Oleh: Ahmad Umam Aufi
Mahasiswa Program Doktor UIN Walisongo Semarang
Angon putu merupakan salah satu tradisi lama yang sudah langka dijumpai dalam masyarakat Jawa. “Tradisine wong kuno,” istilah yang digunakan Mbah Ariyah, seorang nenek yang berusia kurang lebih 86 tahun yang Minggu (16/8/2020) kemarin baru saja melaksanakan tradisi tersebut di Kelurahan Sadeng, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang.
Dengan cucu berjumlah 26 orang dan 14 orang cicit, mbah Yah, panggilannya sehari-hari, telah memenuhi kriteria untuk melaksanakan ritual angon putu. Pada umumnya, ritual ini hanya bisa terjadi jika seorang kakek atau nenek memiliki minimal 25 orang cucu. Dan mbah Yah, telah melampauinya. Sebuah syarat yang terbilang sulit di tengah gencarnya ajakan program Keluarga Berencana (KB).
Kata angon berarti menggembala. Sedangkan putu berarti cucu. Angon putu dengan demikian merupakan tradisi “menggembalakan” cucu oleh kakek atau nenek dengan menggiringnya menuju tempat mereka mencari makan. Dalam tradisi angon putu, tempat yang dimaksud itu ialah pasar. Di tempat inilah, mereka dibiarkan mengambil makanan dengan bekal uang yang sudah diberikan oleh sang penggembala sebelum berangkat. Biasanya penggembala berada di belakang memakai caping dan pecut saat menggiring menuju dan pulang dari lokasi.
Akan tetapi, tradisi angon putu yang dilakukan mbah Yah terbilang berbeda. Secara prosesi, ritual angon putu seharusnya bergerak dari rumah menuju ke pasar, sedangkan mbah Yah bergerak dari rumah, berkeliling perkampungan dan menuju pemancingan untuk makan-makan. Hal tersebut disebabkan atas dasar pertimbangan kondisi covid-19 yang belum juga mereda. Pasar yang seharusnya menjadi tujuan, dialihkan menuju ke pemancingan.
Pasar sebagai tujuan sebenarnya memiliki maksud untuk memperkuat dan menjaga eksistensi pasar tradisional dengan pendekatan kearifan atau budaya lokal. Dedi Iskandar, Agung Budi Sardjono, dan Wijayanti dalam sebuah artikelnya yang berjudul “Konsep Ruang Sakral dan Profan Pasar Gawok” menunjukan bahwa tradisi, termasuk angon putu, merupakan strategi kebudayaan dalam menjaga eksistensi dan bertahan dari penetrasi modernitas. Akan tetapi mbah Yah, menggantinya dengan memberi sedekah kepada anak-anak di tengah suasan pandemi yang sulit ini.
Sebagai penggembala, mbah Yah semestinya menggunakan pecut untuk menggiring gembalaannya –cucu dan cicitnya -, akan tetapi ia tidak menggunakannya. Ia tidak mau menyamakan anak, cucu dan cicitnya dengan hewan. “Anak putuku dudu sapi, ora perlu dipecuti,” jelasnya. Ini senada dengan nilai moral pepatah Jawa yang berbunyi wingko katon kencana, yang artinya serpihan genteng terlihat bagai emas. Seburuk apapun rupa dan bentuk anak, ia akan selalu menjadi yang terbaik di mata orang tuanya. Sebuah nilai yang patut diketengahkan di tengah angka kekerasan terhadap anak yang dirilis oleh SIMFONI PPA, pada 1 Januari – 19 Juni 2020 telah terjadi 3.087 kasus kekerasan terhadap anak, diantaranya 852 kekerasan fisik, 768 psikis, dan 1.848 kasus kekerasan seksual, angka ini tergolong tinggi (sumber: www.kemenpppa.go.id ).
Ritual ini dilapisi oleh budaya santri. Diiringi dengan rebana dan bacaan shalawat thibbil qulub, li khomsatun dan ya nabi salam ‘alaik – sebagai simbol identitas santri -, para anak, cucu dan cicit mbah Yah digiring mengelilingi perkampungan sambil berharap musnahnya wabah pandemi ini. Bahkan untuk meneguhkan identitas sosial sebagai keluarga santri, dua bendera Nahdlatul Ulama (NU) dan satu bendera merah putih dikibarkan dalam proses nggiring putu. Dengan sesekali melantunkan lagu ya lal wathon, keluarga mbah Yah meneguhkan sikap politik dan kebangsaaan kelompok santri di hari kemerdekaan. Sebuah atribut dan identitas sosial yang tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan prosesi angon putu.
Tradisi angon putu mbah Yah berubah menjadi ruang perjumpaan dua kebudayaan yang telah lama ada di Jawa, yakni kebudayaan santri (Islam) dan kebudayaan Jawa itu sendiri. Penggunaan simbol dan atribut identitas sebagai bagian dari kelompok santri menunjukan bahwa kelompok santri sangat lentur dan luwes dalam berjumpa dengan beragam kebudayaan. Mereka dengan mudah tetap nguri-nguri budaya Jawa sekaligus mempertemukannya dengan budaya santri. Barangkali, ini semakin memperkuat pandangan bahwa seorang Jawa selalu identik dengan seorang muslim.
Lepas dari itu semua, selain bentuk syukur atas karunia Tuhan yang berwujud anak, cucu dan cicit, angon putu mengajarkan tentang makna perdamaian dan kerukunan yang disimbolkan oleh sebuah keluarga yang berjalan menuju tujuan yang sama dengan beragam sikap dan pandangan yang berbeda. Keluarga menjadi unit sosial yang memiliki peran yang sangat penting dalam masyarakat. Tanpa keluarga yang beradab, tidak pernah ada bangsa yang beradab. Keluarga adalah pondasi awal untuk menuju masyarakat yang sejahtera. Untuk memulainya, berkumpul dan mengenal nenek, buyut dan para leluhurnya adalah salah sebuah hal yang bisa dilakukan, dan angon putu menyediakan ruang itu.
Sebagai penutup, tradisi angon putu adalah ruang budaya yang sangat terbuka dan mungkin dimasuki dengan beragam nilai dan budaya yang jauh lebih beragam dan kaya. Dan kelompok santri, melalui mbah Yah, telah mencontohkannya. Wallahu a’lam bis shawab.