Oleh: Alhilyatuz Zakiyah Fillaily
Penggunaan frasa UU Pencegahan Kekerasan Seksual ini mengandung arti korban yang tidak dibatasi tentang bagaimana ekspresi gendernya. Sebelumnya perlu dibedakan antara kekerasan berbasis gender dan kekerasan berbasis seksual. Kekerasan berbasis gender adalah kekerasan yang didasarkan pada peran gender seseorang, yaitu pada ekspresi sosial dan budaya akan peran yang seharusnya dimainkan orang tersebut dirumah dan (Galuh Wandita dan Karen Campbell Nelson, 2015:22). Kekerasan ini terjadi karena seseorang mengalami diskriminasi dalam pergaulan sehari-hari di masyarakat. Sedangkan kekerasan berbasis seksual adalah kekerasan yang menargetkan seseorang berdasarkan jenis kelamin biologis mereka. Artinya kekerasan ini hanya menyasar seksualitas seseorang dan dilakukan dengan cara seksual, misal pemerkosaan (Galuh Wandita dan Karen Campbell Nelson, 2015:22).
Pada kenyataannya kekerasan seksual diawali kekerasan yang bebasis gender, dengan identitas korban adalah perempuan. Banyak pemberitaan yang menunjukkan bahwa 2 dari 3 perempuan pernah mengalami kekerasan seksual dengan berbagai macam jenis tindakan. Komnas Perempuan mengeluarkan catatan selama 12 tahun (2001-2012) bahwa setiap 3 jam setidaknya ada 2 perempuan mengalami kekerasan seksual (booklet “15 Bentuk Kekerasan Seksual Sebuah Pengenalan” di: www.komnasperempuan.go.id). Ini menunjukkan bahwa kita masih hidup dalam dunia patriarki yang memposisikan perempuan sebagai inferior.
Definisi kekerasan seksual itu sendiri dalam RUU PKS adalah setiap perbuatan merendahkan, menghinda, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik. Jika Anda mengikuti kelompok kontra RUU PKS, definisi ini yang sering digunakan sebagai senjata untuk melemahkan.
Selanjutnya, RUU PKS yang disuarakan oleh orang-orang akar rumput lama mangkrak di Komisi VIII DPR RI semenjak tahun 2015. Pada masa kabinet kerja 2014-2019 tidak ada pembahasan secara substansial untuk RUU ini. Proses ini mencerminkan sikap rendahnya kepedulian kalangan elit politik terhadap korban kekerasan seksual. Bahkan FGD yang dilakukan oleh DPR hanya bersifat lobby dan tidak bermakna substansi. Celakanya kalangan elit politik yang diberikan tanggung jawab untuk serius membahas RUU ini malah menggunakan uang negara untuk piknik ke Kanada dan Perancis tanpa hasil apapun, dengan dalih study banding.
Langkah yang sangat prihatin bagi saya adalah saat saya dan kawan-kawan di kampus telah sering mengkaji RUU PKS, tetapi DPR belum serius membedah apa isi dari RUU tersebut. Informasi terbaru periode saat ini (2020-2024) RUU PKS masuk dalam prolegnas prioritas. Anda yang pernah hopeless dan menyerah dalam mengawal RUU ini, bangkitlah kembali. Negeri ini sedang darurat kekerasan seksual, ini sebuah kebenaran yang seharusnya semua orang menjerit dan menyuarakan keberpihakan pada korban.
Melalui tulisan ini saya hendak menjelaskan beberapa hal mengapa RUU PKS dikatakan memuat aturan khusus yang dalam istilah hukum disebut “lex specialist derogate legi generali” artinya hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum. Pembanding yang tepat adalah KUHP. Celakanya, di dalam KUHP hanya mengatur kejahatan pemerkosaan dan pencabulan sedangkan dalam RUU PKS mengatur 9 bentuk baru dari rumusan delik baru kekerasan seksual. Awalnya berjumlah 15 bentuk, kemudian dipangkas oleh DPR. Dan di dalam KUHP itu sendiri jenis tindak kekerasan seksual tergolong sebagai tindak pidana kesusilaan.
