Pandangan tersebut dipaparakan pemateri Zuly Qodir, dalam seminar “Hasil Penelitian Aktifitas Kelompok Keagamaan Dalam Konsentrasi Kebangsaan (Tinjauan Pendidikan) Di Jawa Tengah, Jawa Timur Dan D.I Yogyakarta”. Seminar dilaksanakan di Hotel Laras Asri Resort , Salatiga, Senin (11/04).
Zul Qodir menjelaskan, pendidikan sangat mempengaruhi pada perilaku radikalisme keagamaan. Tercatat pada tahun 2005 angka berdampingan berbeda aliran syiah 26,7% menjadi 41,8 %. Sedangkan pada tahun 2012 pendidikan rendah SMA ke bawah 67,8 % dan tidak mau bertetangga dengan syiah 61,2 %, pendidikan SMA keatas 32,2 % tidak mau bertetangga dengan beda agama, dan 38,2 % tidak mau bertetangga dengan syiah.
Selain itu, yang lebih berbahaya yaitu perilaku radikalisme yang enggan berpancasila, dipandang angat memprihatinkan, sehingga perlunya pengadaan wacana keislaman bagi guru, murid, generasi muda, dan masyarakat.
Menurut Zul, salah satu penyebab timbulnya gerakan radikalisme muncul dari lembaga pendidikan formal dan non formal. Pendidikan dijadikan penyebaran faham radikal ini memiliki angka-angka yang sangat memprihatinkan. Sehingga penanggulangan wacana kekerasan harus dicermati dari awal mula pendidikan, sehingga pendidikan tidak disalahgunakan oleh sebagian oknum.
“Perlunya pengawasan lembaga pendidikan merupakan langkah awal menekan perilaku kekerasan dalam beragama, bukan hanya pengawasan, bahkan pemberian ijin mendirikan lembaga pendidikan harus dicermati,” jelasnya.
“Bahkan ada juga yang menganggap bahwa, salaman dan cium tangan antara orang tua dan anak, atau guru dan murid adalah hal yang tidak diperbolehkan, seperti kultur individu,”tambahnya.
Meskipun demikian, pentingnya pemahaman tentang radikalisme perlu diterapkan, sehingga bisa memahami juga bahaya radikalisme bagi masyarakat. Begitu juga dengan perilaku yang tadinya tidak radikal menjadi radikal, ini juga perlu untuk diawasi.
Pemerintah juga berperan dalam munculnya radikalisme, dengan memunculkan undang-undang yang mengarah pada diskriminasi, baik individu maupun kelompok. Sedangkan lembaga pendidikan non formal seperti pesantren, juga mengalami doktrin radikalisasi dan ini harus diawasi secara teliti. [elsa-ol/MS-@ Mustakim]