Perempuan sebagai Korban dan Pelaku Intoleransi Hingga Agen Perdamaian

Dari Training Pendamping Perempuan dalam Situasi Intoleransi

[Surakarta-Tegal -elsaonline.com] Bekerjasama dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi Jawa Tengah, Yayasan Pemberdayaan Komunitas (YPK) ELSA menggelar Pelatihan bagi Pendamping Perempuan dalam Situasi Intoleransi Sosial. Kegiatan dilaksanakan di dua tempat, Kota Surakarta dan Kabupaten Tegal, masing-masing 25 dan 26 September 2023.

Di Kota Surakarta, pelatihan digelar di aula Gereja Kristen Jawa, Manahan dan diikuti oleh tidak kurang dari 20 peserta. Sementara di Tegal, training dipusatkan di aula lanta II Kampus Institut Islam Bakti Negara (IBN), Slawi yang melibatkan 30 peserta. Yang mengikuti kegiatan tersebut berasal dari berbagai organisasi masyarakat sipil, organ keperempuanan, organisasi perangkat daerah dan lainnya.

Empat fasilitator dari ELSA membantu mengelola forum agar berjalan dan menghasilkan keluaran seperti yang diharapkan. Keempatnya adalah Siti Rofiah, Wahyu Indriawan (Surakarta), Muhammad Yusuf dan Zaki Mubarok (Tegal).

Problem intoleransi yang marak di Indonesia, sudah barang pasti melibatkan kelompok perempuan di dalamnya. Mereka ada di berbagai lini intoleransi baik dalam kapasitas sebagai korban (langsung maupun tidak langsung), pendukung, maupun pelaku. Pada level yang lebih tinggi, dalam kasus terorisme misalnya, jika mulanya keterlibatan perempuan umumnya sebagai pendamping suami atau pengikut setia yang memberikan perbantuan dan perlindungan terhadap tersangka terorisme, namun, pada gilirannya, perannya berkembang menjadi pelaku bom bunuh diri.

Dalam ruang yang lebih spesifik, perempuan yang ada dalam pusaran radikalisme, rentan ada dalam posisi ang tidak setara dan rawan terdiskriminasi atas dasar gender. Disamping itu, kekerasan terhadap perempuan menjadi sangat terbuka dan kesempatan yang terbatas dalam mengakses hak pendidikan dan ekonomi. Di luar itu, kesempatan bagi perempuan untuk menggunakan hak-hak sipil dan politik, juga kerap terantuk batu sandungan. Apalagi jika menyangkut proses politik dengan cara yang sah dan tanpa kekerasan, adalah perkara yang tidak mudah didapatkan.

Baca Juga  Peran NU terhadap Islam dan Indonesia

Potensi pelanggaran hak asasi manusia terhadap perempuan, termasuk intoleransi dan diskriminasi, dapat memperdalam keterasingan, isolasi dan pengucilan dan membawa perempuan pada jalan menuju radikalisasi kekerasan. Dampak lainnya dari sisi materi maupun psikologis adalah korbannya mengalami trauma dan tidak bisa melakukan ibadah dan tidak bisa mempraktekkan keyakinannya secara bebas.

Meski percakapan tentang intoleransi lebih membaca perempuan dalam posisi sebagai korban atau pelaku, namun, yang juga penting untuk dipetakan adalah bahwa perempuan sendiri berpotensi menjadi agen perdamaian dan mempromosikan toleransi dan anti kekerasan.

Kompleksitas Problem Perempuan
Dalam diskusi dengan berbagai peserta yang memiliki pengalaman dalam melakukan kerja-kerja pendampingan, identifikasi atas masalah yang mendera perempuan, terbentang dalam pelbagai ruang, mulai dari sisi keluarga, pemahaman keagamaan hingga persoalan ekonomi.

Dalam wilayah keluarga, proses domestiksi menjadi salah satu mata rantai dalam lingkaran intoleransi. Selain aspek domestikasi intoleransi terjadi ketika perempuan dipaksa hamil lalu muncul kekerasan dalam rumah tangga.lingkaran intoleransi di wilayah domestik lalu terjadi ketika perempuan tersebut tidak berani mengakses layanan. Persoalan semakin pelik karena perempuan ditahan untuk tidak mengajukan perceraian.

Pada dimensi kesehatan persoalan pelik juga muncul karena mereka menolak melakukan imunisasi atau tidak bersedia mengakses layanan kesehatan. Sementara dalam pada sisi keyakinan keagamaan, pemahaman eksklusif dan sempit serta intoleransi baik antar maun intra agama menjadi sebab terjadinya intoleransi terhadap kaum perempuan. Dalam ruang ekonomi, ketidakbolehan perempuan bekerja atau keterbatasan ruang bagi perempuan juga membuka potensi terjadinya diskriminasi

Berbagai konteks tersebut bisa saling memengaruhi satu sama lain. Misalnya dalam konteks kesehatan, narasi agama yang eksklusif turut meningkatkan kerentanan perempuan. Perempuan yang dipaksa hamil dan memiliki banyak anak, tidak bisa menentukan bagaimana ia menggunakan organ reproduksinya sendiri, yang dibumbui dengan dalil agama. Begitu pula dalam problem imunisasi.

Baca Juga  “Kedamaian Ada Ketika Kita Mau Menerima Perbedaaan”

Di konteks ekonomi, narasi agama juga digunakan untuk mendomestikasi perempuan sehingga mereka tidak bekerja dan tidak memiliki kemandirian ekonomi. Singkatnya, masalah perempuan tidak terbatas pada satu dimensi, tetapi bertaut antara satu aspek dengan aspek lainnya.

Antusiasme Peserta
50-an lebih peserta yang terlibat dalam diskusi di dua tempat berbeda itu memperlihatkan antusiasmenya. Dari sisi materi, mereka menilai ini tema baru yang didapatkan. Diskusi interaktif sangat berjalan dengan baik. Sebagian peserta merasa bahwa perlu kegiatan serup di kemudian hari karena pelatihan yang dilakukan terlalu singkat untuk mendalami materi, keterampilan konseling dan dukungan psikososial.

Pelatihan yang didalamnya diisi oleh diskusi-diskusi, serta analisis kasus mempermudah memahami problem, bahwa dampak dari ketidakadilan gender sangat berpengaruh besar membuat posisi perempuan terjebak kuat dalam jeratan intoleransi dan radikalisme.

Pasca kegiatan, peserta pelatihan akan berupaya sebisa mungkin untuk menjalankan aktivitas yang paling mungkin bisa mereka lakukan. Misalnya salah satu peserta akan mencoba memberikan penyadaran tentang gender dan pemberdayaan ekonomi perempuan bekerjasama dengan organisasi pengusaha perempuan agar perempuan punya akses kemandirian ekonomi dan hak-hak yang lain sehingga tidak menjadi korban intoleransi. Sementara itu, unsur pelaksana teknis daerah (UPTD) menyediakan diri untuk menjadi rujukan bagi kasus-kasus yang berkaitan dengan intoleransi. [Tedi Kholiludin dari Siti Rofiah dan M. Yusuf]

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini