Oleh: Tedi Kholiludin
Sheila Larson adalah seorang perawat. Ia telah merawat banyak pasien. Robert N. Bellah dkk menggambarkan pengalaman iman Sheila sebagai salah satu fenomena keberagamaan kontemporer di masyarakat Amerika. Cerita tentang apa yang diyakini Sheila itu merupakan salah satu bagian yang termaktub dalam “Habits of the Heart: Individualism and Commitment in American Life,” buku yang dikerjakan oleh Robert N. Bellah, Richard Madsen, William M. Sullivan, Ann Swidler dan Steven M. Tipton.
Sheila mengatakan bahwa dirinya menganut keyakinan “Sheilaism,” Sheilaisme. “Saya percaya Tuhan. Saya bukanlah seorang yang fanatik. Saya lupa, kapan terakhir kali pergi ke gereja. Iman telah membawa saya jauh. Itulah Sheilaism. Hanya suara kecil saya,” terang Sheila menerjemahkan apa yang ia yakini. Sheila kemudian menjelaskan bahwa tentang iman “Sheilaism” ini. “Saya hanya berusaha mencinta diri sendiri, bersikap lembut pada diri sendiri. Merawat satu sama lain. Tuhan, saya kira, ingin agar kita menjaga satu dengan lainnya,” imbuh Sheila.
Sheilaisme sejatinya adalah suara dari mayoritas penduduk Amerika ketika berbicara soal agama. Dikutip juga di Habits of the Heart, bahwa 80 persen penduduk Amerika, dengan menyandarkan pada survey Gallup Poll, memiliki pandangan yang sama dengan Sheila. Ini adalah pemikiran yang bisa menggambarkan tentang posisi agama dalam kehidupan masyarakat Amerika.
Agama, bagi orang-orang seperti Sheila, adalah sesuatu yang individual. Sheilaisme adalah individual system of religious belief. Mereka tak berafiliasi terhadap salah satu agama-agama institusional. Cara mereka beragama adalah, seperti kata Sheila, berbuat baik kepada sesama. Model beragama seperti ini biasanya hadir dengan mengabaikan kerumitan-kerumitan yang ada dalam doktrin agama.
Don Kahle, editor di Comic News, dalam The Register-Guard, (2007) menyimpulkan kalau Sheila “memiliki kode etik, tetapi itu tidak terkait dengan teks sakral atau pencarian Tuhan. Sifatnya personal dan tak terpublikasikan. Sheila mematuhi Sheilaisme. Sheilaisme baik untuk Sheila, tetapi tidak untuk membangun masyarakat. Tak ada yang tahu tentang kode Sheilaisme kecuali Sheila. Seringkali Sheila tidak mengetahui dirinya sendiri sampai kemudian sesuatu dirasa tidak benar.”
Hanya Sheila saja yang tahu apa dan bagaimana ia menaati Sheilaism. Bagaimana sebuah perilaku sesuai atau tidak dengan ajaran Sheilaism. Karenanya, Sheilaism adalah alarm individual yang menjadi pagar bagi aktivitas-aktivitasnya. Dan fungsi ini berlaku terbatas untuk Sheila Larson saja.
Dalam analisis Bellah, model keberagamaan Sheila itu berusaha menemukan inti dalam dirinya setelah ia membebaskan dirinya dari kehidupan awal keluarga yang mengekangnya. Keyakinannya berakar dalam semangat untuk mentransformasi otoritas eksternal ke dalam makna internal.
Sheila mungkin tak bermaksud menjadikan keyakinannya (yang individual) itu sebagai yang sosial. Secara teoritis, memang ada persyaratan kategorial untuk menyebut individual system of belief sebagai sebuah agama. Mengutip pandangan Joachim Wach, Milton Yinger menuturkan bahwa semua agama, dengan berbagai variasi yang dimilikinya, memiliki tiga ekspresi umum. Secara teoritis agama merupakan sistem kepercayaan. Secara praktis, agama adalah sistem ibadah. Dan secara sosiologis, agama tak lain dari sistem hubungan masyarakat.
Sebelum tiga aspek tersebut dipenuhi, maka seseorang mungkin hanya bisa dikatakan baru sebatas memiliki tendensi keagamaan atau melaksanakan satu elemen keagamaan saja, tetapi bukan ”full religion”. Meskipun sistem kepercayaan merupakan jantung dari agama, petunjuk etnologis dan etimologis memberi kesan bahwa agama sebagai penyembahan dan sistem hubungan sosial adalah aspek yang paling dasar. ”Belief” datang kemudian yang mencoba memberi koherensi dan makna terhadap penyembahan dan asosiasi.
Toh demikian, suara Sheila penting untuk diperhatikan. Ia adalah sebentuk kritik terhadap agama-agama. Entah karena kecenderungannya yang sangat fundamentalistik atau karena agama-agama tidak cukup responsif terhadap fenomena sosial.