
Cerita siswa Muslim SMAN 13 Semarang yang mulanya ragu-ragu salaman dengan Romo. Hingga akhirnya mereka memahami tentang keragaman agama dan kepercayaan serta pentingnya merawat perdamaian.
Semarang, elsaonline.com – Raut wajah 35 siswa SMA itu tampak mengkerut saat tiba di halaman gereja. Turun dari bus mini, mereka yang datang bersama lima guru pendamping segera berkumpul di halaman Gereja Santa Perawan Maria Ratu Rosario Suci Randusari, (Gereja Katedral) Semarang.
Pandangan mereka tak terarah. Sesekali melihat ke salah satu pojok di mana ada Patung Yesus. Kadang pula mereka melihat bagian dalam altar gereja yang amat luas. Mereka tampak masih mengobrol lirih antara mereka masing-masing.
Di tengah mereka bercakap-cakap, terdengar seruan dari seorang pengurus gereja untuk segera memasuki ruang aula.
“Ayo anak-anak. Romo sudah menunggu,” ajak Guru Agama Islam, Hadi Siswanto menimpali ajakan pengurus gereja, kepada murid-murid lintas agama itu.
Para murid dan guru pendaming segera beranjak. Di depan aula, tampak Pastor Kepala Paroki Gereja Katedral Semarang Romo Yoseph Herman Singgih Sutoro menyambut. “Ayo salim dulu semua anak-anak. Salim-salim, ini Romo (Herman),” seru Hadi kepada anak didiknya.
Canggung Salaman
Satu persatu siswa SMA 13 Semarang itu bersalaman dengan Romo. Begitu giliran beberapa siswa yang beragama Islam, antrian salaman sempat terhenti. Antrian salaman menjadi tak aturan ketika tiga siswi Muslim itu ragu-ragu bersalaman dengan Romo Herman.
“Kamu dulu. Ndak ah.. kamu dulu saja,” terdengar bisik-bisik, sembari saling dorong kecil antara mereka supaya bersalaman dengan Romo.
Guru pendamping yang melihat momen ini segera menyeru siswa untuk segera salaman dengan Romo. “Ayo salim, tidak apa-apa,” jelas Hadi dibantu dengan guru-guru lainnya. Mereka meyakinkan anak-anaknya bahwa salaman dengan Romo itu tidak membuat seseorang itu auto pindah agama.
Usai berdialog bersama, tampak para pelajar lebih memahami arti perbedaan dan tak canggung lagi bersalaman dengan pemuka agama lain. Bahkan, di tempat kunjungan terakhir, para pelajar sudah tak lagi canggung untuk komunikasi dan bertanya hal-hal yang mendasar tentang agama lain.
Ya, 35 pelajar dan guru pendamping SMA 13 Semarang berkunjung ke Gereja Katedral dalam rangka kegiatan wisata lintas agama. Wisata lintas agama ini digagas bersama Wahid Foundation bersama Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang, Kamis, 19 Desember 2019 lalu.
Para siswa lintas agama ini diajak berkunjung menyambangi beberapa tempat ibadah dari berbagai agama dan kepercayaan di Kota Semarang, Jawa Tengah. Mereka mengunjungi tempat peribadatan seperti Gereja Katedral, Pura Agung Giri Natha, Sanggar Kepercayaan Sapta Darma, serta Vihara Buddhagaya Watugong.
Menumbuhkan Toleransi
Pendamping dari Wahid Foundation, Mauliya Risalaturrohmah mengatakan kegiatan ini merupakan rangkaian dari program sekolah damai. Tujuan utamanya untuk memupus prasangka kepada mereka yang berbeda agama dan keyakinan. Sehingga generasi milenial lebih bijak dalam memandang perbedaan keyakinan dan menumbuhkan sikap toleransi.
“Wisata lintas agama ini perlu dibangun karena para siswa bisa langsung berdialog dengan tokoh agama. Ini penting untuk dikenalkan supaya mereka lebih familiar dan dapat menjalin persaudaraan lintas agama” ujar Mauliya saat ditemui di Gereja Katedral Semarang, Kamis (19/12/2019).
Menurut Mauliya, berkunjung ke tempat ibadah agama lain tidak akan mengurangi esensi keimanan mereka terhadap masing-masing agama yang telah dianut. “Maka harapannya setelah mengikuti kegiatan ini mereka tidak canggung dan tidak curiga atau takut untuk berteman atau bersahabat dengan yang berbeda agama,” katanya.
Pastor Kepala Paroki Gereja Katedral Semarang Romo Yoseph Herman Singgih Sutoro mengapresiasi upaya Wahid Foundation dalam menjaga toleransi dan keberagaman beragama. “Saya mengapresiasi kegiatan positif ini, dan semoga bisa terus dilanjutkan untuk membangun persaudaraan antarumat beragama yang sudah terjalin baik,” ungkap Romo Yoseph.
Menurut Romo, perbedaan antarumat beragama itu merupakan sesuatu yang tidak bisa terhindarkan. Sebab Tuhan menciptakan segala sesuatu itu dengan keanekaragaman dan masing-masing mempunyai pribadi dan keunikan. “Oleh karena itu, kita perlu menghargai keanekaragaman, menghormati dan menjaganya sebagai keagungan dari Tuhan,” tutur Romo Herman. (Cep/003)