Pondok Dondong, Pesantren Tertua di Jateng

IMG-20140320-00530 (1)[SEMARANG elsaonline.com] Pesantren tertua di Jawa Tengah terdapat di Kota Semarang. Pesantren itu ada di Kampung Dondong Kelurahan Wonosari Kecamatan Ngaliyan Semarang. Karena ada di Kampung Dondong, pesantren itu bernama Pesantren Dondong sebelum beralih nama menjadi Yayasan Luhur.

Salah satu sumber mencatat, pesantren itu didirikan pada tahun 1609 M oleh Kiai Syafii Pijoro Negoro. Sementara sumber lain mencatat pesantren itu dibangun lebih muda yakni pada tahun 1612 M.

Untuk mengetahui perkembangan pesantren itu, dua reporter elsaonline Ceprudin dan Cahyono pada Kamis 20 Maret 2014 mengunjunginya. Berangkat dengan modal alamat dari tulisan di media, penulis berdua berangkat. Sesampai di daerah Wonosari, kami harus bertanya terlebih dahulu persisnya alamat tersebut.

Warga sekitar Wonosari Kecamatan Ngaliyan, dan Kecamatan Mangkang tampaknya sudah tak asing lagi dengan pesantren itu. Hal itu terbukti dengan salah satu pekerja toko bangunan di Jalan Raya Mangkang, yang menunjukan alamat pesantren itu dengan detail.

“Pondok Luhur ya Mas? Persisnya agak masuk, nanti ada rumah makan Sampurna sebelah kanannya ada gapura bertuliskan Kampung Dondong. Masuk saja, sekitar nanti sekitar 100 meter belok ke kanan. Nah nanti sudah bisa dijumpai pondoknya,” kata laki-laki muda yang belum sempat ditanya namanya itu.

Bergegaslah kami berdua ke arah yang ditunjukan. Tak meleset, petunjuk yang diberikan cukup akurat. Memasuki lingkungan pesantren, penulis merasakan aura pesantren salaf yang bernuansa hangat. Tak seperti pesantren-pesantren modern, pesantren ini tampak sangat sepi.

Makam KH. Syafii
Makam KH. Syafii

Pada bagian pintu bangunan yang berjejer memanjang berlantai dua terdapat tulisan pondok pesantren “luhur” Dondong, Wonosari, Ngaliyan. Begitu masuk, tak langsung dijumpai santrinya. Setelah memutar-mutar agak jauh, ditemui seorang santri yang kemudian mengantarkan ke tiga rumah pengurus pesantren.

Namun, saat itu sekitar pukul 13.30 WIB, di tiga ruma pengrus pesantren tak ada orang yang dimaksud. Ketiganya masih ada keperluan di luar rumah. Sehingga penulis harus menunggu sekitar satu jam untuk bertemu pengasuhnya. Sekira pukul 14.30 WIB, datanglah seorang lelaki menggunakan sarung dengan menggunakan sepeda motor.

Dugaan kami benar, tak salah lagi orang yang datang adalah pengasuhnya yang bernama Tobagus Mansyur. Pria yang akrab disapa Gus Toba ini merupakan generasi ketujuh dari keturunan pendiri Pesantren Dondong Kiai Syafi’i Pijoro Negoro bin Kiai Guru Muhammad Sulaiman Singonegoro.

Baca Juga  Semarang dan Fenomena “Shared Host Culture”

Bubak Mangkang

Gus (panggilan untuk keturunan kiai) ini dengan sangat rendah hati menceritakan sejarah Pesantren Dondong. Sebelum ia bercerita, pria berkulit putih terlebih dahulu menjelaskan kondisi terkini pesantren. Sekitar sepuluh tahun terakhir, pesantren ini mengalami kemunduran karena berbagai faktor.

Daerah Kelurahan Wonosari belakangan kerap diterpa banjir bandang hingga mencapai dua meter. Banjir ini diakibatkan daerah atas Kecamatan Ngaliyan banyak dibangun pabrik dan perumahan sehingga volume air di Kali Beringin menjadi sangat besar dan deras.

Setiap kali hujan datang, daerah ini pasti diterjang banjir. Puncaknya pada november 2010, banjir bandang terjadi sehingga beberapa bangunan inti pesantren roboh. Gus Toba menyebut ada tiga korban balita yang meninggal dunia akibat rumah mereka diterjang banjir.

”Sejak itu, pesantren mengalami kemunduran. Ada beberapa bangunan inti yang roboh karena banjir dan juga kamar-kamar santri terendam air. Akibatnya santri banyak yang boyongan. Kantor pesantren yang menyimpan banyak arsip juga tak luput dari tejangan banjir,” tuturnya lirih.

Karena banjir yang terus-terusan melanda, arsip-arsip yang merekam jejak sejarah pesantren itu ikut hanyut terbawa air dan sebagian rusak. Karena itu, untuk mengetahui sejarah berdirinya pesantren ini secara detail tak bisa dijumpai di pesantren ini.

Selain dua lokal runtuh, pada tahun 2012 satu lokal bangunan tua itu kebakaran. ”Bangunan yang baru sekarang ini, itu dibangun pada masa Kiai Ma’mun. Kalau bangunan tuanya sudah roboh,” ujarnya.

”Semua arsip-arsip hilang, mungkin terbawa air dan mungkin sebagian rusak. Kejadian itu semasa saya masih mesantren dulu. Mungkin kalau tulisan-tulisan atau arsip tentang pesantren ini lebih ada di perpustakaan. Dulu katanya sih ada arsip tulisannya di Kemenag. Tapi saya juga tulisannya belum pernah membacanya,” tutur alumnus Pesantren Tegalrejo Magelang ini.

Meskipun demikian Gus Toba menceritakan sejarah pesantren ini sepanjang yang ia tahu dari cerita-cerita orang tuanya. Sebagai generasi ketujuh, ia bercerita sembari mengutip apa yang sesepuh-sesepuh ceritakan padanya. Secara berurutan ia menyebutkan kiai-kiai generasi penerus Kiai Syafi’i selaku pendiri dan bubak tanah Mangkang.

Kiai Syafii, menurut ceritanya adalah pejuang Mataram, komandan pasukan Sultan Agung, yang menyerang Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) atau Perserikatan Perusahaan Hindia Timur di Batavia, pada 1629. Dalam perjalanannya, Kiai Syafii singgah dan kemudian bermukim di tempat yang sekarang bernama Kampung Dondong.

Baca Juga  Damai Bukan Pilihan, Tapi Kewajiban

”Pada awalnya, beliau mendirikan semacam padepokan, belum berwujud pesantren seperti sekarang. Lambat laun, semakin banyak santri yang datang hingga akhirnya berkembang menjadi pesantren,” ujarnya. Konon, Kiai Syafii berasal dari daerah Klaten atau Yogyakarta.

Pada catatan keluarga, dia disebut sebagai keturunan Ki Ageng Gribig. Tidak ada catatan pasti mengenai tahun lahir dan wafat tokoh besar itu. Haul atau peringatan kematian Kiai Zamqolun diperingati setiap 7 Syawal.

Musala yang menjadi markas para pejuang dari Badan Keamanan Rakyat/Tentara Keamanan Rakyat (BKR/TKR), dan dikenal dengan nama Markas Medan Barat, kondisinya memang sudah memprihatinkan.

Hingga Turunan Ketujuh

Diceritakannya, sepeninggal Kiai Syafii yang wafat pada 1711 M, pengurus pesantren digantikan menantunya Kiai Abu Darda dari Jekulo Undaan Kudus. Abu Darda merupakan suami dari Nyai Rogoniah binti Kiai Syafi’i. ”Menurut cerita-cerita sih Mbah Abu Darda itu masih keturunan Sunan Kudus,” ujarnya.

Namun, Gus Toba enggan membahas banyak soal silsilah pendiri pesantren lebih ke atas. Bukan karena tak mengharagai jasa-jasanya. Namun dengan sangat rendah hati ia menjelaskan bahwa keluarganya tak ingin terbuai dengan ketokohan sesepuh-sesepuhnya.

IMG-20140320-00528”Biarlah para pendiri ini dikenal hanya sebagai pejuang agam dan bangsa ini. Kami tak begitu mengetahui silsilah lebih ke atas. Karena takutnya nanti keturunan-keturunannya sombong sehingga lupa diri. Kami takutnya itu, keturunan tak bisa mengendalikan diri,” tutur pria yang enggan diambil gambar ini.

Setelah Kiai Abu Darda wafat pada 1315 H, pengasuh digantikan menantunya Kiai Abdullah Buiqin bin Umar dari penanggulan Santren Kendal. Abdullah Buiqin merupakan suami dari Nyai Natijah binti Kiai Abu Darda.

Sepeninggal Kiai Abdullah Buiqin yang wafat pada 1340 H Pesantren Dondong Kiai Asy’ari bin Basuki yang merupakan suami Nyai Masruhah cucu dari Nyai Aisyah binti Kiai Abdu Darda. Kiai Asy’ari kemudian wafat pada 1374 H, selanjutnya digantikan oleh kiai Masqom bin Kiai Ahmad bin Kiai Abdullah Buiqin.

Selanjutnya, Kiai Masqan wafat pada tahun 1402 H dan digantikan adiknya Kiai Akhfadzul Athfal yang wafat pada Pada tahun 1411. Pascaitu pengasuh pesantren digantikan menantunya, yakni Kiai Ma’mun Abdul Aziz dari Ngebruk Mangkang. Kiai Ma’mun adalah suami dari Nyai Dalimatun binti Kiai Akhfadzul Athfal.

Baca Juga  Pelanggar NKRI Boleh Diusir dari Indonesia

Silsilah di atas diambil dari skripsi mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang Nurudin. Penelitian itu diambil dari wawancara dengan Abdullah Umar Athfal, pada 7 Juni 2005. Selain itu ada silsilah kiai-kiai yang mengampu pesantren yang dalam versi lain.

Sepeninggal Kiai Abu Darda, Pesantren Dondong kemudian diasuh Kiai Abdullah Tulkin yang merupakan cucu Kiai Syafii. Secara berurutan setelah Kiai Abdullah Tulkin kemudian diasuh Kiai Ahmad Ardabili (cicit), Kiai Masqon (canggah), dan KH Ahfadul Alfal.

Sekarang, pesantren itu diasuh oleh KH Abdullah Umar, KH Faisol Sanusi, Tubagus Mansur (Gus Toba). Gus Toba ini merupakan keturunan generasi ketujuh dari pendiri pesantren Dondong Kiai Syafii.

Silsilah ini diambil dari tulisan media Suara Medeka Senin 8 Oktober 2007 yang ditulis Achiar MP. Achiar memperoleh data dari wawancara dengan Zamqolun (46), salah seorang pengurus Yayasan Pesantren Luhur Dondong.

Perkembangan terakhir Pesantren Dondong yang masih tersisa hanya ada sembilan santri mukim. Sementara santri kalong (pulang pergi) hanya ada 20 orang. Meskipun demikian, Gus Toba masih berharap bangunan bisa diperbaiki untuk menarik para santri yang akan mengaji.

Gus Toba untuk mengetahui sedikit di antara kiai yang pernah menjadi santri di Pondok Dondong mengaku banyak diceritakan oleh Kiai Hadlor Ikhas, Mangkang. Kiai Hadlor pernah bercerita kepadanya saat mengantar Gus Sholah, Putra Kiai Masruri Brebes berziarah ke makam Kiai Syafii.

“Kalau versinya Kiai Hadlor, Mbahnya Kiai Masruri pernah nyantri disini. Saya diceritakan itu pada waktu Gus Sholah ziarah ke makam. Selain itu, menurut cerita Kiai Sholeh Darat juga pernah belajar bersama Kiai Syafii. Entah hubungannya kiai atau sodara, kami belum tahu,” ujarnya.

Sementara para alumnus yang pernah nyantri di pesantren itu adalah Mbahnya Kiai Hadlor Ikhsan. Kiai Mas’ud, pengasuh pesantren Darul Amanah Sukorejo alumni sekitar tahun 1970an. Ada juga Kiai Zamhari pengasuh pesantren Darunnajah Bogor.

Ada juga Muridnya Kiai Ahmad yang merupakan generasi kelima dari Kaliwungu dan sudah meninggal yakni Mbah Wali Syafa. [elsa-ol/Cep-@Ceprudin]

 

 

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Pasar Tradisional dan Masjid Emas sebagai Penanda Kawasan Muslim Quiapo, Manila Filipina

Oleh: Tedi Kholiludin Quiapo adalah sebuah distrik yang berada merupakan...

Beristirahat Sejenak di Kapernaum: Renungan Yohanes 2:12

Oleh: Tedi Kholiludin “Sesudah itu Yesus pergi ke Kapernaum, bersama-sama...

Dua Peneliti ELSA Presentasikan Hasil Risetnya di Pertemuan Jaringan Penelitian HIV Indonesia

Jaringan Penelitian HIV Indonesia (JPHIV-Ina) menggelar pertemuan jaringan...

Liquid Identity: Saat Identitas menjadi Sebuah Entitas Muas

Oleh: Muhamad Sidik Pramono (Mahasiswa Magister Sosiologi Agama Universitas...

1 KOMENTAR

  1. mohon di cek lagi pada isi catatan :

    Pada catatan keluarga, dia disebut sebagai keturunan Ki Ageng Gribig. Tidak ada catatan pasti mengenai tahun lahir dan wafat tokoh besar itu. Haul atau peringatan kematian Kiai Zamqolun diperingati setiap 7 Syawal.

    tertulis Haul peringatan kematian Kiyai Zamkolun …….

    setahu saya belia (Bapak Zamkolun) masih hidup….

    tolong cek keabsahannya sebelum memuat sebuah artikel/tulisan biar pembaca tidak bingung.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini