
[Semarang – elsaonline.com] Setelah berhasil memberikan sertifikasi halal pada beberapa makanan dan produk lainnya kini Majelis Ulama Indonesia (MUI) berencana meneliti obat-obatan untuk kemudian diberi label halal pada obat yang terbuat dari bahan-bahan yang menurut hukum Islam menurut pemahamannya halal, dan haram jika terbuat dari bahan yang haram seperti terbuat dari binatang babi.
Menurut MUI Jawa Tengah, jumlah obat-obatan di Indonesia berjumlah ratusan ribu, yang mendapat label halal jumlahnya kurang dari seratus macam obat. “Jumlah obat di Indonesia lebih dari ratusan ribu, tapi yang baru mendaftarkan diri untuk disertifikasi jumlahnya sedikit, kurang dari seratus. Banyak obat yang belum disertifikasi. Obat-obatan yang belum disertifikasi hukumnya syubhat (tidak jelas hukumnya, halal atau haram-red),” papar perwakilan MUI Jawa Tengah dalam acara Pembinaan Bidang Urais dan Binsyar (Bahsul Masail Syari’ah) 2013 di Hotel Muria Semarang 21 Desember lalu.
Program sertifikasi halal MUI itu tidak disetujui ulama NU Jawa Tengah. Menurut ulama NU Jawa Tengah, seharusnya yang dilakukan MUI adalah memberikan sertifikasi haram, bukan halal. Artinya MUI melabeli makanan atau obat-obatan yang haram, bukan yang halal, karena melabeli halal dapat membingungkan umat Islam lantaran produk makanan yang mendapat label halal dari MUI berjumlah sangat sedikit, padahal makanan yang belum mendapatkan label MUI atau belum mendaftarkan diri untuk disertifikasi hukumnya belum tentu haram.
“Sertifikasi halal itu mempersulit umat Islam, kalau ingin mempermudah umat bukan sertifikasi halal, tapi haram. Islam mengajarkan yassiruu wa laa tu’assiruu (permudahlah, dan jangan kalian mempersulit). Sertifikasi halal itu mempersulit karena dalam Islam hukum asal makanan semuanya halal kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Jika MUI melabeli halal pada makanan yang mendaftarkan diri untuk disertifikasi maka memberi pemahaman makanan yang belum dilabeli halal oleh MUI hukumnya haram, padahal tidak. Jadi kalau mau mempermudah umat bukan sertifikasi halal, tapi haram, yakni memberikan sertifikat haram pada barang-barang haram yang dijual. Saya ragu jangan-jangan sertifikasi halal itu kalimatul haqq wa urida al-bathil (menggunakan istilah kebenaran, tapi tujuannya tidak baik-red),” jelas ulama NU dari Klaten.
Ketua Tanfidziyah NU Jawa Tengah, KH. Abu Hafsin, yang saat itu didaulat menjadi pemateri mewakili NU Jateng menjelaskan bahwa halal-haram adalah persoalan simbol, artinya halal adalah simbol dari sesuatu yang mengandung kebaikan dan manfaat sedangkan haram sebaliknya. Jadi yang terpenting adalah esensi dari simbol tersebut. Jika dalam berfikih hanya mementingkan simbol maka akan terjebak dalam persoalan yang tidak berguna. “Berfikih jangan terlalu formalistik, sehingga menghilangkan hal-hal yang esensial,” kata kyai Abu, sapaan Akrab KH. Abu Hafsin.
Berfikih terlalu formalistik dicontohkan oleh Kyai Abu dengan seseorang yang menjual seekor kambing untuk menghindari zakat. “Menjual kambing sehari sebelum haul (tiba masa zakat-red) dengan tujuan menghindari kewajiban zakat menurut fikih sah-sah saja, tapi berfikih seperti ini tidak memberi mashlahat,” paparnya.
Untuk mengatasi fikih yang terkadang dipahami secara legal-formal, Abu menawarkan cara berfikih yang filosofis, yakni lebih mementingkan esensi. Bagi Abu, hukum Islam memiliki tujuan menciptakan kemashlahatan, di mana ada kebaikan maka di situlah syari’at Islam. Oleh karena itu sumber hukum Islam tidak hanya al-Quran dan Hadis, tapi pandangan kebaikan dari orang-orang bijak, yakni orang yang punya kecerdasan intelektual dan spiritual atau dalam al-Quran disebut ahl adz-dzikr. [elsa-ol/KA]