
[Semarang – elsaonline.com] Diskusi buku ‘’Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia Jilid IV’’ akhirnya terselenggara di Gedung Fakultas Ilmu Budaya Undip Jalan Hayam Wuruk, Pleburan Semarang, Senin (17/2) malam. Diskusi dihadiri ratusan pengunjung dari pemerhati sejarah, peneliti, mahasiswa dan aktivis sejak sekitar pukul 19.00 WIB meski sang penulis buku yang asli Belanda itu, belum datang ke lokasi.
Diskusi buku tersebut rencana awal digelar Komunitas Pegiat Semarang dan Hysteria di Grobag Art Kos Jalan Stone No 29 Bendan Ngisor, Gajahmungkur, Kota Semarang. Namun sebelum acara dimulai, muncul aksi unjuk rasa menentang acara. Aksi mengatasnamakan Masyarakat Peduli Nasib Bangsa (Mapenab) tersebut menentang acara antara lain karena alasan teknis. Adapula yang menyebut dikusi tersebut tokoh yang dibahasa dalam buku tersebut berhaluan komunis.
Ketua RT 03 RW 04 Endah Soelistio mengatakan diskusi tidak memiliki izin. ‘’Kami menolak untuk diadakan kegiatan tersebut di wilayah kami,’’ katanya dalam surat tertulis kepada Komunitas Hysteria.
Kelompok yang menamakan diri Mapenab ini menggelar demo dengan membentangkan spanduk. Mereka menolak karena gagasan tokoh tersebut diangap berbau komunis. Karena itu, kata Ketua Mapenab Sucipto, diskusi itu lebih baik untuk kalangan akademis, bukan untuk warga.
Sekretaris Kelompok Pemerhati Sejarah Kota Semarang, Yunantyo, menyatakan penolakan itu karena belum pahamnya masyarakat tentang sejarah Tan Malaka. ‘’Ada kesalahpahaman bahwa Tan Malaka dianggap sebagai tokoh komunis. Padahal Tan Malaka mendapat gelar pahlawan dari Presiden Soekarno” ungkap Yunantyo.
Dalam diskusi di gedung FIB Undip, Harry menuturkan riwayat Tan Malaka. Tema diskusi mengupas sejarah Tan Malaka. Ia meyakini Tan Malaka dimakamkan di Kediri, Jawa Timur di lereng Gunung Wilis. Diyakini dalam penelitian forensik, ditemukan jasad manusia setinggi 165 cm umur sekitar 40 tahun. Menurut Harry, latar belakangnya menulis buku itu karena selama ini belum banyak masyarakat yang mengetahui sosok sebenarnya dari Tan Malaka sebagai tokoh besar, tetapi selama ini justru terpinggirkan dan dihapuskan dari pelajaran sejarah. “Jadi, penggalian makam Tan Malaka di Kediri bisa menjadi bukti untuk mengetahui sosok sebenarnya dari tokoh besar ini. Pada tahun 1963, Tan Malaka diangkat sebagai pahlawan nasional, tetapi selama 30 tahun kemudian namanya justru dicoret dari buku pelajaran sejarah,” bebernya.
Selain itu, lanjut dia, Tan Malaka yang menulis buku Madilog itu dikisahkan memiliki hubungan erat dengan Soekarno-Hatta maupun Syahrir. Karena itu, menurut Harry, Malaka telanjur dicap sebagai komunis harus dikembalikan. “Padahal, dia berjuang melawan Belanda. Maka kita perlu koreksi sejarah,’’ tuturnya.
Terpisah, hadir dalam diskusi itu antara lain Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, Rektor Undip Prof Sudharto P Hadi, Mantan Ketua Tim Advokasi FPI Jawa Tengah Zainal Abidin Petir, Wakil Ketua DPRD Jawa Tengah Bambang Sadono. Hingga pukul 23.00, disikusi masih berjalan dan dijaga sejumlah aparat kepolisian. [elsa-ol/Munif]