[Semarang –elsaonline.com] Ada dua momen penting dari perjalanan karir Tan yang penting untuk dipaparkan. Momen pertama yaitu ketika Tan ditahbis oleh Van Gessel sebagai pendeta pada awal tahun 1946. Karena hubungan erat Tan dengan Van Gessel sejak awal, maka ketika perkumpulan Sing Ling Kauw Hwee, menunjukan gelagat untuk menjadi sebuah gereja, van Gessel turut mendukung sepenuhnya.
Sementara momen kedua yang penting dalam perjalanan karir Tan adalah ketika pada tahun 1946 juga, ia memutuskan keluar dari GPdI. Tan memberikan dua alasan atas keputusan yang diambilnya itu. Pertama, perbedaan pendapat dalam tata cara pelayanan mimbar. Kedua, tidak diberikan kebebasan kerja secara organisasi. Pemisahan Tan dari GPdI kemudian tampak semakin nyata ketika Sing Ling Kauw Hwee mengarah pada pembentukan gereja.
Setelah sekian lama menggunakan nama Sing Ling Kauw Hwee, nama perkumpulan yang sudah menjadi gereja ini kemudian berubah pada tahun 1955. perubahan itu dilakukan saat Konferensi Gereja-gereja Sing Ling Kauw Hwee pada di Malang. Nama Sing Ling Kauw Hwee dirubah menjadi Gereja Isa Almasih (GIA).
Dalam catatan Indrawan Eleeas, setidaknya ada tiga alasan mengapa nama Isa Almasih yang dipilih sebagai identitas dari gereja ini. Pertama, Gereja Sing Ling Kauw Hwee bermuara pada Gereja Pentakosta. Gereja Pentakosta memiliki fokus ajaran yang mendasar yaitu pada Tuhan Yesus Kristus sebagai Tuhan, Sang Juruselamat, sebagai Tabib Ajaib, sebagai Pembaptis Roh Kudus dan Dia akan datang kembali. Tuhan Yesus Kristus adalah segala-galanya bagi warga jemaat Pentakosta. Jadi fokusnya adalah Yesus Kristus atau Isa Almasih.
Kedua, istilah Yesus Kristus dalam bahasa Indonesia waktu itu termasuk dibeberapa Kitab Suci Indonesia menggunakan istilah Isa Almasih. Dengan kata lain, istilah Isa Almasih sudah dikenal oleh warga Indonesia. Nama gereja diubah menjadi Gereja Isa Almasih agar mudah dikenal oleh masyarakat luas.
Ketiga, secara tidak langsung, misi gereja melalui perubahan nama Tionghoa menjadi Indonesia, berarti gereja tidak hanya semata-mata menjangkau jiwa-jiwa keturunan Tionghoa saja melainkan semua warga negara yang tinggal Indonesia. Melalui perubahan nama tersebut, mereka-mereka yang adalah warga Indonesia dapat beribadah di GIA, menjadi anggota dan ikut aktif dalam pelayanan gereja.
Menariknya, meski GIA merupakan Gereja Pentakosta, tetapi pada tahun 1956 menjadi bagian dari Dewan Gereja-gereja Indonesia (DGI yang kemudian berubah jadi PGI). Sementara DGI yang dibentuk pada Mei 1950 didirikan oleh gereja-gereja Protestan seperti Huria Kristen Batak Protestan, Gereja Kristen Jawi Wetan, Gereja Kristen Indonesia Jabar, Jateng, Jatim, Gereja Kristen Jawa, Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat dan lainnya. GIA merupakan gereja ke-29 yang diterima sebagai anggota DGI dan merupakan satu-satunya gererja beraliran Pentakosta yang masuk ke DGI.
Bergabungnya GIA ke dalam wadah DGI tentunya bukan tanpa alasan. Beberapa alasan tersebut diantaranya (i) Ikut berpartisipasi dalam gerakan oikumenis. (ii) Melenyapkan citra gereja aliran Pentakosta yang dikategorikan sebagai bidat. (iii) Ikut memperjuangkan kesatuan dan persatuan gereja-gereja Tuhan sekalipun mencakup pelbagai ragam denominasi.
(iv) Belajar mengembangkan wawasan bergereja. (v) Mengeliminir perbedaan kesukuan (suku Tionghoa, suku Batak, suku Jawa, suku Ambon dan seterusnya).
Lima alasan itulah yang mendorong GIA yang beraliran Pentakosta bergabung dengan DGI yang di dalamnya terdapat pelbagai macam suku. Tan memiliki pemikiran yang jauh soal kaitan kesatuan dan persatuan gereja-gereja Tuhan di Indonesia. Alasan itulah yang mendorong Tan untuk tidak bergabung dengan wadah gereja Pentakosta.
Pada perkembangannya, langkah GIA bergabung dengan DGI diikuti oleh beberapa gereja beraliran Pentakosta seperti Gereja Gerakan Pentakosta, Gereja Utusan Pentakosta, Gereja Bethel Injil Sepenuh, Gereja Bethel Indonesia dan Gereja Rehobot.
Dengan melihat sejarah perkembangan GIA, maka tidak bisa disangkal lagi, bahwa tradisi Pentakosta adalah darah sekaligus ruh dari GIA. Bagi Tan, van Gessel adalah orang yang sangat berjasa menggelorakan api Pentakosta. Lebih dari itu, van Gessel juga adalah penggembala sekaligus kawan dan mentor bagi Tan. Dorongan yang diberikan van Gessel kepada Tan untuk mengembangkan Sing Ling Kauw Hwee, tidak hanya sekedar perkumpulan doa, tetapi juga gereja.
Sementara Sing Ling Kauw Hwee sendiri bisa dikatakan rumah yang teramat nyaman bagi Tan selain GPdI. Bahkan ketika Tan memutuskan keluar dari GPdI, Sing Ling Kauw Hwee menjadi satu-satunya “rumah spiritual” di mana dia tidak hanya mengembangkan sisi spiritualitasnya tetapi juga menjadi organisatoris yang baik di Sing Ling Kauw Hwee itu.
Yang juga perlu dicatat adalah perubahan paradigmatik dari Tan dan juga mereka yang ada dalam jajaran pengurus Sing Ling Kauw Hwee ketika merubah nama menjadi GIA. GIA tidak lagi menjadi gereja yang berbasis suku, tetapi sudah melebarkan sayap menjadi gereja yang bercorak keIndonesiaan. Bahkan menerabas batas-batas identitas denominasi, juga dilakuan oleh Tan dengan menjadikan GIA sebagai bagian dari DGI. Tan merasa memiliki kesamaan visi ekumenis dengan Ds. W.J Rumambi, salah satu tokoh pendiri DGI. Visi yang sama itulah yang membuat Tan tidak harus berpikir panjang untuk bergabung dengan DGI. [elsa-ol/TKh-@tedikholiludin]