Warga Sapto Dharmo Dipaksa Membuat Tempat Pemakaman Sendiri

Waras (paling kiri)
Waras (paling kiri)
[Brebes –elsaonline.com] Warga Sapto Dharmo di Desa Sigentong Kecamatan Wanasari Kabupaten Brebes dipaksa oleh pegawai Kecamatan, Kapolsek, dan Kantor Urusan Agama (KUA) setempat untuk membuat tempat pemakaman sendiri. Pasalnya, menurut pejabat tingkat Kecamatan dan tokoh agama Islam Kecamatan Larangan pemeluk Sapto Dharmo tidak boleh dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) yang telah ditempati jenazah umat Islam. Menurutnya penganut Sapto Dharmo tidak boleh dimakamkan di satu tempat bersama penganut Islam.

Tindakan pemerintah dan tokoh agama Islam yang tidak baik ini terjadi pada tahun 2012. Sebelumnya, setiap kali ada pemeluk Sapto Dharmo meninggal dunia maka dimakamkan di TPU, tapi setelah Wurjan (62), salah satu warga Sapto Dharmo yang tinggal di RT 003 RW 06 Desa Sigentong menikahkan anaknya dan dipersoalkan oleh modin, dua minggu setelahnya pemerintah mempersoalkan tempat pemakaman bagi warga Sapto Dharmo.

“Sebelumnya saya hendak menikahkan anak perempuan, saya melaporkan ke lebe (modin, red). Lalu lebe tidak mau menikahkannya karena saya beragama Sapto Dharmo. Tapi akhirnya pernikahan anak saya berjalan dengan menggunakan wali hakim. Dua minggu setelah itu kemudian warga Sapto Dharmo dikumpulkan di balai desa membahas tentang pembuatan makam khusus Sapto Dharmo,” tutur Wurjan yang akrab disapa Waras (29/05/14).

Menanggapi perintah pegawai Kecamatan itu Warga Sapto Dharmo memilih menerima. Kendati sangat berat, tapi baginya di samping Sapto Dharmo mengajarkan harus mengalah dalam menghadapi kezaliman juga jika melawan pun tidak akan bisa diterima oleh pemerintah dan tokoh-tokoh agama Islam setempat karena penganut Sapto Dharmo di Desa Sigentong berjumlah sangat sedikit. “Sapto Dharmo menerima begitu saja, pasrah. Sapto Dharmo niku manut mawon, mboten pernah sanjang mboten saged, Sapto Dharmo niku kocape wani ngalah luhur wekasane (Warga Sapto Dharmo itu menerima, tidak pernah menjawab tidak bisa apabila diperintah, Sapto Dharmo itu gampangannya berani mengalah akan mulia dikemudian hari, red),” paparnya.

Baca Juga  Ikhtiar Kecil Membantu Pasien Covid-19

Setelah rapat di balai desa warga Sapto Dharmo segera bermusyawarah dan menghasilkan keputusan; semua pengikut Sapto Dharmo di Desa Sigentong diminta iuran dengan nominal tidak ditentukan untuk membeli tanah yang akan dijadikan sebagai tempat pemakaman khusus bagi warga Sapto Dharmo. Kini sejak 2012 warga Sapto Dharmo memiliki tempat pemakaman sendiri yang terletak di samping TPU desa Sigentong.

“Pemerintah tidak memberikan uang sedikit pun untuk membuat makam Sapto Dharmo. Sapto Dharmo membuat makam sendiri,” terang Waras sembari menunjukkan letak makamnya yang berjarak 300 Meter dari kediamannya.

Lebe Tidak Takziyah
Kini di tempat pemakaman milik warga Sapto Dharmo sudah ada empat makam. Sejak Sapto Dharmo memiliki tempat pemakaman sendiri lebe desa Sigentong tidak pernah menghadiri prosesi pemakaman warga Sapto Dharmo. “Setiap kali ada warga Sapto Dharmo meninggal dunia lebe tidak pernah hadir. Keinginan warga Sapto Dharmo lebe cukup hadir saja tidak apa-apa, warga melaporkan kalau salah satu warganya ada yang meninggal dunia, tapi lebe tidak pernah menghadirinya,” ungkap Waras dengan penuh menyesalkan tindakan lebe.

Bagi waras seharusnya ketika ada warga Sapto Dharmo meninggal dunia lebe datang ke rumah duka, tujuannya supaya lebe tahu bahwa warganya ada yang meninggal dunia. Kedatangan lebe hanya untuk mencatat saja karena untuk urusan perawatan jenazah seperti memandikan, mengkafani, dan mengubur sudah ada yang mengurusnya sendiri, yakni pengurus Persatuan Sapto Dharmo (Persada) yang ditugasi untuk itu.

Tak hanya lebe yang tidak takziyah, umat Islam juga banyak yang tidak mendatangi rumah duka walaupun sekedar menyampaikan belasungkawa. Penganut Islam yang takziyah hanya orang-orang yang rumahnya berdekatan dengan warga Sapto Dharmo yang meninggal dunia, untuk umat Islam secara umum tidak pernah takziyah layaknya ketika ada orang Islam yang meninggal dunia.

Baca Juga  Semarang, “Ibu Kota” Gereja Isa Almasih (1)

“Setiap warga Sapto Dharmo meninggal dunia warga Islam tidak hadir, paling hanya yang berdekatan saja. Ini beda dengan kalau yang meninggal dunia orang Islam maka semuanya hampir hadir, takziyah. Tapi ya mboten napa-napa, wong mati tah sing penting ana sing ngadusi lan ana sing mendem (Tapi ya tidak apa-apa, karena orang mati itu yang penting ada yang memandikan dan ada yang mengubur, red),” tandasnya.

Hampir serupa dengan nasib warga Sapto Dharmo di Desa Sigentong, warga Sapto Dharmo di Desa Sikancil Kecamatan Larangan juga terpaksa harus membuat tempat pemakaman sendiri pada 2009. Hal ini dipicu oleh penolakan umat Islam Desa Sikancil terhadap jenazah penganut Sapto Dharmo ketika hendak dimakamkan di TPU. Akhirnya keluarga musibah memakamkan jenazahnya di tanah pekarangan sendiri dan sekarang menjadi tempat pemakaman khusus milik warga Sapto Dharmo di desa itu. [elsa-ol/KA@khoirulanwar_88]

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Nahdlatul Arabiyyah Semarang: Jejak Keturunan Arab yang Terlupakan (Bagian Pertama)

Oleh: Tedi Kholiludin Pertumbuhan organisasi keturunan Arab di Hindia Belanda...

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini