Seorang DI, Tewas Ditangan Adik Sendiri

MAKAM DI: Makam seorang DI, Casroni, yang tewas ditembak adik kandungnya sendiri kampung Cirambeng, Desa Pamedaran, Kecamatan Ketanggungan, Brebes. Makam itu sekarang sudah dikelilingi tanaman jagung, namun masih ada tetengernya Pohon Kamboja.
MAKAM DI: Makam seorang DI, Casroni, yang tewas ditembak adik kandungnya sendiri kampung Cirambeng, Desa Pamedaran, Kecamatan Ketanggungan, Brebes. Makam itu sekarang sudah dikelilingi tanaman jagung, namun masih ada tetengernya Pohon Kamboja.
[Brebes –elsaonline.com] Pada 4 Juni 1962 silam, Imam Negara Islam Indonesia Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, diringkus Tentara Nasional Indonesia (TNI). Kala itu, kabar tersiar melalui radio tabung saat fajar baru terbit. Sontak, kabar ini membuat pasukan Darul Islam (DI) Tentara Islam Indonesia (TII) kebakaran jenggot.

Komandan Kompi TII di Kabupaten Brebes, Kastolani pun demikian. Ia tak mampu menahan amarah mendengar pimpinannya ditangkap. Pasca kejadian itu, Kastolani mempunyai cita-cita besar yakni mengajak anak buahnya untuk menyerbu markas tentara.

Meskipun para komandannya di luar Jateng menginstruksikan untuk menyerah, namun Kastolani tetap melakukan perlawanan. Pada usia 29 tahun, ia mencoba menggerakan sisa-sisa tentara Islam Indonesia yang bersarakan.

Dengan modal sembilan orang, ia mengadakan gerakan di desa-desa yang berada di kaki gunung Slamet Kabupaten Brebes. Sembilan orang kepercayaannya, juga mempunyai anak buah yang jumlahnya cukup banyak di setiap desanya. Dan gerakannya sangat militan.

”Jadi setelah pimpinannya (Kartosoewirjo) ditangkat, situasi gerakan tentara Islam tak stabil. Mereka mundur dengan bergerilya di hutan bertahun-tahun menghindari musuh (tentara). Begitu juga dengan tentara Islam di Jateng, yang dipimpin oleh Kastolani,” kata Kusnaeni, saksi sejarah.

Kusnaeni, merupakan anak dari seorang gerwani, almarhum Caswi yang di Kampung Cirambeng, Desa Pamedaran, Kecamatan Ketanggungan, Brebes. Kampung ini berada di kaki Gunung Slamet sebelah utara. Sementara kaki Gunung Slamet bagian selatan, adalah Kecamatan Salem tempat dimana Kastolani sekarang tinggal.

Semasa kecil, ia mengaku kerap bertemu dengan Kastolani di hutan. Sejak masih usia belia, Kusnaeni kerap diajak ibunya Caswi mengantar makanan kepada tentara Islam yang sedang bergerilya. Meskipun waktu itu masih belia, ia masih sangat ingat tempat-tempat bekas persembunyian DI kala itu.

Baca Juga  PWNU Jateng Susun Petunjuk Teknis Jamkesda

”Waktu itu, saya masih belia. Setiap kali ema (ibu) mau mengantar makan untuk gerilyawan saya selalu diajak. Meskipun masih kecil, saya masih sangat ingat tempat-tempat yang digunakan persembunyian mereka. Ada di Muara Tangkolo Angkrong, Muara Cipicung dan Tebing Tinggu Dekat Urug Gede,” kata dia, sembari mengingat tempat-tempat yang kesemuanya ada di kaki Gunung Slamet itu.

Ditembak Adik
Kastolani dikenal orang yang sangat open terhadap anak buahnya. Setiap desa, ia mempunyai anak buah yang dipercaya untuk mengkondisikan gerakan. Untuk Kampung Cirambeng sendiri, Kastolani mempunyai orang kepercayaan semacam pemimpin bernama Casroni.

Casroni adalah suami dari Caswi yang kerap mengantar makanan kepada gerilyawan. Nahas, Casroni harus meregang nyawa ditangan adik kandungnya sendiri yang menjadi anggota OPR (Organisasi Pertahanan Rakyat). Setelah Casroni meninggal, Caswi kemudian menikah lagi dengan Sahoni, yakni bapak kandung Kusnaeni.

Meski suaminya meninggal, Caswi tak mengurungkan niatnya untuk menjadi gerwani. Ia tetap melaksanakan tugasnya dengan mengirim makanan kepada gerilyawan di hutan. Terbukti, Kusnaeni yang merupakan anak dari suami kedua Caswi masih diajak untuk mengirim makanan ke hutan.

”Casroni mati di Muhara Lebak (sungai kecil-red) Cimondok. Ia disergap sewaktu hendak pulang ke Kampung Cirambeng, usai bergerilya. Tapi karena tempat itu nyamari tepat untuk dijadikan orang bersembunyi. Ia akhirnya meninggal disergap segerombolan OPR,” tuturnya.

Saefudin, tetangga Kusnaeni yang sama menjadi saksi sejarah menyambung pembicaraan kala itu di rumahnya. Ia mengatakan, Casroni sebelum meninggal ditembak adiknya bernama Anta. Peluru itu mengenai pahanya. Saat ditangkap OPR, Casroni masih dalam keadaan bergas, meskipun sudah tertembak.

Dalam ceritanya, karena tak bisa jalan, Anta selaku adiknya mencoba mencari orang untuk membantu menggendong dibawa pulang. Anta meninggalkan Kakak kandungnya dengan mencari orang di sawah-sawang yang berjarak sekitar 50 meter dari lokasi kejadian.

Baca Juga  Sinar Damai dari Kota Atlas: Sejarah, Agama, dan Budaya Masyarakat Semarang

”Nahas saat Anta kembali, Casroni sudah dalam keadaan tak bernyawa. Tapi ada kemungkinan Casroni meninggal dicekik karena tak mau angkat tangan (menyerah-red). Karena sebelum adiknya Anta pergi, kondisi Casroni masih sangat segar. Hanya saja dia tertembak,” ungkapnya.

Casroni sebelum meninggal, juga pernah menyatakan bahwa ia tak akan menyerah selama hutan masih lebat. Artinya, hutan lebat itu masih bisa digunakan untuk persembunyian.

”Aing sapanjang leuweng balamah teu erek angkat tangan (saya selama hutan lebat tak akan angkat tangan, menyerah),” kata Saefudin, menirukan Casroni saat ditangkap OPR kala itu. [elsa-ol/cep-@ceprudin]

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Buka Bersama di Rumah Pendeta

Oleh: Muhamad Sidik Pramono Langit Salatiga Senin sore 18 Maret...

Tak Semua Peperangan Harus Dimenangkan: Tentang Pekerjaan, Perjalanan dan Pelajaran

Tulisan-tulisan yang ada di buku ini, merupakan catatan perjalanan...

Moearatoewa: Jemaat Kristen Jawa di Pesisir Tegal Utara

Sejauh kita melakukan pelacakan terhadap karya-karya tentang sejarah Kekristenan...

Bertumbuh di Barat Jawa: Riwayat Gereja Kristen Pasundan

Pertengahan abad ke-19, Kekristenan mulai dipeluk oleh masyarakat di...

Pengaruh Lingkungan Pada Anak Kembar yang Dibesarkan Terpisah

Anak kembar adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini