Semarang -elsaonline.com Laporan tahunan 2018 ini telah berupaya mendokumentasikan kasus-kasus dalam empat rumpun. Pertama, terorisme. Melalui penelaahan terhadap pelbagai peristiwa yang ada di Jawa Tengah, setidaknya ada 14 kasus yang berkaitan dengan terorisme. Hampir semuanya adalah peristiwa penangkapan terhadap mereka yang diduga turut terlibat dalam jaringan terorisme.
Kedua, peristiwa-peristiwa bernuansa agama. Kasus ini mengandung atau melibatkan simbol agama, tetapi tidak/belum dikategorikan sebagai konflik atau kasus intoleransi yang dilatari oleh motivasi agama. Sejauh yang kami pantau, setidaknya ada 7 peristiwa di domain ini.
Ketiga, kasus yang bisa masuk kategori “discrimination by judicial” atau diskriminasi yang dilakukan oleh negara dengan menggunakan dokumen negara yang legal sebagai acuannya. Dalam batas-batas tertentu, kita bisa menyebut ada dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam kasus ini. Ada 3 kejadian yang masuk kategori tersebut.
Keempat, peristiwa yang ada dalam ranah konflik horisontal, dimana pelaku maupun korbannya adalah masyarakat sipil. Ada 9 kejadian yang melibatkan masyarakat sipil dalam konflik ini.
Situasi yang menjadi penanda konflik di Jawa Tengah dan sedikit membedakannya dengan tahun-tahun sebelumnya adalah surat peringatan Bupati Banjarnegara terhadap JAI setempat. Sejak 2010, surat peringatan ini merupakan produk bupati/walikota yang kedua dalam hal pengawasan atau peringatan terhadap kelompok agama. 2011, Walikota Tegal ketika itu mengeluarkan Surat Edaran untuk mewaspadai Aliran Syiah Imamiyah. Bagi JAI, 3 surat peringatan ini adalah surat yang pertama diterima di seluruh wilayah di Jawa Tengah. Bahkan di level propinsi saja tidak ada kebijakan yang berkaitan dengan pengawasan atau peringatan terhadap kelompok agama.
Kondisi ini, sangat berpotensi mencederai proses demokratisasi yang selama ini sedang dalam proses pematangan di Jawa Tengah. Ketika Propinsi Jawa Barat dan Jawa Timur mengeluarkan Peraturan Gubernur tentang Ahmadiyyah pada 2011, Jawa Tengah tidak turut menelurkannya. Sikap ini meneguhkan posisi negara yang netral dalam konteks urusan keagamaan warganya. Negara tidak melakukan intervensi terhadap keyakinan. Tetapi, munculnya surat peringatan ini yang adalah aturan satu-satunya di Jawa Tengah, sangat berpotensi untuk melanggar hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Di luar situasi yang sudah terjabarkan, kasus-kasus keagamaan yang belum tertuntaskan nampaknya harus segera mungkin dicarikan jalan keluarnya. Dua yang secara eksplisit kami cantumkan dalam laporan tahun ini; pembangunan dan fungsionalisasi bangunan untuk beribadah warga Gereja Injili di Tanah Jawa (GITJ) Dermolo, Jepara serta Pembangunan Masjid JAI di Kendal. Berlarut-larutnya penyelesaian atas dua kasus ini, serta belasan kasus serupa, akan semakin mengurangi kadar berdemokrasi di Indonesia, khususnya Jawa Tengah.