Oleh: Danang Kristiawan
Pelayan di Gereja Injili di Tanah Jawa (GITJ)
Mahasiswa Program Pascasarjana Teologi Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Jogjakarta
Pengantar
Kartini menjadi sosok yang dikagumi dan dianggap sebagai pelopor bagi emansipasi perempuan di Indonesia. Keprihatinannya terhadap masalah perempuan dan sosial di sekitarnya tertuang dalam tulisan-tulisan pribadinya. Tentu kalau dilihat dari sisi ini sebenarnya bisa diperdebatkan sisi perjuangan dan kepahlawanannya. Keprihatinannya terhadap masalah poligami, candu, dan pendidikan merupakan pengalaman eksistensial yang bisa saja menjadi pengalaman umum bagi para perempuan pada waktu itu. Hanya saja Kartini memiliki kesempatan untuk menuangkannya dalam bentuk tulisan. Ditambah dengan hubungannya dengan kultur Eropa melalui beberapa orang dekat yang dikenalnya membuat sebuah bergulatan batin yang cukup menarik. Di sinilah muncul sebuah dialog internal dalam diri Kartini antara tradisi dan modernitas.
Dialog internal itu juga terjadi dalam ranah keagamaan. Namun sayang bagian ini jarang dibahas dan terlupakan. Padahal ini merupakan sebuah contoh yang cukup menarik bahwa setiap perjumpaan selalu akan menghasilkan sebuah pemahaman yang baru dan unik. Di tengah-tengah menguatnya berbagai sentimen keagamaan, maka dalam kesempatan ini tentu menarik kalau kita melihat sedikit pergumulan Kartini mengenai Tuhan dan agama. Dalam hal ini buku Th. Sumartana yang berjudul Mission at The Crossroad: Indigeneous Churches, european Missionaries, Islamic Assosiation, and Socio-Religious Change in Java 1812-1936 (Jakarta: BPK GM, 1994), khususnya pasal IV menjadi sumber informasi yang sangat penting. Tulisan ini hanyalah ringkasan dari bagian buku tersebut.
Latar Belakang Kartini
Pemahaman selalu terkait dengan pengalaman hidup dan konteks yang dihadapi. Oleh sebab itu untuk melihat pergumulan keagamaan Kartini kita perlu melihat latar belakang yang membentuk pengalaman dan pemahamannya tersebut. Ada beberapa konteks yang perlu dipertimbangkan: konteks keluarga, konteks pendidikan keagamaan, konteks perjumpaannya dengan pemikiran Eropa (agama lain/Kristen puritan).
Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879. Ayahnya seorang kepala distrik (camat) di Mayong yang kemudian menjadi bupati di Jepara bernama Raden Adipati Sosroningrat. Kartini adalah anak kelima di dalam keluarganya. Sosroningrat mempunyai dua istri dan sebelas anak. Ketika Ia masih menjabat sebagai kepala distrik di Mayong Ia menikahi gadis biasa berusia 14 tahun bernama Ngasirah. Ayah Ngasirah, Modirono, adalah seorang guru Muslim dari desa Telukawur Jepara dan juga bekerja sebagai pedagang kelapa di Mayong. Ketika Sosroningrat ditunjuk sebagai bupati Jepara Ia menikahi Putri Moerjam, anak dari aristokrat Madura, sehingga ia menjadi Raden Ayu bupati Sosroningrat.
Kartini bukanlah anak dari Raden Ayu, tetapi anak dari Ngasirah. Walaupun Ngasirah merupakan istri yang sah dari Sosroningrat, tetapi Ia tetaplah menjadi istri kedua di kalangan keluarga besar bupati. Dia harus memanggil anak-anaknya dengan sebutan ndoro, sedangkan anak-anaknya memanggilnya dengan sebutan yu. Itu merupakan hal yang biasa dalam struktur masyarakat feodal Jawa waktu itu (bisa dibandingkan novel Gadis Pantai dari Pramudya Ananta Toer yang secara dramatis menggambarkan pola semacam itu). Ngasirah ternyata masih memelihara lingkungan sosial di mana ia berasal, khususnya berkenaan dengan pendidikan agama di mana Ia masih menekankan pentingnya mengaji dan menghafalkan beberapa ayat dari Al’Quran.
Bupati Sosroningrat adalah anak dari bupati Demak, Ario Condronegoro, yang membuka pintu bagi pendidikan Barat di dalam keluarganya. Anak-anak dari Condronegoro dapat mengenyam pendidikan sampai ke sekolah menengah Belanda. Tradisi ini berlanjut di keluarga anak-anaknya. Bahkan saudara Kartini, yaitu Kartono, dapat melanjutkan pendidikannya di Belanda (RMP Sosrokartono ini menguasai 30 bahasa dan menjadi wartawan koran AS The New York Tribune dan The New World Herald pada tahun 1917. Pada tahun 1919 beliau diangkat oleh pemerintah Prancis sebagai atase kedutaan Perancis di Den Haag, dan tahun 1920 diangkat Presiden AS,Woodrow Wilson sebagai juru bahasa PBB di Jenewa Swiss). Tentu pendekatan ini merupakan pendekatan yang menarik, karena nampaknya Sosroningrat menyadari bahwa kemampuan menguasai bahasa asing dan pendidikan Barat akan berperan dalam mempertahankan posisi kekuasaannya di bawah pemerintah Kolonial.
Namun demikian, meski cukup terbuka terhadap pendidikan Barat, Sosroningrat tetap memberi batas tertentu sesuai tradisi waktu itu. Sehingga Kartini memang diijinkan untuk mengenyam pendidikan Belanda, tetapi hanya sampai tingkat dasar saja. Memang Kartini pernah mengungkapkan niatnya untuk melanjutkan pendidikannya, tetapi Sosroningrat tetap tidak mengijinkannya. Jadi Sosroningrat memang memberi kesempatan anak-anaknya untuk mencari pengetahuan, khususnya bahasa Belanda, tetapi tidak lebih dari itu. Mereka bisa belajar mengenai kebiasaan orang Eropa, membaca koran dan buku-buku Eropa, dan tahu etiket mereka. Tetapi Kartini yang berusia 12 tahun pun harus tinggal di rumah, dipingit, untuk menunggu calon suami yang akan menikahinya. Karena rasa sayangnya pada ayahnya, Kartini pun menaatinya. Setidaknya dari kemampuannya untuk membaca dan menulis dengan bahasa Belanda telah membuat Kartini mampu menuangkan pergulatannya tentang nasib yang dihadapinya.
Selain menerima pendidikan Barat, Kartini juga mendapatkan pendidikan keagamaan di keluarganya. Ayahnya memanggilkan guru ngaji untuk mengajar Kartini. Meskipun demikian tidak dapat dikatakan bahwa Kartini mampu mengerti secara mendalam ajaran Islam. Ia mencintai Islam karena itu adalah agama yang dianutnya, tetapi juga mempergumulkan tentang Islam yang diajarkan kepadanya. Antara lain Kartini mengeluhkan ketidaktahuannya akan makna dalam Al’Quran yang menggunakan bahasa Arab. Selain itu, pergulatannya mengenai Islam adalah berkenaan dengan masalah poligami yang memang menjadi salah satu perhatian sosial Kartini saat itu. Faktor lain yang berpengaruh sangat besar dalam pemahaman keagamaan Kartini adalah religiusitas Jawa. Hal itu dapat dilihat nantinya dalam surat-surat Kartini yang membicarakan mengenai masalah keagamaan. Kartini sangat menghayati tradisi spiritual Jawa, baik dalam bentuk seni gamelan, ritual, etika, dan penghayatan mistik Jawa.
Beragamnya konteks itulah yang justru menjadi keunkan Kartini. Ia banyak bersentuhan dengan berbagai tradisi yang diinternalisasi menjadi sebuah pemahaman yang otentik. Ia seorang Islam Jawa yang sensitif terhadap situasi sosialnya, mendialogkan dengan tradisi pendidikan Barat dan berelasi secara mendalam dengan kalangan Kristen Barat dan Yahudi (Beberapa teman korespondensinya memang berlatarbelakang keagamaan yang berbeda. Misalnya Nn. E.H. Zeehandelaar adalah seorang Yahudi yang aktif di gerakan perempuan di Belanda. Sementara itu Kartini juga punya teman dekat Kristen, yaitu Dr. N. Andriani yang merupakan seorang misionaris di Poso).
Pandangan Religius Kartini
1. Pandangan Tentang Tuhan
Kartini memahami bahwa Tuhan itu Esa yang menjadi pencipta dari semesta yang ada. Kemutlakan Allah itu dipahaminya secara universal. Karena Allah itu Esa, satu-satunya pencipta semua yang ada, maka Dia juga yang disembah oleh seluruh umat beragama, yang oleh umat Islam disebut dengan sebutan Allah. Hal ini diungkapkan Kartini saat mengirimi surat kepada Dr. N. Adriani, seorang ahli bahasa yang bekerja untuk misionaris di Poso. Di surat itu Kartini mengatakan bahwa mereka percaya pada Allah yang sama, yaitu bahwa kamu memanggil dengan sebutan God, dan kami memanggil dengan sebutan Allah (24 september 1902 surat kepada Dr. N. Andri)
Kartini memahami bahwa Allah yang Esa dan Mahabesar itu berelasi dengan manusia dalam relasi cinta kasih. Keyakinan inilah yang menjadi inti keyakinan religius Kartini. Tuhan yang penuh cinta kasih itu tidak dijelaskan secara abstak, tetapi dihayati dalam bentuk yang lebih relasional. Kehadiran Tuhan itu dapat dirasakan dan begitu dekat dengan kehidupan.
“Ada Satu yang melindungi kita. Ada Satu yang selalu dekat dengan kita, dan Yang Satu itu akan menjadi penjaga hati kita, tempat kita mencari perlindungan dalam ketentraman kehidupan kita. (21 Juli 1902 surat kepada Ny. van Kol)
Jadi Kartini menekankan pada relasi dan kedekatan antara manusia dan Tuhan. Ketika Ny. van Kol menggunakan ungkapan “Tuhan sebagai Bapa”, Kartini tiba-tiba terbuka dengan istilah ini dan tidak mempersoalkannya karena mengasosiakannya dengan ayah biologisnya. Dia mencintai dan menghormati ayahnya. Berdasarkan itu dia merasa bahwa ungkapan itu adalah ungkapan yang cocok bagi pengalaman batinnya sendiri. (4 Juli 1903 surat kepada Ny. van Kol. Dari Ny. van Kol ini Kartini belajar untuk membaca Injil dan mencoba memahami beberapa ajaran tentang kekristenan. Ia pun mengadopsi beberapa istilah yang digunakan di Injil, seperti kisah Yesus di taman Getsemani). Tidak dalam pengertian dogmatis untuk menggambarkan tentang Allah, tetapi sebuah ungkapan relasional untuk menggambarkan hubungannya dengan Allah. Inilah yang membuat ungkapan “Allah sebagai Bapa, penuh cinta dan belaskasihan” sering digunakan olehnya. Dalam surat kepada Ny. van Kol, dia menulis:
“ibuku sangat bahagia, dia sangat berharap untuk menjumpaimu dan mengekspresikan rasa trima kasihnya secara pribadi kepadamu karena mujizat yang telah engkau ciptakan di dalam anak-anaknya: kau telah membuka hati kami untuk menerima Allah yang mengasihi (a God of Love). (20 Agustus 1902 surat kepada Ny. van Kol)
Kedekatan akan Allah juga digambarkan dalam kata “terang”, seperti yang tertuang dalam surat ini:
“akhir-akhir ini kami telah merenungkan banyak hal—sangat, sangat banyak. Sangat jauh— sangat, sangat jauh. Kita sedang mencari Terang itu, di mana posisi Terang itu sangat dekat, selalu bersama kita, di samping diri kita sendiri.” (12 Juli 1902 surat kepada Ny. M.C.E. Ovink-Soer)
Selain menggunakan sebutan sebagai “Bapak” dan “Terang”, Tuhan juga digambarkan Kartini sebagai “suara dalam hati”, “hati terdalam”, atau “kesadaran”. Kartini menulis, “Tuhanku adalah kesadaranku, surga dan neraka adalah kesadaranku. Ketika kita berbuat salah, kita dihakimi oleh kesadaran. Jika kita berbuat benar, kita diberkati oleh kesadaran kita”. (15 Agustus 1902 Surat kepada Ny. Abendanon-Mandri) Di situ Kartini menempatkan penghayatan akan Tuhan dalam menilai segala sesuatu. Kartini menggunakan istilah “kesadaran” sebagai sebuah otoritas untuk mengukur benar dan salah, atau untuk membedakan antara surga dan neraka.
Jadi, gambaran tentang Tuhan oleh Kartini memang berangkat dari pegalaman dan peghayatannya. Tuhan bukanlah Tuhan yang jauh, tetapi sangat dekat di dalam hati. Inilah penghayatan Kartini akan Tuhan sebagai penjaga, pelindung, dan penghibur. Dari sini kita bisa melihat bahwa penghayatan itu muncul dari pergulatan batin Kartini yang menggumuli tradisi dan agama yang dipeluk dan perjumpaannya dengan yang lain.
2. Pandangan tentang hubungan antaragama
Salah satu kekuatan dari Kartini adalah hubungannya yang baik dengan orang dari berbagai latar belakang agama yang berbeda. Tidak hanya berupa hubungan biasa, tetapi juga terlibat dalam dialog dan perjumpaan yang mendalam. Oleh karena itu Th. Sumartana berani menyebut Kartini sebagai orang pertama yang melakukan dialog antaragama pada waktu itu. Sekitar tahun 1899-1903, waktu di mana Kartini menulis sebagian besar surat-suratnya, belum ada seorang pemikir religius di Jawa yang melakukan dialog dan perjumpaan semacam itu. (p.293).
– Agama sebagai rahmat
Kartini percaya bahwa hanya ada satu Allah bagi semua ciptaan, termasuk bagi semua agama. Tuhan memberi agama-agama kepada manusia sebagai berkah sehingga manusia terhindar dari perbuatan-perbuatan yang jahat.
“Agama sesungguhnya adalah sebuah berkah untuk membangun ikatan persaudaraan di antara semua ciptaan Allah, putih atau coklat. Tidak mempertimbangkan derajat, perempuan atau laki-laki, atau kepercayaan, semuanya dari kita adalah anak-anak dari satu Bapak, Tuhan yang Esa.” (21 Juli 1902 surat kepada Ny. van Kol)
Monoteisme yang dipahami Kartini memang monoteisme universal. Seluruh semesta diciptakan oleh Allah yang Esa dan Allah yang sama bagi semua orang. Umat manusia dijadikan satu sebagai saudara tanpa memandang apa yang melekat di dalamnya. Dengan dasar ini maka Kartini menjadi terbuka untuk berhubungan dan bekerja sama dengan orang-orang yang berbeda, termasuk dengan sahabat-sahabatnya di Eropa. Semua umat manusia adalah anak-anak dari satu Bapak, laki-laki dan perempuan menjadi satu saudara yang saling membutuhkan dan saling tolong-menolong. Saling menolong dan saling mengasihi memang menjadi dasar bagi setiap agama. Inilah sebabnya Kartini menyebut bahwa agama merupakan berkah yang diberikan Allah kepada manusia. Itu akan benar-benar terwujud bila ada kerja sama antarumat beragama, meskipun faktanya mereka memiliki kultur dan pemahaman yang berbeda.
Dari sini sebenarnya tampak pengaruh paham Jawa yang melekat dalam diri Kartini yang menekankan keharmonisan realitas. Pemahaman akan agama dan konsep monoteisme yang dipahaminya tidak semata-mata sebuah rumusan dogmatis. Pengaruh latar belakang Kartini itu terlihat dengan pemahamannya bahwa dasar dari semua agama adalah sama. Tidak ada agama yang di atas atau di bawah dari yang lain. Semua agama adalah jalan-jalan yang diberikan Allah supaya manusia dapat melayani Dia dan berserah pada Yang Baik. Kartini menulis:
“Tidak masalah seberapa jauh jalan yang kita ikuti berbeda, semua dari mereka akan menuju pada satu tujuan yang sama, bernama, Yang Baik (the Good). Kita juga berserah kepada Yang Baik, yang olehmu kau sebut Tuhan (God), dan oleh kami, kami sebut Allah”. (24 September 1902 surat kepada Dr. Adriani)
Ketika Kartini mengatakan bahwa semua jalan yang berbeda itu menuju pada tujuan yang sama, tampaknya sedikit itu mengandung corak sinkretis ala Jawa. Tetapi sinkretisme Kartini bukanlah sinkretisme dogmatis, dalam arti menggabungkan ajaran agama yang berbeda menjadi sebuah peleburan yang satu. Sinkretisme Kartini lebih bercorak sinkretisme etis. Setiap agama memang berbeda (jalan yang berbeda-beda), tetapi semua berujung pada satu tujuang yang sama, yaitu Kebaikan. Di sini berarti kebaikan, sisi etislah yang mejadi titik yang mempertemukan agama-agama, sebagai fitrah dari setiap agama yang merupakan rahmat bagi manusia.
“Bukan agama yang tidak mempunyai kasih, tetapi umat manusialah yang menghancurkan segala sesuatu yang awalnya indah dan kudus. Sejauh yang saya lihat, yang paling indah dan paling kudus dalam agama adalah cinta/kasih. Dan untuk dapat hidup menurut kehendak Yang Ilahi, haruskah orang secara mutlak harus menjadi seorang Kristiani? Budhis, Brahmins, Yahudi, Muslim, demikian juga orang yang menyembah berhala sekalipun dapat hidup dengan kasih yang murni.” (12 Desember 1902 surat kepada Ny. Abendanon-Mandri.)
Dari ungkapan itu dapat kita lihat bahwa bagi Kartini agama adalah sebuah jalan yng ditempuh manusia untuk mencapai kebaikan. Tidak hanya satu agama yang memiliki kemurnian kasih, tetapi juga agama-agama suku pun yang dianggap primitif memiliki kasih yang murni.
– Agama dan praksis
Meskipun Kartini percaya bahwa semua umat manusia adalah saudara karena semua adalah anak-anak dari Bapak yang satu, itu tidak berarti bahwa Ia tidak tahu situasi yang terjadi dalam relasi antaragama yang sering kali menimbulkan pertengkaran. Kartini sering kali bertanya, “Benarkah agama adalah sebuah berkat untuk umat manusia?”.
“Oh Tuhan, saat ini aku berpikir, bagaimana indahnya jika tidak pernah ada agama. Karena agama, yang seharusnya menyatukan semua umat manusia, dalam waktu berabad-abad telah menjadi dasar pertengkaran dan perpecahan, penyebab dari pertumpahan darah yang mengerikan. Orang dari satu ibu dan satu bapak terancam dan saling bertengkar satu dengan yang lainnya karena perbedaan jalan untuk melayani Satu Allah, Tuhan yang sama.” ) 6 November 1899 surat kepada Stella Zeehandelaar.)
Realitas agama-agama yang justru memecah belah umat manusia membawa Kartini dalam sebuah krisis. Lebih lanjut dia menambahkan, “Apa yang membuatku tidak senang dengan agama adalah bahwa para penganut agama saling menghina, saling membenci, dan kadang-kadang saling mengejar satu dengan yang lain.” Kenapa itu bisa terjadi? Bukankah setiap agama mengajarkan hal yang baik? Semakin dalam Ia mengungkapkan, “Saya tahu dan mengerti bahwa inti dari agama adalah kebaikan, bahwa semua agama itu indah dan baik. Tetapi aduh! Manusia, apa yang telah kamu lakukan dengan agama?” (21 Juli 1902 surat kepada Ny. van Kol)
Memang Kartini tidak melihat agama sebagai sesuatu yang harus dipersalahkan. Tetapi orang-orang lah yang sering kali menyalahgunakan agama sehingga agama tidak menjadi rahmat bagi banyak orang. Sikap egois dari manusia inilah yang menghancurkan kebaikan agama. Kartini menuliskan:
“bahwa manusialah yang melakukan yang jahat, secara arogan menggunakan nama Allah untuk menutupi perbuatan jahatnya… bahwa pada mulanya segala sesuatunya adalah baik, tetapi manusia membuat apa yang baik menjadi jelek. Aduh! Bagaimana sedikit toleransi bisa menjadi bagian dari mayoritas orang yang memegang teguh agama mereka!” (20 Agustus 1902 surat kepada Ny. van Kol )
Jadi di tahap ini Kartini telah meraih sebuah permasalahan teologis yang sangat penting dalam eksplorasi religiusnya. Di tahap awal, Kartini mencoba memberi dasar pandangan yang universal berangkat dari keyakinan akan keesaan Allah dan persaudaraan umat manusia, di mana agama-agama merupakan rahmat yang diberikan Tuhan kepada manusia sehingga manusia bisa saling menghormati dan bekerja sama. Tetapi kini Kartini diperhadapkan dengan kenyataan bahwa sering kali manusia menyalahgunakan agama dengan sikap yang tidak toleran terhadap yang lain.
Untuk itu Kartini kembali mengarahkan untuk berpijak pada titik etis sebagai tolok ukur antaragama. Permasalahan bukan ada pada agama itu sendiri, tetapi pada orang-orang yang memeluk agama tersebut. Kartini melihat agama tidak dari ajaran-ajarannya, tetapi pada fungsinya di masyarakat. Yaitu bagaimana agama bisa berpengaruh secara positif bagi kehidupan moral para pemeluknya. Tidak ada agama yang mengajarkan kejahatan, kecuali bila agama telah dimanipulasi oleh kepentingan orang-orang yang di dalamnya. Sehingga kritik terhadap agama seharusnya bukan ditujukan pada agama itu sendiri, tetapi pada orang yang memeluknya. Fanatisme yang sempit, intoleransi, dan pelecehan terhadap yang lain bukanlah nilai yang diresapkan oleh agama, tetapi karena pemahaman yang sempit dari orang yang bersangkutan. Akhirnya Kartini menyuarakan keyakinannya:
“Tidak lagi aku akan bertanya apa kepercayaanmu, tetapi seperti apa perilakumu. Kebaikan, itu adalah Tuhan kita, yang selalu kita coba untuk layani. Sekarang kita tahu bahwa Kebaikan dan Tuhan adalah satu”.( 20 Agustus 1902 surat kepada Ny. van Kol)
Pemahaman yang toleran terhadap agama-agama lain membuat Kartini memiliki relasi yang cukup luas. Apalagi dengan kepeduliannya terhadap masalah-masalah sosial, seperti masalah pendidikan dan kesehatan, membuka kesempatan bagi dia untuk berhubungan dengan misi Kristen yang pada masa itu yang cukup dipengaruhi oleh kebijakan politik etis pemerintah Belanda. Keterbukaannya terhadap misi Kristen berangkat dari perhatian yang sama, yaitu praksis sosial yang dilakukan di bidang kesehatan dan pendidikan. Dalam suratnya kepada Dr. Adriani, Kartini mengekspresikan apresiasinya kepada misi Kristen:
“Engkau tidak salah, tuan, kami sungguh memiliki simpati yang besar untuk pekerjaan misi Kristen di Hindia-Belanda. Dan kami tertarik dengan segala sesuatu yang terkait dengan pekerjaan itu, sebuah usaha dan karakter orang-orang yang patut dipuji… untuk membuat kehidupan yang indah dan mulia bagi mereka yang oleh orang yang tinggal di “dunia yang beradab” disebut sebagai “orang primitif”.(19 Maret 1901 surat kepada Dr. Adriani)
Dari situ dapat dilihat bahwa Kartini memuji aspek kemanusiaan dari misi Kristen. Namun ada hal yang menjadi keberatan dari Kartini, yaitu upaya para misionaris Kristen untuk melakukan kristenisasi terhadap umat muslim.
“Apakah pemahamanmu tentang misi yang tidak bertujuan untuk menyebarkan kekristenan kepada semua orang, yang mengasingkan mereka dari semua agama, tetapi dengan dasar cinta itu sendiri melakukan yang baik untuk orang-orang di Jawa? Mengapa tidak mengusahakan seperti itu seperti di Mojowarno dan menjalankannya tanpa hambatan agama di beberapa tempat di Jawa? Dengan demikian usaha-usaha itu tidak akan memicu kemarahan orang-orang yang sudah memeluk agama Islam. Secara umum orang muslim akan memandang rendah orang yang seagama lalu menyerah untuk memeluk agama lain. Di mata orang Muslim, hal semacam itu adalah dosa yang sangat besar..” (31 Januari 1903 Surat kepada E.C.Abendanon)
Dengan sensitifitas yang tinggi, Kartini ingin mempertahankan suasana harmonis di Jawa. Rivalitas antaragama akan mengancam keharmonisan yang telah terbentuk. Untuk itu Kartini mengusulkan supaya para misionaris membawa pesan yang dapat diterima oleh orang Jawa, yaitu tentang Tuhan sebagai Bapa yang penuh kasih dan pemurah:
“Jika orang ingin mengajarkan agama kepada orang Jawa, ajarlah mereka untuk mengenal Allah yang Esa, untuk mengenal Bapa yang penuh kasih dan pemurah, Bapa semua ciptaan, Bapa dari orang-orang Kristen, Muslim, Budhis, Yahudi, dan yang lainnya. Ajarlah mereka agama yang benar, yaitu agama yang melekat pada spiritualitas, sehingga orang-orang itu dapat merangkul agama itu sebagai orang Kristen, Muslim, dan lainnya”.( 31 Januari 1903 Surat kepada E.C.Abendanon)
Kembali kita melihat dengan jelas bahwa orientasi religiositas dari Kartini adalah orientasi pada praksis kehidupan. Agama-agama, termasuk dalam hal ini misi Kristen, seharusnya memberikan penekanan pada pelayanan cinta kasih dan anugrah, untuk mempersatukan dalam persaudaraan dan kehidupan yang manusiawi. Sebuah ide hebat yang lahir dari seorang perempuan muda bernama Kartini.
Orientasi praksis itu dengan jelas tampak dari surat Kartini berikut ini:
“Ajarlah orang-orang Jawa dengan kata-kata dan perbuatan, makna yang sejati dari peradaban, dan makna yang sejati dari kasih… peradaban yang sejati adalah karakter dan semangat yang patut dipuji (nobility)! Kedua hal itulah yang harus dikembangkan di antara semua orang yang memeluk berbagai keyakinan dan memuliakan Tuhan, Allah yang satu dan sejati, Bapa dari semua ciptaan. Kirimkan dari Belanda kepada pelayan-pelayan Allah di Hindia, malaikat-malaikat kasih yang membawa berkah bagi orang-orang Jawa.” (31 Januari 1903 Surat kepada E.C.Abendanon)
Penutup: Relevansi Pemikiran Kartini
Satu kesan yang muncul dari pembacaan terhadap pergumulan Kartini adalah kemampuannya untuk mendialogkan berbagai tradisi sehingga menghasilkan pemikiran yang unik dan otentik. Ia seorang Islam yang menghidupi tradisi Jawa dan bergumul dengan pemikiran Barat. Ia membuka diri dan menerima banyak hal baru dari pendidikan Barat, tetapi tidak kehilangan identitas tradisinya. Ia berbeda dengan tradisinya, tetapi juga tidak terhanyut dalam tradisi yang baru. Inilah otentisitas pemikiran Kartini, otentisitas pergumulan antara tradisi dan modernitas.
Meskipun menarik, tetapi pemikiran keagamaan Kartini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, pergulatan Kartini mengenai agama dan Tuhan bukanlah perhatian utama Kartini dalam surat-suratnya. Perhatian utamanya adalah mengenai masalah pendidikan dan kesederajatan perempuan. Oleh karena itu kita tidak bisa mengharapkan terlalu banyak mengenai kompleksitas hubungan antaragama dalam pemikiran Kartini. Kedua, pergumulan keagamaan yang dihadapi Kartini belumlah sekompleks masa-masa sesudahnya, setelah agama menjadi kekuatan politik dan masuk dalam pertarungan ideologis. Padahal ketegangan dan rivalitas antaragama justru sering kali terjadi dalam ranah politis dan ideologis. Ketiga, Kartini menuliskan pergulatannya itu dalam bentuk surat yang bersifat pribadi. Tentu itu akan membuat suaranya menjadi jujur dan otentik, namun sekaligus juga polos. Dia bukanlah orang yang bergumul dengan masalah keagamaan dan tidak terlalu menguasai konsep-konsep teologis-dogmatis dari agama. Ia tidak tertarik untuk membicarakan mengenai ajaran-ajaran yang abstrak dari agama, tetapi lebih pada ranah praktis, pengalaman sehari-hari yang dihadapinya. Justru di sini jugalah hal yang paling menarik dari pemikiran Kartini.
Meskipun ada beberapa keterbatasan, tetapi ada beberapa pokok penting yang dapat kita renungkan bersama dalam konteks kita sekarang.
1. Sisi persaudaraan antarumat beragama.
Pikiran Kartini yang polos dan jujur menunjukkan sebuah kedalaman harapan yang sangat besar. Harapan itu adalah terciptanya suatu persaudaraan manusiawi antarumat. Umat beragama oleh Kartini dipahami sebagai saudara. Dan agama seharusnya berperan dalam proses pemanusiawian tersebut, yaitu proses untuk membangun persaudaraan universal. Agama seharusnya menjadi berkah untuk kemaslahatan manusia, bukan kutuk yang menghancurkan sendi-sendi kemanusiaan. Oleh karena itu, menghayati pikiran Kartini dalam konteks keagamaan saat ini seharusnya menantang kita untuk merayakan pluralitas agama ini sebagai peluang untuk membangun persaudaraan.
2. Fungsi etis agama-agama.
Agama dilihat oleh Kartini lebih pada sisi etisnya dari pada sekedar sisi dogmatisnya. Sederhananya agama seharusnya berperan dalam menciptakan kehidupan manusiawi yang lebih beradab. Itulah agama cinta, agama Ilahi, agama yang menghasilkan buah-buah cinta kasih yang nyata. Orientasi pada praksis inilah yang penting sekali untuk dikedepankan oleh setiap agama pada saat ini. Praksis yang berangkat dari pergumulan dan permasalahan bersama bisa menjadi titik pijak bersama oleh setiap agama untuk melakukan tindakan bersama. Sehingga berangkat dari masalah dan keprihatinan yang dihadapi bersama, agama-agama dapat merefleksikan berdasarkan terang iman yang diyakininya, mengambil sikap etis, dan bertemu bersama-sama membicarakan langkah-langkah konkrit yang perlu diambil berdasarkan inspirasi iman masing-masing. Inilah sebuah dialog agama-agama dalam ranah praksis. Agama yang memiliki panggilan untuk berperan serta dalam memanusiakan manusia. Untuk itu masalah-masalah seperti kemiskinan, kebodohan, korupsi, ekologi, ketidakadilan yang terjadi di sekitar kita bisa menjadi titik pijak bersama untuk direspon bersama-sama.
3. Dari ko-eksistensi menuju pro-eksistensi.
Dengan mengarahkan agama-agama untuk memiliki tanggung jawab etis terhadap masalah-masalah yang ada, maka hubungan antaragama tidak hanya berujung pada toleransi semata (ko-eksistensi). Toleransi hanya akan mengajak orang untuk menghormati dan hidup sendiri-sendiri dalam damai. Tetapi toleransi yang seperti itu adalah toleransi yang semu dan mereduksi makna hidup damai itu sendiri. Kita perlu melampaui toleransi dan mengupayakan suatu hubungan relasional yang proaktif (pro-eksistensi). Artinya, agama-agama (lebih tepatnya umat beragama) dapat saling berjejaring dan menghubungi satu dengan yang lain untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan bersama, suatu kondisi manusiawi yang beradab.
Sebuah agenda yang ada di depan kita adalah: bagaimana kita bisa menghidupi keagamaan kita untuk mewujudkan masyarakat yang lebih beradab dan manusiawi secara bersama-sama, di mana semua orang dalam keberbedaan dan keunikannya masing-masing dapat hidup bersama, berjuang dan bertumbuh bersama. Itulah keselamatan yang sesungguhnya, ketika kebencian dihancurkan, sekat-sekat pemisah dirobohkan, manusia hidup dalam damai dan persaudaraan. Yah..semoga saja.