Oleh:Cahyono
Meneladani pengalaman melalui perjumpaan-perjumaan kecil dengan orang-orang bijak, menuai makna berlebih di setiap perjalanan (pengalaman) ilmu. Hal demikian banyak kita jumpai, barangkali masyarakat yang terintegrasi melalui jembatan (jamuan beragam jenis makanan) bagian dari proses pemaknaan (perjumpaan) pengalaman ilmu. Sembilan tahun silam, kali pertama bermukim di Kota Semarang, saya menemukan beragam citarasa makanan yang barangkali ‘kurang’ bersahabat dengan lidah, pun lambung saya sebagai orang “pemula” di Semarang. Makanan yang tersaji serba manis (semacam nasi pecel, nasi ramesan, soto), serta suguhan minuman manis (semacam es teh manis) menjadi menu yang cukup popular (bagi saya asing, kala itu) di Semarang.
Sepanjang pengalaman, saya kerap menerka-nerka bahwa karakter masyarakat dalam hal menikmati sajian makanan cukup berbeda antara Jawa Barat (barangkali Jawa Tengah perbatasan termasuk didalamnya), Jawa Tengah dan Jawa Timur. Jawa Barat, kental dengan makanan yang cenderung pedas dan asin, Jawa Tengah kecenderungan serba manis, sedangkan di Jawa Timur lekat dengan makanan pedasnya. Untuk memastikannya masih perlu penelitian lebih lanjut. Bahwa lidah masyarakat (cara mengidentifikasi makanan) antara Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur itu cukup berbeda. Setidaknya, ini sedikit membantu penulis dalam memetakan karakteristik masyarakat di Kota Atlas (julukan Kota Semarang) yang juga Ibu Kota Jawa Tengah. Bagi saya, barangkali untuk “menjadi” Orang Semarang tentu harus akrab dengan segala sesuatu yang berbau Semarangan, baik kuliner maupun tradisi masyarakatnya. Saya hendak fokus pada bagaimana upaya reflektif “menjadi” orang Semarang, berangkat dari aktivitas kulinernya.
***
Rabu, 11 September, saya menyempatkan diri berkunjung ke sekitaran kompleks Pecinan, Gang Lombok, Kota Semarang. Saya menyengaja (sepagi itu) melakukan kunjungan, memang untuk merasakan kali pertama sarapan lumpia di dapurnya langsung, di Warung Lumpia Gang Lombok, persis terletak di area samping Klenteng Tay Kak Sie Semarang. Jarang-jarang saya makan Lumpia (apalagi untuk menu sarapan) dengan menyengaja, ditambah sebagai menu tunggal sarapan kala itu. Porsi secukupnya, tetapi untuk ukuran saya ini cukup mengenyangkan. Konon, Warung Lumpia Gang Lombok ini merupakan salah satu target kuliner legendaris (tetap nomor satu) di Semarang yang dikunjungi wisatawan dari berbagai daerah. Warung Lumpuia Gang Lombok ini telah berdiri sejak ratusan tahun, dan diarsiteki hingga sekarang (oleh Pak Untung) sudah tiga atau bahkan empat generasi (persisnya masih perlu konfirmasi).
Meski sudah sembilan tahun napak tilas, menziarahi titik-titik di kota Atlas (dan masih saja suka kesasar, hehe) ini, saya masih belum (proses) membiasakan mendekatkan diri di tengah tradisi masyarakat Semarang, tak terkecuali dengan kekhasan kulinernya. Terlebih memang saya juga jarang kuliner. Dalam penelitian Tesis saya yang telah dipertanggungjawabkan (sidang) satu tahun lampau, tanggal 24 Agustus 2018 di UKSW Salatiga, saya menyisipkan hasil observasi di lapangan sebagai pengantar menuju “menjadi” orang Semarang, meski bagi saya tentu hasil penelitian ini tak cukup untuk (menjadi satu-satunya cara) meyakinkan diri kalau saya benar-benar abasah “menjadi” orang Semarang, yang hanya karena hidup di tengah tradisi keagamaannya masyarakat (Muslim) Semarang.
Kiranya penting melihat bagaimana dinamika dan proses pemaknaan relasi masyarakat Semarang yang hidup di arena beragam menu kuliner khas perkotaan (Semarang), Lumpia misalnya sebagai bagian dari identitas kultural etnis Tionghoa Peranakan Semarang. Di satu sisi memang saya tidak terlahir di Semarang, di sisi lain saya pun baru hitungan tahun saja tinggal di Semarang. Makanan dapat dimaknai sebagai jembatan komunikasi dan berorientasi pada masyarakat yang terintegrasi. Percakapan remeh-temeh dirasa lebih hidup jika dilakukan secara intens dan hangat, tentu makanan di sini bagian dari komponen penting untuk menjembatani ini.
Kuliner Lumpia barangkali identik dengan identitas kultural (lahir dari akulturasi Tionghoa-Jawa-Semarang) etnis peranakan Tionghoa di Semarang. Kuliner, disamping mencirikan kekhasan suatu kota, di sisi lain juga menjadi sarana identifikasi atas identitas yang melekat pada dirinya melalui kuliner tersebut. Tak terkecuali dengan kuliner Lumpia di Semarang, imigran maupun etnis Tionghoa peranakan Semarang, Lumpia menjadi salah satu alternatif kuliner yang dapat mengidentifikasi identitas kulturalnya.
Indah Ella Susanti, dalam tulisannya “Lumpia Pada Masa Orde Baru” di Jurnal Avatara, e-Jurnal Pendidikan Sejarah, Universitas Negeri Surabaya, menawarkan hasil penelitiannya, bahwa Lumpia sebagai identitas kultural etnis Tionghoa Peranakan Semarang (meski dalam tekanan rezim Orde Baru yang terus-terusan menggempur, menghapus segala bentuk tradisi yang hidup di tengah etnis Tionghoa) memberikan perubahan kehidupan etnis Tionghoa pada aspek sosial dan politik secara signifikan. Kuliner Lumpia membiaskan kesenjangan antara etnis Tionghoa Peranakan Semarang dan penduduk Semarang secara umum (saya mencoba menghindari kata pribumi). Lumpia sebagai identitas kultural (etnis Tionghoa) merupakan kekuatan kultural dalam agenda menjaga eksistensi budayanya tetap berkembang.
Hemat saya, Kuliner Lumpia bagian dari kekuatan kultural masyarakat (etnis Tionghoa-Jawa) Semarang dalam menjaga identitas kulturalnya. Saya yang juga berproses di tengah tradisi (menjadi) Orang Semarang, dengan hadirnya dalam dinamika tradisi (kuliner) di Semarang, semakin menguatkan saya bahwa Semarang (itu unik) memiliki kekayaan identitas yang menghidupkan.
Identitas (bersama) sebagai masyarakat Semarang yang hibrid, merupakan kekuatan kultural untuk menghindari potensi “gesekan” antar identitas (primordialnya). Tradisi kuliner (Lumpia), lekat dengan tradisi yang lama hidup di tengah masyarakat Jawa. Di mana, agenda ritual keagamaan yang bersifat lokalitas kerap dibumbui dengan (agenda utama) makan-makan, seperti tumpengan, tahlilan, tasyakuran dan lainnya. Ada interaksi sosial yang kuat dalam tradisi ini. Makanan yang disuguhkan di setiap perjumpaan (tradisi), menjadi jembatan dalam membangun kekuatan kultural masyarakatnya. Dan pada akhirnya, tradisi Kuliner Lumpia, di sini mencerminkan (representasi) identitas kultural masyarakat Semarang yang hibrid.