Perbedaan RUU PKS dan KUHP
Perbedaan ini saya sarikan dari pembacaan terhadap draft RUU PKS, KUHP dan catatan Komnas Perempuan (silakan baca “RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai UU yang Mengatur Tindak Pidana Khusus” di sini: www.komnasperempuan.go.id) dengan berbagai tambahan penjelasan. Petama, adalah jenis kekerasan seksual. Dalam KUHP hanya mengatur 2 tindak pidana yaiu perkosaan dan pencabulan. Sedangkan dalam RUU PKS mengatur 9 jenis yaitu, pelecehan seksual, eskploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudaan seksual dan penyiksaan seksual.
Kedua, tentang definisi dan bentuknya. RUU PKS telah mengatur dengan jelas dan rinci dari masing-masing tindak pidana, sedangkan dalam KUHP hanya terbatas pada bentuk perkosaan dan pencabulan saja. Kemungkinan akibat hukumnya dalam pembuktian kasus perkosaan, jika tidak memenuhi unsur yang ditetapkan pelaku perkosaan dipidana lebih ringan dengan penggolongan pencabulan. Pidana penjara pelaku perkosaan paling lama 12 tahun, sedangkan pencabulan 9 tahun.
Misalnya begini; tentang perkosaan dalam RUU PKS dan KUHP. Definisi perkosaan terdapat pada Pasal 16 RUU PKS, berbunyi: kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk kekerasan, ancaman kekerasan, atau tipu muslihat, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan untuk melakukan hubungan seksual. Dianggap juga melakukan tindak pidana pekosaan, jika; a.) seseorang memasukkan dan/atau menggesekkan alat kelaminnya ke vagina, anus, mulu atau bagian tubuh orang lain yang patut diduga sebagai hubungan seksual atau, b.) seseorang memasukkan bagian tubuhnya yang bukan alat kelamin atau suatu benda ke dalam alat kelamin atau anus orang lain. Dalam KUHP perkosaan diatur dalam Pasal 285-288, dengan menyebutkan kata “perkosaan” hanya di Pasal 285. Dalam pasal lainnya menggunakan kata “bersetubuh”. Akibat hukumnya adalah dalam proses penyidikan kasusnya, diidentifikasi sebagai tindak pidana pemerkosaan ketika kelamin laki-laki (penis) masuk ke kelamin perempuan (vagina). Ini dikembalikan pada pembacaan pasal-pasal KUHP yang dominan menyebutkan “bersetubuh”. Maka dilakukan visum sebagai bahan pembuktian di proses peradilan.
Contoh kasus, pada akhir tahun 2019 terjadi pemerkosaan terhadap S, perempuan suku Baduy (selengkapnya baca “Kronologi Pemerkosaan dan Pembunuhan Perempuan Baduy” di www.cnnindonesia.com). Pemerkosaan itu dilakukan berkelompok oleh 3 orang, didahului dengan melukai korban menggunakan golok dan berakhir dengan pembunuhan. Kemudian pelaku hanya dijerat Pasal 338 KUHP dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dengan mengidentifikasikan sebagai tindak pidana pembunuhan dan menghilangkan tindak pidana pemerkosaan. Dalam RUU PKS mengatur pertanggungjawaban pidana terkait kasus ini secara komprehensif. Pasal 110 ayat 3 RUU PKS menyebukan bahwa apabila perkosaan mengakibatkan meninggal dunia, dipidana penjara paling singkat 11 tahun dan paling lama 20 tahun disertai pidana tambahan berupa ganti kerugian. Lalu bagaimana tentang pidana tambahan ganti kerugian ini? Pasal 47 RUU PKS mengatur 4 jenis ganti rugi yaitu; uang sebagai ganti kerugian materil dan immaterial, layanan pemulihan yang dibutuhkan korban dan/atau keluarga korban, permintaan maaf kepada korban dan/atau keluarga korban, dan pemulihan nama baik korban dan/atau keluarga korban. Jadi ganti rugi tersebut dapat diberikan kepada korban dan keluarga korban. Dalam kasus di atas, korban telah meninggal, dan keluarga tetap berhak mendapatkan ganti rugi karena itu termasuk pidana tambahan yang harus dijalankan pelaku. Ingat, KUHP tidak mengatur ini. Begitu juga dengan 8 jenis tindak pidana lainnya diatur lengkap oleh RUU PKS.
Ketiga, pidana korporasi. Pasal 136 RUU PKS menegaskan bahwa pejabat korporasi atau pekerja korporasi jika melakukan kekerasan seksual dipidana penjara dengan ketentuan dalam undang-undang ini dan mendapatkan pidana tambahan berupa ganti rugi. Maksudnya adalah RUU PKS mengakomodir pertanggungjawaban perbuatan kekerasan seksual dalam dunia korporasi. Selama ini aturan tentang tindak pidana korporasi tersebar berbagai aturan, yaitu UU No. 20 Tahun 2001 (UU Tipikor), UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU Lingkungan Hidup), dan Peraturan Mahkamah Agung No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi (Perma 13/2016). Aturan-aturan tersebut belum melindungi manusia secara utuh, perlindungan masih berkutat pada harta kekayaan dan lingkungan. Kasus kekerasan seksual di tempat kerja sering terjadi. Data dari Perempuan Mahardhika di KBN Cakung (2017) menunjukkan 56,5 % buruh garmen perempuan mengalami pelecehan seksual. Sebesar 93,6 % korban tidak melaporkan dikarenakan tidak adanya mekanisme di tempat kerja, dan sebanyak 50 % buruh perempuan garmen khawatir saat hamil, karena lingkungan kerja yang tidak ramah terhadap perempuan yang sedang hamil (Perempuan Mahardhika, 2017: 25-40). Nah, RUU PKS memberikan jawaban dari kekosongan hukum yang tidak ada di KUHP. Apalagi wacana kekerasan seksual di lingkungan kerja masih tergolong sunyi.
Keempat, adanya bentuk-bentuk pidana baru dalam RUU PKS. Aturannya dalam Pasal 87-90. Pidana pokok berupa pidana penjara dan rehabilitasi khusus. Sedangkan pidana tambahan mencakup; ganti kerugian, perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, kerja sosial, pembinaan khusus, pencabutan hak asuh, pencabutan hak politik, dan pencabutan jabatan atau profesi. Sedangkan dalam KUHP hanya memberikan pidana pokok berupa pidana penjara yang terbatas pada pidana perkosaan dan pencabulan saja. Dalam aturan pidana pokok KUHP pun hanya memuat 3 macam bentuk pidana tambahan yaitu pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan pengumuman putusan hakim. Aturannya dalam Pasal 10 KUHP. Jadi RUU PKS memberikan banyak trobosan baru dalam hukum pidana di Indonesia.
Kedudukan RUU PKS di luar KUHP dalam Perspektif Hukum Pidana
Kedudukan RUU PKS adalah sebagai UU tindak pidana khusus di luar KUHP. Dalam Pasal 63 ayat 2 KUHP berbunyi; jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.
Seperti contoh aturan tindak pidana korupsi diatur dalam KUHP pada Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, dan 435. Selanjutnya muncul aturan baru yang lebih sempurna dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian diperbaharui yang terbaru menjadi UU No. 21 Tahun 2001 yang disebut UU Tipikor. UU Tipikor ini bersifat lex specialist. Sama halnya posisi RUU PKS terhadap KUHP. Aturan di KUHP yaitu berupa perkosaan ada dalam Pasal 285-288, dan pencabulan Pasal 289-296.
Kedudukan KUHP setara dengan Undang-Undang, jika terdapat aturan yang lebih khusus mengatur maka aturan itulah yang didahulukan. Kritik KUHP harus diwujudkan dalam UU yang baru. UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Pidana Indonesia yang merubah WvS (Wetboek van Strafrecht) menjadi KUHP saat itu belum mengenal wacana kekerasan seksual lebih dalam. Oleh karena itu perlu adanya perubahan dengan segera mengesahkan RUU PKS sebagai hukum yang benar-benar hidup di masyarakat (living law).