Pelajaran Hidup dan Kehidupan kepada Kita

Semarang, elsaonline.com- Menyambut 61 Tahun usia Pak Abu, Sabtu (6/06/2020) malam, santri-santri di Yayasan Pemberdayaan Komunitas (YPK) ELSA meluncurkan sebuah buku. Buku yang berjudul “Hidup Berkeseimbangan itu Indah: Kiprah dan Pemikiran KH. Abu Hapsin, PhD” ini diluncurkan bertepatan dengan tanggal kelahiran Pak Abu. “Malahan saya tidak ingat kalau hari ini hari ulang tahun. Saya juga tidak terbiasa untuk mengingat-ingat akan hari ulang tahun,” terang dia saat mengawali sambutan.

Diceritakan ayah dua putra dan satu putri ini bahwa tanggal 6 Juni tersebut bisa jadi bukan tanggal kelahirannya. Sebaliknya disampaikan bahwa tanggal 6 Juni merupakan tanggal ketika ia didaftarkan untuk masuk sekolah. “Dan harinya kalau 6 Juni ini bukan Rabu malam Kamis. Padahal menurut pengakuan Ibu dan Bapak, saya ini lahir Rabu malam Kamis,” lanjutnya.

Lebih rinci, lulusan University of California Los Anggeles, Amerika Serikat, menjelaskan bahwa setelah dihitung-hitung dengan Pak Slamet Hambali, itu Hari Sabtu. “Jadi saya tidak tahu dan kemudian bisa munculnya di akte kelahiran tanggal 6 Juni. Tapi yang jelas waktu saya dilahirkan menjelang Ramadhan,” beber penulis buku ‘Desimbolisasi Kultural: Pluralitas Pemahaman Keislaman dan Pudarnya Simbol-simbol Kultural’ (2017).

Disamping itu, penulis buku ‘Melampaui Formalisme Fiqh: Konstruksi Fiqh Etik Al Ghazali’ (2017) menuturkan bahwa ELSA adalah wadah sebagai kelas lanjutan. Menurutnya, kalau Ketika teman-teman ada di LPM Justisia Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo masih kelas TK, nah eLSA Semarang ini kira-kira sudah SD-nya. “Harapan saya, eLSA ini bisa memberikan pelajaran hidup dan kehidupan kepada kita semuanya. Mudah-mudahan setelah ini kita bisa memprogramkan beberapa kegiatan yang bermanfaat untuk kita, masa kini, dan masa datang,” terangnya.

Baca Juga  Identitas Agama, Akta Kelahiran dan Surat Nikah: Problem Penghayat dalam Soal Administrasi Kependudukan

Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ualma (PWNU) Jawa Tengah era 2013-2018 menambahkan bahwa tentu saja pelajaran yang didapatkan di eLSA adalah pelajaran hidup. Oleh sebab itu, kedepan eLSA Semarang menjadi wahana pembelajaran dalam menjalani kehidupan. “Jadi hidup itu memang tidak sekadar di kampus. Orang boleh S2, S3 tapi pelajaran yang kita peroleh dari eLSA itu saya kira hanya di eLSA,” ujarnya.

Sementara istri tercinta, Ely Fathanah mengaku selalu menyaksikan bahwa sumber kebahagiaan beliau adalah bila sedang berdiskusi segala hal dengan ‘keluarga ideologis’nya. “Terima kasih sweet surprisenya,” pungkasnya. (Munif)

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini