Oleh: Tedi Kholiludin
Dalam beberapa kali diskusi, Izak YM Lattu atau yang biasa dengan akrab saya sapa Caken, kerap mengingatkan saya dan para peserta diskusi untuk meninjau kembali istilah toleransi. Mengutip Diana L. Eck, (dan Kwok Pui-Lan), Caken melihat bahwa toleransi masih menyisakan dilema; ia belum mengakui manusia secara setara. Saya berterima kasih kepada Caken telah diingatkan akan hal ini.
Ada sebuah sentimen yang tersisip dalam toleransi; “saya bisa menerima kamu meski tentu saja saya lebih baik.” Betapapun baiknya orang lain, tetapi posisinya tidak setara. Ia lebih rendah dari kita. Terhadap posisi inilah seseorang dituntut untuk terbuka. Ia terbuka kepada orang lain, tapi dalam posisi yang tak setara. Posisi inilah yang mungkin sedang digugat oleh Diana L. Eck.
Saya kutipkan utuh kegundahan Diana L. Eck yang ada dalam buku A New Religious America: How a “Christian Country” Has Become the World’s Most Religiously Diverse Nation.
“Although tolerance is no doubt a step forward from intolerance, it does not require new neighbors to know anything about one another. Tolerance can create a climate of restraint but not one of understanding. Tolerance alone does little to bridge the chasms of stereotype and fear that may, in fact, dominate the mutual image of the other on a street like New Hampshire Avenue outside our nation’s capital. It is far too fragile a foundation for a society that is becoming as religiously complex as ours.” [halaman 70]
Eck mengakui bahwa toleransi merupakan langkah maju ketimbang intoleransi. Tetapi, dalam dunia yang kompleks, laiknya negara Amerika yang ia contohkan, sekadar toleran saja tidak cukup. Perlu sikap lain yang lebih dari toleransi, karena toleransi bisa saja muncul tanpa ada saling pemahaman satu dengan lainnya. Kalaupun ada, seperti disinggung diatas, mereka ada dalam matra yang tak setara.
***
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, toleransi (atau toleran) itu dimaknai sebagai “bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.”
Dilihat dari konteksnya penggunaan kata toleransi, Jurgen Habermas (2004) mengatakan hingga abad 16, kata ‘Toleranz’-or tolerance- dalam Bahasa Jerman yang dipinjam dari Bahasa Latin dan Perancis, yang menyebabkan mengapa dalam konteks Reformasi konsep tersebut diasumsikan secara sempit dimaknai sebagai sebagai toleransi antar agama.
Pada abad 16 dan 17, toleransi beragama menjadi sebuah konsep hukum. Pemerintah mengharuskan pejabat negara dan juga masyarakat untuk bersikap toleran dalam perilaku mereka terhadap kelompok keagamaan minoritas seperti Lutheran, Huguenots dan Papist. Tindakan hukum toleransi oleh otoritas negara diharapakan bisa membawa masyarakat untuk bertindak toleran terhadap kelompok keagamaan yang saat itu masih tertindas atau teraniaya.
Dengan presisi yang tinggi daripada Bahasa Jerman, dalam Bahasa Inggris, kata “tolerance” sebagai sebuah bentuk perilaku dibedakan dari “toleration”, tindakan hukum dimana sebuah pemerintah memberikan jaminan atau tidak membatasi praktek keberagamaan warganya. Di Jerman, kata “tolerant” merujuk pada, sebuah tatanan hukum yang menjamin toleransi dan dan kebajikan politik perilaku politik.
Rainer Forst (2003, 2013) membantu untuk mendudukan tentang makna kata ini. Baginya, “toleration is a virtue of justice and a demand of reason.” Secara umum, konsep toleransi memiliki beberapa karakteristik. Pertama, konteks toleransi, merujuk pada hubungan antara yang menoleransi (tolerator) dan yang ditoleransi (tolerated) dan antara subjek serta objek toleransi. Kedua, batasan toleransi adalah ketika alasan untuk menolak lebih kuat dari pada alasan untuk menerima, itulah batasan toleransi. Namun begitu, toleransi juga kerap menghasilkan paradoks, karena pembatasan toleransi berdampak pada intoleransi. Untuk menghindari paradoks ini, kata Forst, maka konsepsi mengenai toleransi harus bisa digambarkan dengan cara yang dibenarkan dan tidak saling bertentangan. Ketiga, toleransi tidak bisa dihasilkan dari sebuah paksaan.
Forst kemudian menjelasaan tentang empat konsepsi mengenai toleransi yang bisa dimaknai sebagai sebuah levelling. Pertama, konsep pembolehan (permission conception). Disini toleransi bermakna bahwa otoritas (atau mayoritas) membolehkan kelompok minoritas untuk hidup sesuai dengan keyakinannya selama kelompok minoritas tersebut menerima posisi kelompok mayoritas tersebut.
Kedua, konsep koeksistensi atau hidup bersama (co-existence conception). Konsepsi ini kurang lebih sama dengan konsep pembolehan tetapi relasi antar kelompok lebih horizontal.
Ketiga, konsep penghormatan. Konsepsi ini mengindikasikan adanya hubungan timbal balik. Meskipun ada perbedaan diantara mereka, warga negara secara moral mengakui yang lain memiliki status politik dan hukum yang setara.
Keempat, konsepsi penghargaan. Konsep ini berjalan lebih jauh lagi dengan cara mengapresiasi yang lain. “Reserved esteem” terjadi meski ada penerimaan positif terhadap perbedaan, ada alasan untuk masih menganggap posisi sendiri untuk menjadi lebih menarik.
***
Kekhawatiran Eck tentang muatan kesetaraan yang mestinya ada dalam toleransi sejatinya sudah mulai ada jalan keluarnya. Bacaan saya terhadap karya Forst, Bhikhu Parekh dan Anna Elisabetta Galeotti setidaknya menunjukkan ada kekhawatiran yang sama tentang toleransi yang minus pengakuan akan kesetaraan.
Kenyataan masyarakat multikultural memang menyisipkan pesan tentang pentingnya pengakuan akan kesetaraan tersebut. Berbarengan dengan itu, keunikan yang ada pada masing-masing individu juga harus diakui. Bhikhu Parekh (2000) bahkan juga mengusulkan agar mengakui hak-hak yang bersifat kolektif. Selain individu yang unik, pengakuan juga harus diberikan kepada kelompok masyarakat yang memiliki identitas khas juga.
Tentang pentingnya toleransi sebagai sebuah pengakuan, tak hanya keterbukaan, sudah disinggung oleh Anna Elisabetta Galeotti (2002) dalam Toleration as Recognition. Kata Galeotti, teori liberal kurang berhasil dalam mengurai kedudukan toleransi ketika prinsip itu dibutuhkan sebagai solusi terhadap pelbagai konflik identitas, sementara di saat yang sama toleransi diharapkan jadi sarana etis untuk mengakomodasi perbedaan dalam nilai dan gaya hidup.
Di bagian akhir bukunya, Galeotti menegaskan konsepsinya tentang toleransi diharapkan bisa menjadi jalan keluar untuk pemenuhan terhadap kesetaraan. Kata Galeotti, “…toleration as recognition is presented as an appropriate reinterpretation of neutrality and as a further step toward the fulfillment of the ideal of equality of respect which I hold to be a fundamental trait of a decent and just society.”