Oleh: Tedi Kholiludin
Salah satu perbincangan yang selalu hangat dalam diskusi sosiologi agama adalah hadirnya kelompok sempalan atau sekte agama. Sebagai “aliran pinggiran”, sekte adalah sebuah kenyataan sosiologis yang tak terbantahkan. Memang tidak mudah untuk mengidentifikasi sebuah kelompok untuk dikategorikan dalam sekte, tetapi ciri yang selalu muncul dari fenmena ini, mula-mula ia hadir dari sebuah arus utama dan menjadi kenyataan dalam masyarakat.
Karena ia adalah fenomena sosial, maka optik untuk melihat kenyataan ini juga harus menyertakan analisis sosiologis. Pilihan ini bukan tanpa dasar. Jebakan teologis itu selalu hitam putih, benar salah. Yang benar adalah selamat dan yang salah itu sesat. Inilah kacamata teologis. Sehingga untuk tidak menjadi hakim atas keyakinan keagamaan, maka harus ada perspektif lain, yang dalam pandangan saya harus bisa mengungkap akar persoalan yang menubuh dalam sekte-sekte keagamaan. Perspektif yang sedikit lebih netral, hemat saya adalah sosiologis.
Tidak bisa dipungkiri bahwa kenyataan yang sekarang kita hadapi adalah fakta adanya keragaman sebagai bagian integral dari modernitas. Komunitas keagamaan, mau tidak mau berhadapan dengan kenyataan ini. Mereka dituntut untuk berpikir kontekstual dalam kodratnya sebagai kelompok yang triumfalistik. Inilah yang kerap memunculkan pelbagai ketegangan-ketegangan. Ketidaksanggupan beradaptasi dengan modernitas kemudian menghasilkan berbagai varian model keberagamaan.
Saya ingin mengutip Lester Kurtz dalam Gods in the Global Village, tentang beberapa respon kelompok agama terhadap modernitas dan multikulturalisme ini. Tentang hal ini Kurtz menuturkan transformasi agama dalam usahanya menanggapi fenomena multikulturalisme bisa diidentifikasi ke dalam empat fenomena. Pertama, gerakan modernisme agama. Fenomena ini terjadi seperti dalam kasus Protestantisme dan gerakan modernisme Islam di Mesir atau Indonesia. Kedua, gerakan antimodernist seperti yang tergambar dalam teologi protes Kristen dan gerakan Islam tradisional. Ketiga, gerakan teologi pembebasan di Amerika Latin dan gerakan kesetaraan gender. Keempat, bentuk agama baru dan quasiagama seperti individualisme dan konsumerisme, agama sipil dan nasionalisme. Kelima, sinkretisme agama dengan ditandai oleh upaya membawa tradisi-tradisi agama yang berbeda untuk kemudian dibangun dalam satu tradisi agama baru. (Kurtz, 1995: 168).
Sebagai pembanding, respon kelompok keagamaan ditunjukan oleh Peter L. Berger kala ia menulis soal perlawanan terhadap sekularisasi. Meski modernisasi telah menghasilkan sekularisasi, tetapi pada waktu bersamaan, modernisasi juga membangkitkan apa yang ia sebut sebagai powerful movements of counter-secularization.(Berger, 1992: 2)
Bagi Berger, jalan menghadirkan counter sekularisasi itu mewujud dalam dua strategi. Pertama, revolusi agama (religious revolution). Dengan melakukan revolusi, berarti jalan yang diupayakan adalah dengan merubah masyarakat secara menyeluruh dan menciptakan model agama modern sebagai tandingan. Revolusi Iran adalah contoh yang tepat untuk menggambarkan ini. Kedua menciptakan subkultur agama (religious subcultures). Cara ini dinilai efektif untuk menangkal pengaruh dari masyarakat luar. Pendek kata, mereka menciptakan pagar-pagar pembatas antara dunia mereka dengan dunia modern. Amish di Pensylvania adalah contoh untuk gerakan ini. (Berger, 1992: 3-4).
Tentang sekte, menarik mencermati fenomena Yehova dan Mormonisme. Yehova dan Mormonisme adalah gerakan keagamaan yang berinduk pada Kekristenan. Namun, mereka kemudian mengembangkan penafsiran-penafsiran yang berbeda dengan gereja-gereja mainline. Yang terjadi, tentu saja adalah penyesatan, persekusi dan penghakiman. Bahkan Joseph Smith, pemimpin gereja Mormon pernah berpindah dari New York ke Utah, karena beberapa ajarannya dianggap menyimpang. Tetapi, yang terjadi saat ini adalah sesuatu yang mengejutkan.
Baik Saksi Yehova maupun Mormon berhasil menarik hati banyak simpatisannya. Tak terkecuali di Indonesia. Meski mereka sempat dilarang menyebarkan misinya pada orde baru, tetapi kemudian mengalami keterbukaan semasa Gus Dur menjadi Presiden. Imbasnya, meski banyak yang menganggap mereka aliran sesat, tetapi itu tidak mengurangi energi pemeluknya untuk tetap mengusung panji teologsinya masing-masing.
Tentu saja terlalu dini jika mengatakan bahwa semua yang mengaku “guru moral” kemudian akan menjadi Joseph Smith baru untuk persekutuannya. Apalagi jaminan kebebasan beragama di Indonesia tidaklah selapang di Amerika, dimana ekspresi keagamaan dijamin selama tidak melanggar hukum. Tetapi yang ingin saya garis bawahi disini adalah preseden bahwa setiap aliran yang diklaim sesat itu, pada kenyataannya justru semakin berjalan merambat dengan cepat. Apalagi jika kemudian mereka berhasil mencitrakan diri sebagai ajaran yang mampu memenuhi kebutuhan dahaga spiritual penganutnya.
Tanpa bermaksud menggurui, fenomena ini akan lebih bijak jika dimaknai sebagai satu bentuk kritik internal terhadap agama. Bisa saja mereka ini adalah jemaat yang merasa kurang mendapat perhatian, sehingga membangun satu perlawanan dalam bentuk koloni baru lengkap dengan bangunan dogmanya. Sehingga yang mesti dilakukan bukanlah melaporkan kepada aparat keamanan dengan tuduhan penodaan agama, tetapi membangun dialog dengan mencari akar masalah yang melatarbelakangi munculnya sikap yang berbeda itu.