Direktur eLSA, Yayan M. Royani mengatakan bahwa kegiatan tersebut merupakan bagian dari upaya untuk merawat ide dan memperpanjang nafas semangat serta idealisme Gus Dur. Perjuangan untuk mempertahankan kebhinnekaan harus terus dilakukan. “Ini adalah cara kami untuk mengingat sekaligus melanjutkan spirit perdamaian yang terus disebarkan Gus Dur. Visualisasi ide kami pilih sebagai alternatif kampanye,” terang Yayan, yang juga pengajar di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang.
Kurang lebih 30 lukisan karya dari perupa-perupa di Semarang dipamerkan. Isinya kebanyakan adalah kritik sosial. Salah satu karya menggambarkan tentang bagaimana kegagalan memahami pesan kontekstualisasi ajaran Islam. Karya ini seperti hendak menyampaikan bahwa Islam Arab itu tidak harus diterapkan secara kaku tanpa proses pribumisasi. Karya lain menggambarkan karikatur wajah para penyeru perdamaian selain Gus Dur, seperti KH. Mustofa Bisri dan Mahatma Gandhi. Karya kartunis terkemuka, Abdullah Ibnu Thalkhah juga dipamerkan. Thalkhah menjadi penanggungjawab teknis kegiatan ini.
Selain memamerkan 30-an lukisan, para aktivis perdamaian itu juga turut mengajak mereka yang kebetulan datang ke stand untuk menuliskan pesan-pesan toleransi dan perdamaian di kertas sepanjang 100 meter yang sudah disediakan panitia. “Tuhan tidak Perlu Dibela,” “Indonesia ada karena Keberagaman,” “Liberating the Oppressed,” Agama adalah Inspirasi, Bukan Aspirasi,” tulis mereka.
Setyawan Budi, Koordinator Persaudaraan Lintas Agama Semarang yang juga pemrakarsa acara tersebut menilai bahwa Indonesia mulai mengalami darurat toleransi. Meski tidak berlaku di semua wilayah, namun suara-suara intoleransi terdengar kencang. “Kelompok-kelompok lintas iman harus terus bersuara untuk melawannya,” terang Wawan, panggilan akrabnya. [TKh/@tedikholiludin/elsa-ol/001]