Problem Ke(tidak)setaraan Gender di Kampus

Oleh: Tedi Kholiludin

Ketika masuk taman kanak-kanak, saya masih ingat, dua orang guru dan satu orang yang membantu kelancaran belajar adalah seorang perempuan. Jadi, tiga-tiganya adalah perempuan. Semasa bersekolah dasar, seluruh guru kelasnya adalah perempuan. Hanya ada dua guru laki-laki untuk dua pelajaran; Agama Islam dan Olahraga.

Pindah ke sekolah menengah pertama (SMP), guru perempuan masih cukup dominan. Mungkin 60 persen guru yang pernah mengajar saya adalah seorang perempuan. Naik ke jenjang sekolah menengah atas (SMA), komposisi guru berubah, laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Saat duduk di kelas 1 (sekarang 10), sebagai contoh, dari 12 orang guru pelajaran, hanya ada 4 orang perempuan, sementara sisanya laki-laki.

Masuk kuliah, perbandingannya lebih jauh lagi. Sekurang-kurangnya, 80 persen dosen yang mengajar saya adalah laki-laki. Di program magister, hanya dua dosen perempuan yang sempat bersua di kampus. Jika diprosentase, sekitar 90 persen dosen saya adalah laki-laki. Dan pada program doktor, tak satupun saya diampu dosen perempuan.

Sebagai siswa sekolah dasar, dalam satu kelas, saya memiliki lebih banyak teman perempuan ketimbang laki-laki. Di SMP dan SMA proporsinya kurang lebih sama. Saat berkuliah sarjana, saya tak ingat persis, tetapi ada sedikit perbedaan antara jumlah mahasiswa laki-laki dan perempuan. Tapi yang pasti, ketika masuk kuliah pascasarjana, jumlah teman perempuan lebih sedikit ketimbang laki-laki. Dan begitu pula ketika di jenjang doktoral.

Satu ketika, saya iseng membaca proporsi gender mahasiswa yang studi di kampus tempat saya mengajar. Dari jumlah mahasiswa aktif, terlihat proporsinya tak berbeda jauh. Jumlah mahasiswa laki-laki kurang lebih 51 persen dan sisanya perempuan. Bahkan ada jurusan-jurusan tertentu yang didominasi perempuan, seperti Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI). Di salah satu kelas jurusan yang menyiapkan calon guru untuk MI atau setingkat SD, saya hanya menemukan 6 mahasiswa laki-laki dari 40-an siswa.

Baca Juga  Cadar Bukan Ajaran Islam (4)

Proporsi antara mahasiswa laki-laki dan perempuan agak bergerak di level magister pascasarjana mulai bergerak agak menjauh. Saya menerka, kurang lebih 60-40 persen, dengan mahasiswa laki-laki lebih banyak. Sementara, untuk program doktor, untuk angkatan tahun 2023 ini, dari jumlah 17 mahasiswa, jika tidak keliru, ada 3-4 orang mahasiswi yang mengambil program itu.

***

Kita mungkin punya pengalaman yang tak sama soal proporsi laki-laki dan perempuan ini, baik siswa/mahasiswa ataupun pengajar. Namun juga tak menutup kemungkinan ada juga yang memiliki pengalaman mirip dengan yang saya rasakan.

Untuk memvalidasi situasi dimana saya pernah ada didalamnya, saya membuka data di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pada 2017/2018, dari jenjang SD hingga SMA, perbedaan jumlah siswa laki-laki dan perempuan, berkisar 2-4 % saja, lebih banyak perempuan. Ini berarti situasi yang kurang lebih sama dengan yang saya lewati.

Sementara, prosentase jumlah guru perempuan, merujuk pada data Kemendikbud adalah sebagai berikut; Guru TK 98%, SD 68.37%, SMP 60,79% dan SMA 51,96%. Keadaannya tidak sama persis dengan yang saya alami, tapi ada benang merah; setiap naik jenjang, jumlah guru perempuan terus menurun. Padahal jika ditotal, selisih guru perempuan dan laki-laki bisa sampai 40 persen. Penurunan ini semakin terlihat ketika membaca jumlah dosen perempuan di Perguruan Tinggi. Berdasarkan Data yang tersedia di Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti) terbaru (2023), jumlah dosen perempuan sekitar 129.061, sementara jumlah dosen laki-laki 166.979.
Bagaimana menganalisis situasi ini, terutama pada jenjang perguruan tinggi? Beberapa artikel di media massa, sebenarnya sudah mencoba mengurainya. Yang seringkali terjadi, dan ini alasan yang sangat umum dimengerti, beban ganda yang harus mereka lakoni; karir sebagai dosen dan kehidupan rumah tangga. Hambatan pada jenjang karir dosen bisa dilihat secara jelas pada perbedaan jumlah laki-laki dan perempuan yang mencapai jenjang tertinggi secara akademik; guru besar. Pada 2017, dari 5.342 profesor, jumlah perempuannya sekitar 1.061 sementara laki-laki 4.281. Jika diprosentase, hanya 20 persen perempuan yang berada di level guru besar.

Baca Juga  Bahaya Syiar Kebencian Bagi Kerukunan

Saya belum melakukan telaah mendalam tentang situasi ini. Namun, Bhavani Rao, UNESCO Chair on Gender Equality and Women’s Empowerment, menyentil kampus atau universitas berkaitan dengan minimnya peran mereka dalam melihat perempuan setelah lulus kuliah. Betul bahwa jumlah perempuan yang berkuliah hampir atau bahkan mungkin sedikit lebih banyak dari laki-laki. “[universities] lose track of what happens to the girls who graduate from their programs,” ujarnya. Laporan UNESCO bertajuk “Gender Equality: How Global Universities are Performing” menguatkan pernyataan Rao. Kampus-kampus lebih memfokuskan diri pada pengukuran akses perempuan terhadap pendidikan tinggi, ketimbang melacak hasil dan tingkat keberhasilan mereka.

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini