”Fatwa itu merupakah jawaban mufti atas pertanyaan dari sebuah persoalan. Fatwa ini dalam persoalannya bisa beda-beda, sesuai dengan kehendak mufti. Tapi sebetulnya persoalan kedudukan atau posisi mufti itu harus dipertanyakan. Pertama soal kemampuan mufti. Persoalan sosial, ekonomi, dan budaya sangat mempengaruhi mufti ketika membuat fatwa,” jelas Anwar.
Narasumber lainnya, Dosen Fakultas Teologi UKSW Salatiga, Izak Y.M. Lattu menyampaikan bahwa relasi sosialnya bersama komunitas Muslim di Indonesia dan Amerika sangat erat. ”Saya sangat terbiasa mengucapkan salam. Salam itu penting untuk membangun relasi yang baik antarsesama. Saya banyak bergaul dengan orang Muslim pesantren juga akademisi,” terangnya, mengawali pembicaraan.
Dengan adanya buku tersebut, ia menjadi lebih paham banyaknya varian teologi dalam internal Islam. Sehingga ia bisa lebih berhati-hati dalam komunikasi dan berelasi bersama komunitas Muslim.
Perasaan Keterancaman
”Nah tapi setelah membaca buku ini saya menjadi berfikir ketika hendak mengucapkan salam. Apakah saya hendak berbicara dengan orang NU, Muhammadiyah atau MUI. Karena fatwanya itu berbeda-beda (ketika menyikapi suatu persoalan). Dengan adanya buku ini saya menjadi harta karun bagi saya, karena menjadikan saya tahu sikap NU, Muhammadiyah, dan MUI terhadap agama lain melalui fatwanya,” kata Izak.
Izak menyampaikan bahwa betul jika salah satu fatwa lahir karena adanya persaingan perkembangan agama. Ia mengutip pendapat Assistant Professor Boston University Jeremy Menchik.
”Menurut Jeremy Menchik (lahirnya fatwa) karena adanya perasaan keterancaman. Atau membendudng arus (perkembangan teologi agama lain). Saya sebagai pembaca luar, juga mempertanyakan bagaimana pola rekruitmen MUI, bagaimana perbicangan teologi di internal MUI, sehingga menghasilkan fatwa yang seperti itu,” paparnya.
Ketua PWNU Jateng Abu Hapsin, Ph.D yang menjadi keynote speakter pada kesempatan menyampaikan bahwa fatwa-fatwa tersebut harus diposisikan secara proporsional. Menurutnya, sebagian besar umat Islam di Indonesia masih terikat dengan ingatan kolektif bahwa Islam itu lahir sebagai agama dan negara. Sehingga ketika membuat fatwa serasa di negara Islam.
Romantis, Tak Realistis
”(terkadang mufti merasa) Islam bukan hanya sekadar agama, tapi juga negara. Nah, ini meresap dalam bayang-bayang para ulama. Bayangannya para ulama ini, sedang hidup di negara Islam. Saya mengatakan umat Islam seringnya romantis, tidak realistis. tapi untung ada ulama yang masih sangat berfikiran realistis seperti KH MA Sahal Mahfudz,” terangnya.
Berkaitan dengan yang ditulis oleh Rumadi, Abu menyampaikan bahwa fatwa harus dilihat dari posisi mufti masing-masing. Warga Indonesia sudah sepakat jika negara ini beragam dan negara pluralis. Namun, katanya, juga harus sepakat pula bahwa masing-masing agama juga membutuhkan untuk melindungi umatnya masing-masing.
“Maka wajar jika NU, Muhammadiyah, dan MUI mengeluarkan jargon-jargon (fatwa) agama. Jika memunculkan (membuat fatwa) sesat dan menyesatkan aliran baru, itu dalam ranah internal. Bukan dalam ranah negara. Jadi MUI, NU, Muhammadiyah ketika membuat fatwa sesat terhadap suatu kelompok keagamaan itu jargon (fatwa) )milik agama, bukan dikeluarkan oleh negara,” terangnya.
Menurut Abu, jika masing-masing lembaga keagamaan membuat fatwa untuk melindungi umatnya itu suatu hal yang wajar. Hal demikian dianggap wajar jika yang dimaksud dalam ranah internal untuk melindungi umatnya.
”Karena itu fatwa-fatwa itu harus dipahami dalam logika agama, bukan logika negara. Misalkan ketika MUI mengatakan Ahmadiyah itu sesat, maka MUI sedang mengeluarkan jargon agama, bukan jargon negara. Ini semua harus diposisikan apakah dalam ranah internal kelompok agama atau untuk keluar,” tandasnya.[elsa-ol/@Ceprudin/003]