Penyederhanaan Pembangunan Rumah Ibadah

Sudijana (3)[Semarang-elsaonline] Harus diakui bahwa hingga detik ini perlindungan terhadap warga penghayat kepercayaan belum bisa berjalan semestinya. Pasalnya mereka kerap dianggap sebagai warga kelas dua. Bahkan pola diskriminasinya pun menunjukkan hak konstitusi penghayat kepercayaan masih terbaikan.

Penilaian demikian dituturkan Ketua Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK) Kabupaten Temanggung, Sudijana, saat dihubungi elsaonline, Rabu (16/7) sore. Sudijana menerangkan, Indonesia adalah rumah bersama bagi semua agama dan kepercayaan. Menurut pria pensiunan, agama-agama formal yang ada saat ini pun merupakan agama manca dan pendatang. “Sebagai agama manca dan pendatang, kita saling memberikan ruang setara. Bukan malah saling meniadakan,” ungkap dia.

Karena itu, Sudijana meminta bahwa regulasi mengenai nasib hajat hidup warga penghayat diharapkan semakin menjamin hak konstitusi bagi penghayat dalam menjalankan kepercayaan, terutama di daerah-daerah. “Jadi, bagaimana pun juga para penghayat ini harus dilindungi, baik dalam melakukan penghayatannya, gedung ibadahnya dan silaturahminya,” ujarnya.

Adapun HPK sendiri, kata dia, berdiri sejak tahun 1955, tetapi baru dilegalisasi oleh pemerintah tahun 1978 melalui Ketetapan MPR No 4 tahun 1978 dan Keputusan Presiden No 20 dan 40 tahun 1978. Dia menyatakan, selain HPK ada pula organisasi kelompok penghayat yang tergabung dalam Badan Koordinasi Organisasi Kepercayaan (BKOK). Namun, sambung dia, organisasi ini mengalami kevakuman yang disebabkan salah satunya karena tidak ada komunikasi dengan pemerintah. “Makanya, mereka tak mengurusi organisasi. Cuma secara perorangan tetap melakukan penghayatan,” terangnya.

Sementara disinggung dalam pembangunan rumah ibadah, dia menyampaikan, peraturan bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama No 9 dan 8 tahun 2006 itu dinilai masih menimbulkan problematika dan rentan konflik antar umat beragama. Menurutnya, regulasi tersebut mengindikasikan warga penghayat mengalami kesulitan administrasi, memunculkan politisasi tokoh agama dan terjadinya tumpang tindih status agama dan keberagamaan. “Karenanya, peraturan ini sangat diskriminatif. Aturannya sangat menyulitkan kaum minoritas seperti saya ini,” bebernya.

Baca Juga  Demokrasi dan Kebebasan Beragama dalam Masyarakat Plural

Meskipun demikian, Sudijana mengakui bahwa tidak mudah mengumpulkan tanda tangan 60 orang untuk mendapatkan izin pendirian rumah ibadah. Apalagi, lanjut dia, jika yang diminta tanda tangan adalah warga yang agamanya berbeda. “Jadi harapan saya, izin pembangunan rumah ibadah itu dapat disederhanakan. Karena pemerintah tak memberi bantuan dana pun tak masalah, tapi tolong beri izin orang lain beribadah,” pinta dia.

Dihubungi terpisah, Kasi Politik dan Kewaspadaan Nasional Kantor Kesbangpol Kabupaten Temanggung, Sri Widodo menambahkan, sulitnya mendirikan rumah ibadah seperti gereja, sanggar dan vihara ditengarai karena tidak adanya komunikasi dan interaksi antar pemuka agama dan antar masyarakat. Sehingga, imbuh dia, ketika suatu kelompok hendak mendirikan rumah ibadah kelompok lain yang berbeda agama akan langsung menolak. “Padahal, komunikasi itu penting walau komunikasi dan interaksi ini pun sebetulnya dapat dilakukan dalam beragam bentuk. Misalnya dalam pertemuan rutin mereka bisa diundang,” tandasnya.

Oleh sebab itu, pihaknya berharap bahwa keberadaan peraturan izin pendirian tempat ibadah ini harus dihormati. Sebab, kata dia, hal itu merupakan hasil kompromi seluruh pimpinan umat beragama. “Termasuk juga oleh forum kerukunan umat beragama. Makanya, aturan itu harus sama-sama dihormati karena persyaratan ini berlaku untuk semua umat beragama,” pungkasnya. [elsa-ol/Munif-@MunifBams]

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Pasar Tradisional dan Masjid Emas sebagai Penanda Kawasan Muslim Quiapo, Manila Filipina

Oleh: Tedi Kholiludin Quiapo adalah sebuah distrik yang berada merupakan...

Beristirahat Sejenak di Kapernaum: Renungan Yohanes 2:12

Oleh: Tedi Kholiludin “Sesudah itu Yesus pergi ke Kapernaum, bersama-sama...

Dua Peneliti ELSA Presentasikan Hasil Risetnya di Pertemuan Jaringan Penelitian HIV Indonesia

Jaringan Penelitian HIV Indonesia (JPHIV-Ina) menggelar pertemuan jaringan...

Liquid Identity: Saat Identitas menjadi Sebuah Entitas Muas

Oleh: Muhamad Sidik Pramono (Mahasiswa Magister Sosiologi Agama Universitas...

2 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini