“Penodaan Agama” Pasca Putusan MK

Oleh: Tedi Kholiludin


Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menyatakan menolak permohonan para pemohon uji materi UU No. 1 PNPS 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/Atau Penodaan Agama. Pernyataan tersebut diungkapkan dalam sidang pembacaan putusan Senin (19/04), di gedung MK Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Atas dasar putusan itu, maka UU PNPS 1965 dinyatakan tetap berlaku.

Dalam konklusi dari putusan bernomor 140/PUU-VII/2009, MK menilai bahwa (i) Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara a quo. (ii) Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak selaku pemohon dalam perkara a quo. (iii) Dalil-dalil Pemohon, baik dalam permohonan pengujian formil maupun permohonan pengujian materiil, tidak beralasan hukum. Atas kesimpulan tersebut maka MK menyatakan menolak pernyataan Pemohon untuk seluruhnya.

Dalam keputusan yang dibacakan Ketua MK, Prof Mahfudz MD, putusan setebal 322 halaman itu juga mengundang perbedaan alasan dan pendapat dari dua Hakim Konstitusi. Harjono mengajukan concuering opinion(alasan berbeda dari kesimpulan yang sama) dan Maria Farida Indarti yang mengajukan dissenting opinion (pendapat berbeda dan kesimpulan yang beda).

Dari aspek redaksional, menurut Harjono, rumusan Pasal 1 PNPS 1965 mengandung ketidakjelasan sehingga tidak memenuhi syarat bahwa perumusan undang-undang tindak pidana haruslah jelas (lex certa). Ketidakjelasan itu jelas terlihat dalam Pasal 1 yang memuat kalimat “di muka umum”. Sementara Hakim Maria Farida justru berpendapat, seharusnya permohonan Pemohon dikabulkan. Maria melihat bahwa pasal 1 mendiskreditkan para penganut aliran Kepercayaan/Kebatinan. Alasan lain adalah soal organisasi-organisasi kepercayaan seperti yang dimuat dalam pasal 2. Siapakah yang berhak menentukan organisasi-organisasi tersebut? Apakah pemerintah, menteri agama atau mendiknas?

Bagi Pemohon, putusan itu tentu saja menyesakkan. Diskriminasi by judicial melalui PNPS 1965, dikhawatirkan akan terus dirasakan oleh mereka yang selama ini dianggap “penoda agama”. Apa efek sosial yang dirasakan pasca penolakan ini?

Baca Juga  Teosofi Sebagai Quasi Agama

Debat Konstitusional

Terlepas dari keputusan MK, saya mencatat bahwa pro-kontra yang mewarna sidang PNPS 1965 ini adalah debat konstitusional yang paling monumental dalam sejarah kehidupan kebebasan beragama di negara kita. Argumen intelektual dan akademis lebih banyak mewarnai sidang, ketimbang dalil tanpa dasar.

Namun, ada warna yang bagi saya agak sedikit mengerikan, yakni hadirnya terror dan pelibatan masa dalam sidang-sidang tersebut. Masa ini berteriak, membuat kegaduhan dan menempelkan terror dalam bentuk spanduk besar yang dipajang di dekat kantor MK. Terror terutama dilakukan oleh mereka yang menghendaki PNPS 1965 tetap berlaku. Meski tidak memiliki efek langsung, tetapi pelibatan masa serta terror yang dilakukan, tetaplah menjadi sinyalemen yang kurang baik dalam konteks kedewasaan. Untungnya dalam beberapa kali sidang, Mahfudz kerap bertindak tegas dengan meminta peserta sidang untuk tidak berteriak dalam ruangan.

Secara sosiologis, ditolaknya permohonan pencabutan PNPS 1965, sangat berimbas kepada beberapa hal pokok. Pertama, adalah bertambah kuatnya diskursus state favoritism. Dalam pasal 1 secara terang benderang memunculkan diskursus “agama resmi” sekaligus state favoritism. Dalam pasal 1 menyinggung soal “agama yang dianut”. Sementara dalam penjelasannya dikatakan bahwa agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Buddha dan Khong Cu (Confusius). Eksistensi agama-agama tersebut, sesuai dengan penjelasan, karena agama-agama itu bisa dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia. Karena 6 macam agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia, maka kecuali mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat 2 UUD juga mereka mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan oleh pasal ini.

Setelah kalimat itu, penjelasan diteruskan dengan menyebut ”…ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarasturian, Shinto, Thaoism dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat 2 dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lainnya”.

Baca Juga  Menangkap Pesan Utama Kerasulan Muhammad di Mekah

Kalau melihat struktur “nalar negara” pada penjelasan pasal ini, maka bisa diketahui kalau semua warga negara yang beragama mendapatkan jaminan. Tetapi jaminan tersebut, dibelahpilah menjadi ”jaminan dengan bantuan” dan ”jaminan tanpa bantuan”. Jaminan dengan bantuan itu tidak lain dari gambaran prilaku negara terhadap “agama resmi” sementara “jaminan tanpa bantuan” diberikan kepada mereka yang berada di luar agama tersebut. Kalau diibaratkan, agama yang enam itu adalah “anak kandung” negara, sementara di luar itu adalah “anak haram” negara.

Catatan kedua adalah rancunya kata “kegiatan keagamaan” seperti yang tertuang pada pasal 1. Dalam penjelasan disebutkan bahwa kegiatan keagamaan dimaksudkan segala macam kegiatan yang bersifat keagamaan, misalnya menamakan suatu aliran sebagai agama, mempergunakan istilah dalam menjalankan atau mengamalkan ajaran-ajaran kepercayaannya ataupun melakukan ibadahnya dan sebagainya. Pokok-pokok ajaran agama dapat diketahui oleh Departemen Agama yang untuk itu mempunyai alat-alat/cara-cara untuk menyelidikinya. (Penjelasan Pasal 1).

Penjelasan itu, dengan telanjang memberikan kewenangan kepada Departemen Agama (Depag) untuk menentukan mana aliran yang layak disebut agama dan tidak. Atau dengan kata lain, mandat yang diberikan oleh PNPS 1965 kepada Depag adalah bahwa mereka dibebankan untuk mengawasi eksistensi agama-agama serta menjadi ”hakim teologis” mana agama dan mana yang tidak. Ajaran seperti apa yang ”sehat” untuk membedakannya dengan yang ”sakit”. Ini artinya, akan sangat besar kemungkinan munculnya pembatasan terhadap tafsir keagamaan yang dianggap “menyimpang”. Dan saya kira, praktek itu sudah berlaku, bahkan sebelum PNPS 1965 diundangkan.

Kegiatan keagamaan dengan melibatkan negara di dalamnya jelas menyalahi prinsip kebebasan beragama. Sejatinya, negara hanya memiliki peran untuk mengatur lalu lintas hak para penganut agama. Jika organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (UN), Muhamadiyyah, PGI, Persis atau KWI mengeluarkan fatwa yang mengikat warganya, maka praktek itu bisa diterima. Namun, jika praktek itu dilakukan oleh negara, misalnya negara menganggap sesat ajaran tertentu, maka jelas ini adalah pelanggaran terhadap prinsip kebebasan beragama.

Baca Juga  Pendeta Palti: Ayo Rebut Hak-Hak Kita

Penafsiran dan Penodaan

Saya sependapat dengan Hakim Maria Farida, bahwa sejak awal PNPS 1965 mengexclude aliran kebatinan/kepercayaan) di luar kelompok keyakinan keagamaan yang perlu diberikan jaminan. Aliran kepercayaan dalam kacamata pemerintah dianggap bukan keyakinan keagamaan, bahkan mereka kerap dianggap sebagai penoda agama. Apa yang disebut agama itu sendiri, sejauh yang saya baca dalam putusan MK, tidak pernah disinggung. Apakah agama itu dalam pengertian sosiologis, filosofis atau teologis. Inilah yang menjadikan debat PNPS 1965 menjadi suatu yang tak pernah jernih.

Mengutip Rita Smith dan Susan Rodgers (1987) dalam pengantar buku “Indonesian Religions in Transition”, implikasi dari the politics of agama berakhir di dua jalur. Pertama, munculnya kategori orang yang belum beragama (people who do not yet have a religion). Kedua, adanya ambiguitas karena banyak orang yang secara formal dan adminsitratif memeluk salah satu “agama yang diakui” tetapi juga tetap mempraktekan tradisi-tradisi lama mereka. Disinilah letak rapuhnya aturan keagamaan dalam PNPS 1965.

Kekhawatiran saya berikutnya adalah soal penafsiran keagamaan yang kerapkali dianggap sebagai penodaan agama. Soal pluralitas penafsiran dalam sebuah agama seharusnya mendapat jaminan. Sayangnya, penafsiran yang berbeda dengan pemahaman umum, kerapkali dianggap sebagai penodaan agama. Kasus Ahmadiyyah, Yusman Roy, dan lain-lain seringkali dimasukan dalam kategori penodaan, meski yang mereka lakukan adalah penafsiran. Sepertinya, hal-hal seperti demikian yang akan kita jumpai dalam kehidupan keagamaan pada masa-masa yang akan datang.

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

Tiga Tema Alkitab sebagai Basis Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam "Justice and Only Justice: A Palestinian...

Kekristenan Palestina dan Teologi Pembebasan: Berguru Pada Naim Stifan Ateek

Oleh: Tedi Kholiludin Ia adalah seorang Palestina dan bekerja sebagai...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini