Status Agama-agama Pra-Islam dalam al-Qur’an

wahibJudul buku: Menyoal Status Agama-agama Pra Islam
Pengarang: Dr. Sa’dullah Affandy
Penerbit: Mizan
Halaman: 282
Peresensi: Muhamad Zainal Mawahib

Bagi umat Islam, al-Qur’an merupakan sumber utama dan paling otoritatif dalam kehidupan masyarakat. Seluruh siklus peradaban kaum muslim berkembang dan berangkat dari kitab suci ini. Hal ini tidak lepas dari keyakinan kaum muslim bahwa al-Qur’an berisi firman-firman Allah yang utuh dan autentik. Sebagaimana termaktub dalam Surah al-Nisa’ ayat 82: Sekiranya al-Qur’an itu bukan dari Allah, tentu mereka mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya.

Penegasan dalam ayat tersebut mengharuskan bagi kaum muslim untuk mengimani dan menyatakan bahwa seluruh teks yang ada di dalam al-Qur’an adalah autentik, orisinal dan tidak ada teks yang diabaikan, apalagi dibatalkan atau di-nasikh (abrogasi). Atas dasar keimanannya tersebut maka kaum muslim harus menjadikan kitab suci ini sebagai jalan hidup.

Dalam kenyataannya, kaum muslim berbeda pendapat dalam menyikapi suatu masalah tertentu, baik masalah dalam bidang teologi, hukum maupun bidang yang lain. Walaupun rujukan mereka adalah al-Qur’an yang sama. Perbedaan yang demikian menunjukkan bahwa ada ayat-ayat yang kontradiktif (al-ta’arudl) di dalam al-Qur’an. Tetapi, kontraditif antara ayat-ayat (kalam) Allah ini menjadi tidak masuk akal dan tidak bisa diterima. Sebab apabila hal itu diterima maka, Allah tidak konsisten dalam pernyataannya.

Berangkat dari masalah tersebut, para ulama terdahulu mengkaji secara mendalam dan terbidangkan dalam kajian ulum al-Qur’an. Adapun yang berkaitan dengan kontradiktif ini adalah kajian nasikh-mansukh. Kajian ini menjadi perbedaban yang panjangn dan krusial bagi para ulama yang tidak pernah selesai hingga sekarang ini.

Pro-Kontra Abrogasi Agama
Salah satu isu krusial di kalangan mufassir adalah ketika melakukan interpretasi terhadap Surah al-Baqarah ayat 62: Sungguh orang-orang mukmin, orang-orang yahudi, orang-orang nasrani dan orang-orang shabi’in, siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allah, Hari Akhir dan beramal shaleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran pada mereka da tidak pula mereka bersedih hati.

Baca Juga  Attack on Titan Musim Pertama dalam Pandangan Politik Filusuf Nazi, Carl Schmitt

Dalam menyikapi ayat tersebut, setidaknya ada 2 (dua) pendapat yang bertolak belakang. Kelompok pertama, para mufassir menyatakan bahwa ayat tersebut sudah di-mansukh oleh ayat 85 Surat Ali Imran: Barang siapa yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. Pandangan ini seperti yang dilontarkan oleh mayoritas mufassir klasik seperti at-Tabari (w. 256 H), Ibnu Katsir (w. 774 H), Syaikh Nawawi al-Bantani (w. 1314 H), (hal. 58).

Para mufassir yang menyatakan bahwa Surah al-Baqarah ayat 62 diabrogasi oleh Surah Ali Imran ayat 85 berasalan karena kedua ayat tersebut bertentangan dan tidak dapat dikompromikan. Sehingga Surat Ali Imran ayat 85 me-nasikh Surat al-Baqarah ayat 62. Di mana dalam pe-nasikh-an ayat tersebut, baik secara teologis maupun fiqh (hukum), nasikh ini berarti abrograsi terhadap agama-agama dan hukum-hukum yang pernah diturunkan Tuhan sebelum ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw turun. Dengan hadirnya Islam yang kemudian oleh Allah diberi kesempurnaan sebagai agama terakhir ini secara otomatis hukum-hukum dan ajaran-ajaran yang pernah diturukan sebelumnya sudah tidak berlaku lagi, sudah mansukh dan dianggap sudah kedaluwarsa (expired), (hal. 115).

Sedangkan kelompok kedua, para mufassir yang tidak mengakui adanya nasikh-mansukh pada ayat tersebut. Para mufassir kelompok kedua ini beranggapan bahwa pada Surah Ali Imron ayat 85 justru sejalan dengan Surah al-Baqarah ayat 62 yang bermakna bahwa keselamatan di akhirat bukan karena faktor agama yang dipeluk seorang hamba (jinsiyyat al-diniyyat), melainkan karena keimanan, amal baik dan kemanusiaan. Pendapat yang demikian didukung para mufassir dan eksegetik muslim kontemporer seperti Muhammad Rasyid Rida (w. 1935 M), Muhammad Imarah, Gamal al-Banna, Hamka (w. 1981 M) dan Sayyid Hussein Fadlullah (w. 2010 M), (hal. 59).

Baca Juga  Ganjar “Malu” Atas Percobaan Perusakan Gereja di Purworejo

Dua kudu pendapat di atas mempermasalah ada atau tidaknya kontradiktif (al-ta’arudl) antara Surat al-Baqarah ayat 62 dengan Surat Ali Imran ayat 85. Ini tidak lepas dari hal yang mendasar dari kedua kelompok. Di mana kelompok pertama mengakui adanya nasikh-mansukh dalam al-Qur’an dan salah satu contohnya pada ayat 62 Surat al-Baqarah yang di-nasikh oleh ayat 85 Surat Ali Imran. Sedangkan kelompok kedua tidak mengakui adanya nasikh-mansukh dalam ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga bagi kelompok kedua beranggapan semua ayat-ayat al-Qur’an dapat dikompromikan.

Berawal dari pemahaman yang mendasar tersebut, kemudian polemik semakin panjang. Bagi kelompok yang pro dengan nasikh-mansukh memahami bahwa kedua ayat tersebut bukan hanya sebagai petunjuk penghapusan ayat-ayat dalam al-Qur’an (nasikh intra qur’anik) sebagaimana yang diperdebatkan oleh ulama-ulama pro-nasikh sebelumnya, tetapi juga ditafsiri sebagai dasar penghapusan agama-agama pra-Islam (nasikh ekstra qur’anik), yaitu penghapusan atas posisi ajaran dan agama pra -Islam.

Menyikapi polemik abrogasi tersebut, Sa’dullah Affandy melalui bukunya ini yang merupakan hasil penelitian disertasinya berkesimpulan bahwa risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw tidak bisa menghapus agama-agama terdahulu. Sebab penghapusan terhadap agama-agama pra-Islam itu bertentangan dengan realitas kontinuitas wahyu yang turun kepada Nabi Muhammad Saw sebagai kelanjutan dari ajaran nabi-nabi sebelumnya. Selain itu, al-Qur’an diturunkan justru untuk membenarkan, melanjutkan dan menjaga paraleritas kitab-kitab suci sebelumnya, bukan untuk menganulirnya.

Hadirnya buku ini akan membuka arah baru bagi para pembaca dalam kajian tafsir al-Qur’an tentang keabsahan agama-agama samawi pra-Islam. Selain itu juga, pembaca akan diajak penulis buku ini untuk menelaah kembali tentang eksistensi teori nasikh-mansukh dalam kajian ulum al-Qur’an. Sebab pemikiran yang tertuang dalam buku ini merupakan sebuah pemikiran yang muncul dari kesadaran untuk mengkritisi kembali pemikiran-pemikiran Islam klasik, khususnya diskursus tentang teori nasikh-mansukh.

Baca Juga  Jurus Gus Dur di Panggung Kuasa
spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Pasar Tradisional dan Masjid Emas sebagai Penanda Kawasan Muslim Quiapo, Manila Filipina

Oleh: Tedi Kholiludin Quiapo adalah sebuah distrik yang berada merupakan...

Beristirahat Sejenak di Kapernaum: Renungan Yohanes 2:12

Oleh: Tedi Kholiludin “Sesudah itu Yesus pergi ke Kapernaum, bersama-sama...

Dua Peneliti ELSA Presentasikan Hasil Risetnya di Pertemuan Jaringan Penelitian HIV Indonesia

Jaringan Penelitian HIV Indonesia (JPHIV-Ina) menggelar pertemuan jaringan...

Liquid Identity: Saat Identitas menjadi Sebuah Entitas Muas

Oleh: Muhamad Sidik Pramono (Mahasiswa Magister Sosiologi Agama Universitas...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini