
Semarang, elsaonline.com – Rancangan Undang-Undang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan (RUU PPK) telah disahkan Badan Legislasi (Baleg) DPR. Menelaah pasal demi pasal dalam RUU tersebut, tampaknya ada potensi yang mengarah pada toleransi juga intoleransi.
Potensi intoleransi muncul jika menelaah Pasal 69 ayat (3) yang menyatakan ”Pendidikan Keagamaan Kristen nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dalam bentuk program yang memiliki peserta paling sedikit 15 (lima belas) orang peserta didik.”
Masih dalam pasal yang sama, Ayat (4) menentukan ”Pendidikan Keagamaan Kristen nonformal yang diselenggarakan dalam bentuk satuan pendidikan atau yang berkembang menjadi satuan pendidikan wajib mendapatkan izin dari kantor Kementerian Agama kabupaten/kota setelah memenuhi ketentuan tentang persyaratan pendirian satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2).”
”Atas pasal ini kami khawatir, nanti akan ada diskriminasi baru dari pemerintah. Nanti, sekolah-sekolah keagamaan, utamanya non-Muslim, tidak mendapat izin karena siswanya kurang dari 15. Padahal mengenai pendidikan itu bukan soal jumlah, satu anak pun harus diberikan hak pendidikan,” kata Dosen Fakultas Hukum UKSW Salatiga, Ninon Melatyugra, pada diskusi bertema merespon RUU PPK di aula FEB UKSW, Kamis 4 Oktober lalu.
Khawatir
Diskusi ini digelar Center For Regulation Reform For Development (CoRRDev) UKSW Salatiga. Pada diskusi ini hadir dosen Fakultas Hukum, Fakultas Theologi, Fakultas Ekonomi, beserta mahasiswa program magister dan doktoral UKSW.
Kehawatiran ini bukan tanpa alasan. Maraknya kasus penutupan rumah ibadah, karena adanya ketentuan 90/60 untuk mendirikan rumah ibadah jadi gambarannya. Syarat 90/60, penduduk dan jamaah rumah ibadah, jelas sangat memberatkan pemeluk agama non-Muslim. Dimana jumlah jamaahnya relatif tak sampai 90 orang dalam setiap wilayah.
Namun demikian, pakar Hukum Tata Negara UKSW Dr Umbu Rauta memiliki pandangan lain terhadap syarat 15 peserta didik yang ditentukan RUU PPK. Hematnya, syarat 15 siswa untuk mendapat izin lebih kepada bentuk pemenuhan sarana dan prasarana.
”Kalau saya membaca pada rasio legisnya, semangatnya itu bagus kok. Kemudian kenapa RUU PPK mengatur syarat 15 (siswa), itu bukan dalam arti mengekang atau membatasi, tapi supaya negara membantu (operasional lembaga pendidikan keagamaan).”
”Ya kalau ndak sampai 15 (siswa) ya ndak masalah, kan ndak ada ketentuan melarang (melakukan aktivitas sekolah). Ya, soal izin itu adalah alat instrumen negara untuk mengatur,” jelasnya.
Rasio Legis
Jadi, katanya, kalau mau membaca RUU PPK, harus lebih dahulu membaca rasio legisnya. Lihat bagian menimbang, dimana ada landasan yuridis, filosofis dan sosiologisnya. ”Pada bagian menimbang juga ada alasan-alasan seperti adanya ketimpangan anggaran, kekurangan SDM, saya kira ndak ada masalah,” tambah mantan Kaprodi Magister Ilmu Hukum ini.
Jika pun dirasa melanggar hak, tambah Umbu, semua warga negara bisa mengajukan gugatan ke MK. ”Lagi pula, RUU ini juga belum selesai dan saya yakin meskipun RUU ini diinisiasi PPP dan PKB, nantinya akan melibatkan tokoh agama dari non-Muslim. Itu pasti, karena ini juga mengatur pendidikan agama lain,” tandasnya.
Semangat Toleransi
Pendapat Umbu Rauta tepat jika melihat beberapa pasal lain dalam RUU yang diinisiasi PPP dan PKB ini.
Pasal 3 huruf b menyatakan “(tujuan didirikannya pesantren untuk) mendorong terbentuknya pemahaman keberagamaan yang moderat, cinta tanah air, terwujud kerukunan hidup umat beragama, serta terbentuk watak peradaban bangsa yang mencerdaskan, bermartabat, dan berkemajuan.”
Pasal di atas sangat jelas bahwa semangat RUU PPK adalah toleransi dan keberagaman. Pasal itu didukung dengan pasal selanjutnya yang dengan tegas bahwa dalam melaksanakan dakwah harus menghargai keyakinan agama lain.
Pasal 14 ayat (1) menentukan ”pesantren sebagai lembaga penyiaran ajaran agama (dakwah Islam) harus mendorong terlaksananya pembentukan masyarakat yang damai, adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan ajaran agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2) menentukan ”dalam melaksanakan penyiaran ajaran agama (dakwah Islam) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pesantren wajib menghormati keyakinan agama orang lain, kerukunan hidup umat beragama, dan keselarasan dakwah dengan tujuan pembangunan nasional.”
Kekeliruan Istilah
Bukan saja persoalan izin dan batasan minimal peserta didik, RUU PPK juga menyisakan kekeliruan-kekeliruan peristilahan. Salah satunya, dalam Pasal 65, dimana konteksnya sedang membahas pendidikan keagamaan Kristen terdapat istilah ”pendidikan diniyah”.
Pasal 65 berbunyi ”selain kewajiban memiliki sarana dan prasarana pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64, satuan ’Pendidikan Keagamaan Kristen’ jalur pendidikan formal wajib memiliki pedoman yang mengatur: e. Kalender pendidikan yang berisi seluruh program dan kegiatan satuan ’Pendidikan Diniyah’ formal selama 1 (satu) tahun pelajaran yang dirinci secara semesteran, bulanan, dan mingguan”.
”Ini saya kurang paham, apakah karena kelalaian mengetik, kelalaian copy paste, atau ada unsur lain,” kata Ninon diawal diskusi.
Dia menambahkan, dalam Pasal 108 juga terdapat kekeliruan istilah. Pasal 108 itu berbunyi ”… satuan Pendidikan Keagamaan ’Hindu’ jalur pendidikan formal wajib memiliki pedoman yang mengatur: i. kode etik hubungan antara sesama warga satuan Pendidikan Keagamaan ’Kristen’ dan hubungan dengan masyarakat sekitar.”
Demikian juga dalam Pasal 110, masih terdapat kalimat Kristen pada bab pembahasan pendidikan keagamaan Hindu. Pasal 110 itu berbunyi ”Setiap satuan Pendidikan Keagamaan ’Hindu’ jalur pendidikan formal dikelola atas dasar rencana kerja tahunan yang merupakan penjabaran rinci dari rencana kerja jangka menengah satuan Pendidikan Keagamaan ’Kristen’ jalur pendidikan formal untuk masa 4 (empat) tahun.”
”Kesalahannya hanya satu kalimat, tapi sangat fatal karena yang seharusnya membahas agama Hindu, tertulis Kristen,” tandasnya. (Cep)