Oleh: Ayu Rahma F. (Reporter eLSA)
Belum memasuki seperempat tahun 2020, masyarakat Indonesia telah dibuat geram oleh tingkah absurd pemerintah. Baru masuk bulan kedua 2020, para dewan penindas perwakilan rakyat (DPR) sudah membuat huru-hara. Seperti tak cukup dengan lautan massa pada September tahun lalu, mereka mulai mencari perhatian lagi agar didemo dan viral di sosial media.
Awal tahun masyarakat sudah dibuat sesak oleh draft Omnibus Law (baca: UU sapu jagad) dan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja (CILAKA) yang sekarang diganti RUU Cipta Kerja (CIPTAKER). Dari RUU tersebut menimbulkan aksi di beberapa tempat, salah satunya di Semarang pada tanggal 29 Januari 2020.
Belum redam permasalahan Omnibus law, akhir-akhir ini muncul lagi RUU yang tidak kalah kontroversialnya dengan Omnibus law, yaitu RUU Ketahanan Keluarga. Banyak masyarakat sipil yang menyingkat RUU Ketahanan Keluarga ini menjadi RUU HALU. Saya rasa teman-teman jaringan menganggap yang membuat RUU HALU ini sedang berhalusinasi saat membuat RUU tersebut.
Pasal-Pasal Kontroversial
Dalam draf RUU Ketahanan Keluarga yang beredar, ada beberapa yang menjadi kontroversi di kalangan masyarakat dan dianggap terlalu ikut campur dan mengatur ranah privat (keluarga).
Pasal kontroversi diawali pada Pasal 25 yang sudah membagi-bagi antara kewajiban suami dan istri. Dalam pasal tersebut menyebutkan bahwa salah satu kewajiban suami adalah memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya, sedangkan salah satu kewajiban istri adalah wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Seperti ada yang janggal, kenapa kewajiban suami dibatasi sesuai kemampuannya sedangkan kewajiban istri tidak dibatasi sesuai kemampuannya juga. Apakah benar pasal tersebut sudah adil dalam pembagian kewajiban?
Pasal tersebut memang tidak secara terang-terangan melarang para istri bekerja di luar rumah (publik), namun melalui kewajiban tersebut istri seolah-olah dibatasi oleh kerangkeng tak berwujud. Karena meski istri bekerja di ranah publik, dia masih memiliki tanggung jawab untuk wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya dan kewajiban tersebut tidak diwajibkan kepada suami. Padahal suatu pekerjaan akan lebih mudah jika dikerjakan bersama-sama, apakah pembuat RUU ini lupa dengan kebiasaan rakyat Indonesia yang suka bergotong royong dalam melakukan pekerjaan apapun?
Pasal 26 yang mengatur tentang cara memperoleh keturunan juga menuai banyak komentar. Dalam pasal tersebut tertulis bahwa suami istri yang sah berhak untuk memperoleh keturunan sebagai generasi penerus keluarga. Menurut saya, tanpa adanya UU ini pun sejak dahulu setiap pasangan suami istri (pasutri) memiliki hak untuk memperoleh keturunan ataupun tidak. Apa hal semacam ini harus juga diurusi pemerintah? Apa pemerintah tidak punya pekerjaan yang lebih penting? Misalnya mengurusi virus berbahaya rakus dan tamak, yang disebarkan oleh para koruptor.
Lagi pula setiap pasutri tidak membutuhkan uluran tangan pemerintah dalam urusan memiliki keturunan atau tidak. Yang dibutuhkan pasutri adalah uluran tangan dalam urusan mencari nafkah, seperti memperbanyak lapangan kerja dengan upah yang layak, itu lebih bermanfaat.
Dilanjut dengan Pasal 74 tentang kerentanan keluarga, pada ayat 3 dijelaskan bahwa salah satu yang dianggap sebagai krisis keluarga adalah penyimpangan seksual. Dan Pasal 86 yang mewajibkan untuk melapor jika ada krisis keluarga karena penyimpangan seksual. Bukankah memilih orientasi seksual itu hak setiap individu yang tidak bisa dijamah oleh pemerintah?
Dan ini yang paling lucu tapi receh menurut saya, Pasal 33 ayat 2 tentang karakteristik tempat tinggal yang layak huni. Salah satu ketentuannya adalah tempat tinggal memiliki ruang tidur yang tetap dan terpisah antara orang tua dan anak serta terpisah antara anak laki-laki dan perempuan. Bagaimana keluarga dengan anak laki-laki dan perempuan yang memiliki tempat tinggal di perumahan tipe 36? Biasanya kan perumahan tipe 36 itu hanya memilki 2 kamar tidur, apa itu tidak termasuk layak huni? Lah pripun dengan nasib anak milenial yang digadang-gadang akan susah memiliki rumah sendiri, tidak layak mengarungi bahtera rumah tangga dong. Republik ambyar semakin ambyarrr deh.
Jika memang pemerintah ingin meminimalisir kasus inses seharusnya dengan cara lain yang lebih rasional. Seperti pengedukasian tentang pencegahan kekerasan seksual dalam rumah tangga, atau segera mengesahkan RUU PKS. Di pasal tersebut juga tidak menjelaskan umur berapa anak laki-laki dan perempuan kamarnya harus dipisah, kan jadi membingungkan.
Ada juga pasal yang tumpang tindih dengan UU lain yang sudah lama disahkan. Salah satunya cuti melahirkan pada pasal 29. Di pasal tersebut tertulis bahwa hak cuti melahirkan dan menyusui selama 6 bulan. Ketentuan tersebut tidak singkron dengan ketentuan yang sudah diatur di UU No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) dan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketanagakerjaan serta Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil.
RUU HALU dari Kacamata Hukum dan Perempuan
Pada hari Senin (24/02) lalu, di eLSA Semarang telah diselenggarakan diskusi tentang RUU Ketahanan Keluarga ini. Dalam diskusi tersebut, Yayan M. Royani, MH., selaku pemateri yang menjelaskan tentang kontrol negara dalam ranah privat menyampaikan bahwa RUU tersebut sebenarnya memiliki tujuan yang bagus. Namun direktur YPK eLSA Semarang tersebut langsung menyambungkan dengan sebuah pertanyaan, “Tapi apa betul tujuan mulia itu tidak menimbulkan problematika?”
“Terkesan mengada-ngada, tujuannya mulia tapi aspeknya malah meruntuhkan keluarga,” imbuh dosen di Fakultas Syariah dan Hukum.
Menurutnya, negara tidak perlu masuk ke ranah privat. Jika memang negara bertujuan membangun ketahanan keluarga mungkin lebih baik berbentuk program-program dan tidak perlu berbentuk nilai yang dipositifkan.
Lenny Ristiyani, S. Pd., sebagai pemateri kedua pun menjelaskan dampak apa yang diterima perempuan jika RUU HALU ini disahkan. Menurutnya, pergerakan perempuan yang telah diperjuangkan sejak dahulu akan mengalami kemunduran karena RUU ini.
“RUU HALU terlalu mengarah kepada ranah privat dan merampas kebebasan perempuan,” paparnya.
Menurut anggota LRC-KJHAM tersebut, pemerintah mengalihkan isu untuk mengesahkan RUU PKS. Melalui RUU ini pemerintah mencoba memberikan ruang aman bagi perempuan tanpa mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Padahal seharusnya RUU PKS yang harus segera disahkan bukan RUU HALU.
Senada dengan Lenny, Yayan juga menyatakan bahwa seharusnya yang disahkan adalah RUU yang lebih jelas yaitu RUU PKS dari pada RUU HALU yang akan menimbulkan diskriminasi baru. RUU ini juga diduga sebagai salah satu pintu menuju orde baru versi kedua.
Dalam Indopolitik.com, Tunggal Pawestri sebagai aktivis perempuan mengkritik bahwa RUU HALU ini adalah warisan orba (orde baru) yang dahulu pernah digaungkan oleh Soeharto dengan model perempuan ibuisme. Seperti tesis Julia Suryakusuma yang dibukukan dengan judul ‘Ibuisme Negara’. Dalam salah satu artikel politik Tirto.id menjelaskan wawancaranya dengan Julia Suryakusuma, bahwa orde baru melakukan pendefinisian ulang terhadap “istri” baik secara sosial, politik dan ekonomi. Dan sekarang terulang lagi pendefinisian tersebut dalam RUU HALU yang menyudutkan perempuan.
Apakah RUU HALU ini termasuk kekerasan sistematis negara terhadap perempuan? Bukankah seharusnya negara melindungi setiap masyarakatnya dari berbagai kekerasan tanpa memandang jenis kelamin? RUU HALU ini bukanlah solusi yang baik untuk permasalahan-permasalahan di lingkup keluarga. Karena dengan ikut campurnya negara ke dalam ranah privat membuat tertindasnya hak-hak privat setiap individu. Seperti ucapan Gus Dur yang dikutip oleh Yayan saat diskusi “Kedamaian tanpa keadilan adalah ilusi”. Jadi tidak akan ada kedamaian jika ketidakadilan dan diskriminasi masih mendominasi.