?” kata Ibrahim. Kaumnya menjawab: “Kami mendapati para leluhur kami menyembahnya”. Ayat ini semakna dengan QS. As-Shâffât 95 yang juga berisi teguran Ibrahim kepada kaumnya. Hanya saja dalam QS. As-Shâffât 95 menggunakan redaksi “mâ tanhitûn” (sesuatu atau patung yang kalian pahat). Makna dari dua ayat ini yaitu Nabi Ibrahim tidak menyetujui kaumnya menyembah patung, bukan ingkar terhadap aktivitas memahat patung (naht).
Kedua; QS. Saba` 13 yang berisi kisah Nabi Sulaiman memiliki banyak jin yang setia kepadanya. Para jin ini bekerja sesuai dengan kehendak Allah, antara lain membangun banyak mihrab atau rumah (mahârîb) untuk Nabi Sulaiman, membuatkan patung dari tembaga, kaca dan tanah (tamâtsîl), serta mengukir berbagai wadah (jifân). Dari ayat ini bisa dipahami bahwa patung merupakan seni yang berusia sangat tua, bahkan ada di dalam semua peradaban. Andai patung identik dengan sesembahan atau lekat dengan penyekutuan terhadap Tuhan (syirik), niscaya tidak mungkin para jin membuatkan patung untuk Nabi Sulaiman. Karena Nabi Sulaiman hanya menyembah kepada Allah. Dengan demikian patung yang dibuat para jin tidak lebih dari hiasan atau seni.
Al-Ashnâm dan Al-Autsân: Patung Sebagai Sesembahan
“Ashnâm” dalam al-Quran disebut sebanyak 5 kali, semuanya muncul dalam narasi patung yang disembah (berhala) oleh umat sebelum Nabi Muhammad. QS. Al-A’râf 138 menceritakan Bani Israil ketika melihat kaum yang menyembah berhala (ya’kufûna ‘alâ ashnâm). Lalu Bani Israil meminta kepada Musa supaya dibuatkan tuhan berhala sebagaimana mereka. Kepada kaumnya, Musa menjawab, penyembah berhala adalah orang-orang yang tidak tahu tentang Tuhan dan semua amal ibadahnya akan sia-sia.
QS. Ibrâhîm 35 berisi doa Nabi Ibrahim kepada Tuhan meminta negerinya (Makkah) menjadi negeri yang aman, serta Nabi Ibrahim dan anak cucunya dijauhkan dari menyembah berhala (an-na’buda al-ashnâm). QS. Al-An’âm 74 tentang teguran Nabi Ibrahim kepada bapak dan kaumnya yang menyembah berhala (atattakhidu ashnâman âlihah). Kata Ibrahim, bapak dan kaumnya berada dalam kesesatan yang nyata lantaran menyembah berhala.
QS. Asy-Syu’arâ` 71 berisi jawaban kaum Nabi Ibrahim ketika ditanya apa yang disembah. Kaum Nabi Ibrahim menjawabnya bahwa yang disembah adalah berhala (na’budu ashnâman). QS. Al-Anbiyâ` 57 berisi rencana Nabi Ibrahim hendak menghancurkan berhala-berhala kaumnya ketika ditinggalkan (la akîdanna ashnâmakum ba’da an tuwallû mudbirîn).
Sedangkan kata “al-Autsân” dalam al-Quran disebut sebanyak 3 kali, yaitu QS. Al-Hajj 30 yang berisi larangan menyembah berhala bagi masyarakat Makkah masa Nabi Muhammad (fajtanibû ar-rijsa mina al-autsân). QS. Al-‘Ankabût 17 tentang teguran kepada penduduk Makkah yang menyembah berhala dan membuat dusta bahwa berhala bisa memberikan pertolongan atau syafaat serta mendatangkan rizki (innamâ ta’budûna min dûnillahi autsânan wa takhluqûna ifkan). QS. Al-‘Ankabût 25 berisi perkataan Nabi Ibrahim kepada kaumnya bahwa penyembahan berhala (autsânan) yang dilakukan kaumnya bertujuan untuk menciptakan perasaan kasih sayang dalam kehidupan dunia, sementara kelak di akhirat akan saling mengingkari dan semuanya dimasukkan ke dalam neraka.
Kisah para penyembah patung dari umat nabi terdahulu (sebelum Nabi Muhammad) dalam al-Quran berkaitan dengan konteks Nabi Muhammad menyikapi penyembah berhala. Pada masa Nabi Muhammad, ada banyak berhala di sekitaran Ka’bah. Selain itu rumah-rumah berhala juga banyak didirikan, setiap suku memiliki berhalanya sendiri. Tiga di antara berhala besar dan terkenal saat itu; Lâta yang berada di Thâ`if (milik kabilah Tsaqîf), ‘Uzzâ di Makkah (milik suku Ghathafân) dan Manâh di Madinah (milik suku Khuzâ’ah dan Bani Ka’b. Menurut Ibnu al-Kalbi, milik suku Aus dan Khazraj).
