Puisi Untuk Yang Tersisih

buku
klik untuk memperbesar

Judul Buku      : Kuburlah Kami Hidup-Hidup

Penulis             : Anick HT

Penerbit           : Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP)

Tahun Terbit    : Januari 2014

Tebal Buku      : 168 halaman

ISBN               : 978-979-18746-2-5

Peresensi         : Siti Nur Chalimah

Keanekaragaman merupakan sebuah anugerah yang Tuhan berikan kepada kita. Keanekaragaman ini meliputi suku, ras, budaya, tradisi dan agama. Berbicara tentang agama, semua agama hakikatnya mempunyai satu tujuan yang sama, yaitu mencapai sebuah titik puncak yang dinamakan dengan kedamaian. Akan tetapi, perjalanan keberagaman bangsa kita seringkali tersandung oleh kepentingan-kepentingan sempit para penguasa.

Keberagaman agama malah dianggap sebagai sebab terjadinya perpecahan. Sehingga kemudian muncullah upaya penyeragaman perbedaan-perbedaan agama yang ada dengan dalih persatuan dan kesatuan negara. Tapi agaknya, upaya penyeragaman yang lebih condong pada diskriminasi ini tidaklah sampai pada tujuan awal yaitu terbentuknya kesatuan, melainkan justru menimbulkan ketakutan pada kelompok-kelompok masyarakat.

Melalui rangkaian puisi esai yang bertemakan keagamaan dan keyakinan dalam kaitannya dengan pluralisme, toleransi dan diskriminasi ini, Anick HT akan mengisahkan berbagai macam realita yang selama ini telah terjadi di sekitar kita. Banyaknya ketimpangan sosial, aturan hukum dan pelaksanaannya, ketidakadilan, serta permainan politik yang terjadi dibalik satu jargon bernama kerukunan beragama.

Dalam buku yang berjudul “Kuburlah Kami Hidup-Hidup” ini memuat lima puisi esai yang berisi tentang kisah-kisah kelompok minoritas di Indonesia yang tersisihkan dan terdiskriminasi karena persoalan agama dan keyakinan mereka.Pada puisi pertama yang bertajuk “Olenka, Generasi yang Hilang” Anick menggambarkan keadaan kelompok masyarakat yang ada di Bulukumba, Sulawesi Selatan. Dimana agama islam adalah agama resmi yang diakui disana. Beberapa peraturan daerah yang dianggap bernuansa syariat pun muncul, tanpa memikirkan merekayang memeluk agama ‘tidak resmi’. Misalnya saja peraturan daerah di kabupaten Bulukumba no. 06/2003 tentang pandai baca Al-Qur’an bagi calon siswa dan pengantin. Kemampuan membaca Al-Qur’an dijadikan syarat untuk dapat  melanjutkan sekolah. Begitu juga peraturan ini harus dipatuhi oleh semua masyarakat, termasuk masyarakat yang beragama ‘tidak resmi’. Mereka yang menjadi kaum minoritas terpaksa harus mengikuti ‘kebijakan pemerintah’ setempat, walau sebenarnya mereka menunjukkan perlawanan, sekalipun hanya di dalam hati.

Baca Juga  Mozaik Peradaban Dua Agama

 “Kami menyembah Tuhan dengan cara kami. Tuhan yang Maha Esa. Mungkin Tuhan kami berbeda dengan Tuhan Anda. Mungkin juga sama.” Adalah penggalan puisi kedua yang bertajuk “Tuhanmu bukan Tuhanmu” (hlm 80), menceritakan tentang aliran Sapta Darma yang mendapatkan serangan dari berbagai kelompok yang menganggap mereka sebagai aliran sesat. Layaknya suatu keyakinan, aliran Sapta Darma ini tentulah mempunyai ritual ibadah menurut keyakinan mereka yang berbeda dengan agama atau aliran-aliran lain.

Pada puisi ketiga, yang judulnya diambil Anick sebagai judul buku ini yaitu “Kuburlah Kami Hidup-hidup” mengisahkan keprihatinan yang dirasakan oleh para anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang ada di Lombok. Mereka tersingkir dan terasingkan di negara mereka sendiri, negara Indonesia. Kemudian, pada puisi ke empat yang bertajuk “Bu Murti Di Culik Wirosableng” dan puisi yang kelima “Tunjukkan Padaku Dimana Rumah Tuhan”  juga menceritakan kisah yang serupa dengan puisi yang pertama sampai ketiga. Menurutnya, perbedaan bukanlah alasan untuk membenci, karena kesempitan pikir akan ada dan selalu ada dalam penganut semua agama.

Beberapa pesan tersirat dapat kita temukan dalam puisi-puisi ini, “Bahwa semut, tak seperti manusia. Selalu berbagai senyum. Bersalaman, jika bertemu sesamanya. Tanpa peduli lelah. Seharian mencari makan tanpa hasil. Tanpa peduli nama, dan agama.”(hlm 108) Seharusnya, kita bisa belajar dari semut. Mereka selalu akur, dengan tidak menyalahkan yang lain. Walaupun berbeda-beda agama dan keyakinan. Karena perbedaan bukanlah alasan terjadinya perpecahan. Justru dengan adanya keberagaman ini, kita diharuskan untuk memahami serta menghormati orang lain.

Buku ini merupakan refleksi untuk negara kita, yang selama ini tak memperhatikan mereka yang ‘tersisih’ di negara ini sendiri. Membaca buku ini, kita akan belajar betapa membangun kembali kemajemukan negara kita, membangun kembali kebhinekaan kita, dan menjunjung tinggikemanusiaan itu lebih penting daripada hanya sekadar menyalah-nyalahkan orang atau golongan lain, padahal belum tentu kita sendiri yang paling benar. Perbedaan bukanlah alasan untuk membenci. Selamat membaca! [e]

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini