Tradisi Totem dan Ibadah Haji

[Semarang – elsaonline.com] “Kata totem artinya lambang. Dulu orang ketika beribadah membuat suatu lambang. Kemudian lambang itu diperlakukan bermacam-macam dengan sebuah ritual. Ada yang memperlakukan (menyembah) lambang itu dengan berputar-putar. Ada juga yang disembah-sembah berhadap-hadapan. Lambang itu bisa berupa batu, patung, pohon dll,” papar Ahmad Fauzi, dalam acara diskusi mingguan Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Perumahan Bukit Walisongo Permai Jl. Sunan Ampel No. 11 Ngaliyan, Semarang.

Diskusi yang mengambil tema “ritual totem haji” ini berlangsung di eLSA cafe and librarydalam suasana serius meski sesekali diselingi guyonan segar. Hadir dalam acara tersebut, Cahyono, Ketua Umum PMII Rayon Syari’ah dan beberapa aktifis kajian di Semarang. “Mengambil tema totem haji, karena saat ini masih dalam moment ibadah haji bagi umat Muslim,” ungkap Khoirul Anwar, sebagai koordinator divisi kajian eLSA.

neko-wolfninja.deviantart.com

Ibadah haji yang saat ini sedang dilaksanakan oleh sebagian umat muslim diseluruh dunia, juga tidak jauh dari ritual totem. “Menurut saya Nabi bukan pembawa ritus baru, namun Nabi lebih seorang transformer yang sangat luar biasa. Ritual-ritual dalam ibadah haji sejatinya sudah ada sejak jaman pra-Islam. Namun oleh Muhammad bentuk ritual itu diganti dengan cara-cara Islam,” lanjut Fauzi.

Ada beberapa ritual dan lambang dalam Islam yang itu merupakan ritual terdahulu. “Itu ditunjukan oleh beberapa lambang, salah satunya Hajar Aswad. Ritual yang sangat nampak itu ritual terdahulu adalah thawaf. “Thawaf adalah salah satu ritual haji dengan mengelilingi Ka’bah dan ini juga sudah dilakukan oleh masyarakat pra-Islam,” pungkas Fauzi.

Sementara Khoirul Anwar, memiliki perspektif yang berbeda mengenai mengenai haji. Bagi masyarakat arab pra Islam di bagian selatan, ada yang melakukan ibadah haji itu di tempat lain, di Makkah. “Lalu oleh Nabi Muhammad dari tempat yang beragam itu dijadikan satu tempat. Alasanya sangat sederhana, untuk sumber perekonomian,” sambung Awang.

Baca Juga  Hidup “Ribut-Rukun” dalam Keragaman di Tanah Minahasa

Dalam masalah Haji, Awang juga memiliki pandangan bahwa ritual itu sangat toleran. Ia memaknai Haji itu adalah jalan untuk mempertemukan makna semua agama. Hal ini bisa dilihat dari pengertian Haji itu sendiri. “Para sarjana klasik mendefinisikan haji dengan aktifitas berupa ziarah ke tempat-tempat yang disucikan. Dalam semua ajaran agama ada ritual-ritual dalam kunjungan ke tenpat yang disucikan. Orang Kristen ke Yerusalem dan penganut aliran kepercayaan ke tempat makam para leluhurnya. Dari pengertian Haji yang artinya kunjungan ke tempat yang disucikan, maka sejatinya semua ajaran sama. Sama-sama menganjurkan untuk berkunjung ke tempat-tempat yang suci,” pungkas Awang. (Ceprudin/elsa-ol)

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

Tiga Tema Alkitab sebagai Basis Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam "Justice and Only Justice: A Palestinian...

Kekristenan Palestina dan Teologi Pembebasan: Berguru Pada Naim Stifan Ateek

Oleh: Tedi Kholiludin Ia adalah seorang Palestina dan bekerja sebagai...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini