
[Semarang –elsaonline.com] Pada 20 September 1843 Tahta Suci mengangkat Betawi menjadi Vikariat Apostolik. Sebagai Vikaris diangkatlah Mgr J Grooff yang dipindahkan dari Suriname dan tiba di Indonesia pada 21 April 1845 silam. Segera timbul konflik dengan pemerintah kolonial.
Konflik itu terjadi karena tidak bisa berurusan dengan pejabat-pejabat Gereja yang pemerintah kolonial tidak bisa diangkat oleh pemerintah sendiri. Mereka masih berpegang pada peraturan lama yang menentukan bahwa “hanya imam yang diangkat dengan keputusan pemerintah diakui sah dan boleh memimpin upacaya keagamaan di muka umum.
Demikian ditulis dalam bukut “Sejarah Gereja St Yusuf Gedangan” pada halaman 16 dalam sub pembahasan “pembangunan Gereja Gedangan”. Mgr Grooff segera mulai menertibkan keadaan gereja dengan memberhentikan beberapa pastoor yang dianggap tak pantas sebagai imam.
Salah seorang pastoor yang dipecat adalah A Grube, dimana pada waktu itu menjadi pastoor di Semarang dari tahun 1832 hingga 1845. PGPM Semarang menerima keputusan itu dan segera menutup gereja dan menyegel tabernakel. Namun pemerintah ternyata tidak mengakui pemecatan itu.
“Waktu itu sebagian besar umat enggan mengikuti lagi Misa yang dipersembahkan oleh Pastoor Grube. Dengan adanya peristiwa itu ketegangan antara pemerintah dengan Mgr Grooff semakin meruncing. Pada Februari 1846 akhirnya ia dipaksa meninggalkan Indonesia,” tulis bukut itu pada halaman 17.
Menyikapi adanya kegaduhan itu, Raja Willem II di Belanda yang cukup liberal turun tangan. Ia membenarkan apa yang dilakukan oleh Mgr Grooff dan mengharuskan imam-imam yang diberhentikan pulang ke Nederland. Termasuk Pastoor Grube yang akhrinya pulang ke Belanda.
Setibanya di Belanda ia kemudian melepas jubahnya dan kawin. Dengan demikian di seluruh Indonesia hanya tunggal satu Imam yakni Pastoor Staal Pr di Kota Padanga. Baru pada 17 Oktober 1846 Semarang mendapat pastoor lagi yakni H Van der Grinten Pr (1847-1854).
Pada 1848 Mgr Vrancken pengganti Mgr Grooff datang dari Betawi mengunjungi Semarang dan menyatakan harapannya supaya di Semarang segera dibangun gereja yang layak. Namun, untuk itu dibutukan waktu tanah dan modal yang tak sedikit.
Pertama yang melakukan pembangunan itu Pastoor JW Sanders Pr (1854-1858) mulai mencari tanah. Pertama-tama di Heerenstraat (sekarang Jalan Jenderal Suprapto) namun gagal. Kemudian baru berhasil membeli tanah di Jalan Cenderawasih yaitu sebelah selatan Komedi.
Gedung komedi itu sekarang masih ada walau pun keadaannya sudah terlantar. Tanah yang dulu dibelinya, sekarang menjadi Cenderawasih 23 dan ditempati oleh PT EMKL Marabunta. Seorang arsitek segera membuat rencana untuk pembangunan gereja, tapi tak pernah dilaksanakan karena tak ada uang.
Sebagai langkah sementara untuk menambah tempat ibadat darurat di Taman Taman Sri Gunting, Pastor Sanders mengikhlaskan lantai dasarnya dan ia sendiri pindah ke rumah lain.
Pastoor berikut di Semarang adalah Mgr J Lijnen Pr sejak 1858 hingga 1882. Pada Oktober 1859 GG mengunjungi Semarang dan sempat melihat keadaan gereja darurat yang keadaannya tak memenuhi syarat. GG kemudian menawarkan subsidi dari pemerintah.
Tetapi subsidi itu baru turun sepuluh tahun kemudian yakni pada tahun 1869 sebanyak f. 50.000. Pada waktu itu PGPM sudah berhasil membeli sebidang tanah du sebekah timur jalan yang dulu dinamakan Zeestraat, kemudian Kloosterstraat, lalu Gedangan dan sekarang Jalan Ronggowarsito.
Arsitek WI van Bakel sudah diberi tugas membuat rencana pembangunan gereja dan umat sudah mulai mengumpulkan batu bata. Kemudian kurang lebih 560 pancang dimasukan ke dalam tanah yang kurang keras untuk menahan bangunan besar itu. Di atas pancang itu dibuat fondasi dari batu kali serta lantai.
Batu pertama diletakan oleh Pastoor Lijnen pada 1 Oktober 1870. Dalam upacara peletakan batu pertama itu Lijnen didampingi Pastoor PJ den Ouden yang sudah sejak 1848 tinggal di Semarang sebagai pastoor pembantu. Peristiwa itu disaksikan oleh seluruh pengurus gereja, arsitek, para suster dan anak-anak. [elsa-il/Cep-@Ceprudin]