Ketika pengikut Nabi Muhammad bertambah banyak, nabi melakukan penaklukan berbagai wilayah di jazirah Arab, termasuk Makkah. Dalam banyak hadis, Nabi Muhammad selalu berpesan untuk tidak merusak rumah ibadah, tidak merusak lingkungan, tidak membunuh anak-anak, serta orang-orang yang tidak ikut berperang dan orang-orang yang berada di rumah ibadah. Namun, satu hal yang menjadi pertanyaan sejarah, yaitu pengikut Nabi Muhammad melakukan penghancuran terhadap berhala dan tiga rumah berhala yang paling terkenal saat itu, yakni rumah berhala Lâta, ‘Uzzâ dan Manâh.
Motivasi penghancuran berhala berikut rumahnya memiliki dimensi ekonomi dan politik. Secara ekonomi, umat Islam perdana mayoritas dari kelompok tak punya, sehingga penaklukkan daerah dimanfaatkan untuk mengais rizki, mereka mengambil harta benda orang-orang yang melawannya atau biasa disebut harta jarahan perang (ghanimah), dan harta benda yang berada di tempat berhala. Di dalam rumah berhala banyak timbunan emas dan harta benda sesaji, yakni harta benda yang dijadikan persembahan kepada Tuhan. Berhala milik paganisme juga banyak yang dilapisi emas, sehingga untuk mengambilnya harus menghancurkan berhala dan rumahnya.
Sedangkan secara politik penghancuran rumah berhala bertujuan untuk memusatkan rumah ibadah penyembah berhala ke ka’bah yang berada di Makkah. Keberadaan rumah berhala sebagaimana rumah al-Lata, al-‘Uzza, dan Manah menjadi saingan ka’bah serta dapat menjadikan watak kesukuan Arab tetap menguat, tidak dapat disatukan. Sementara umat Islam punya agenda menaklukkan dua kerajaan besar saat itu, yakni Persi dan Romawi. Sehingga dengan menghancurkan berhala dan rumahnya, orang Arab dengan beragam sukunya dapat disatukan melalui Ka’bah. Hingga pada gilirannya mereka dapat membantu umat Islam menaklukkan dua kerajaan adikuasa. Agenda menaklukkan dua kerajaan besar disampaikan Nabi Muhammad dalam sabdanya: “Wal ladzi nafsi bi yadihi, latumlakanna kunuzu kisra wa qaishar (Demi Tuhan yang diriku berada dalam genggamannya, sesungguhnya kerajaan kisra [Persi] dan kaisar [Romawai] akan dikuasai).” (Anwar, 2013: 24-27).
Patung dalam Hukum Islam
Uraian di atas mengantarkan pada pembagian patung, yaitu ada patung yang disembah dan ada yang tidak. Patung yang disembah atau berhala hukum membuatnya haram dan menyembahnya syirik. Sedangkan patung yang tidak disembah hukumnya diperbolehkan. Meminjam teori dalam kajian hukum Islam (fikih), ada kaidah: “Hukum asal segala sesuatu diperbolehkan” (Al-ashlu fî al-asyyâ` al-ibâhah). Hukum asal membuat patung diperbolehkan (ibâhah), namun hukum ini bisa berubah menjadi haram, wajib atau sunnah (dianjurkan) tergantung dengan tujuan dan manfaat penggunaannya.
Hukum haram apabila membuat patung untuk disembah. Karena menyekutukan Tuhan tidak diperbolehkan, maka hukum membuat, menjual, memberi sesuatu yang mengantarkan pada syirik hukumnya haram. Dalam teori hukum Islam dikenal dengan “saddu adz-dzarî’ah”, yakni mengharamkan media yang mengantarkan pada kekufuran. Hal ini berdasarkan pada banyak hadis Nabi Muhammad yang berisi larangan membuat patung atau gambar. Sebaliknya, apabila membuat patung dimanfaatkan untuk kepentingan lain, seperti pendidikan, yakni memudahkan anak-anak belajar sebagaimana hadis Nabi Muhammad yang memperbolehkan istrinya, ‘Âisyah memiliki boneka, maka hukumnya diperbolehkan, bahkan bisa dianjurkan atau wajib sesuai dengan tingkat kebutuhan dan manfaatnya.