“Konflik bukan soal isu agama saja, segala sesuatu kalau dikaitkan dengan agama maka akan berdampak negatif. Termasuk perihal kerukunan dan toleransi antar umat beragama,” ucapnya saat ditemui elsaonline.com di kediaman Carlim, di Desa Sikandang, Kecamatan Kersana-Brebes, Sabtu (20/15).
Lebih lanjut, Warjo mengatakan, faktor dalam penyelesaian konflik guna menjaga kerukunan diawali dari ulama atau tokoh agama itu sendiri. Menurut dia, apabila ulamanya sudah menjaga toleransi dengan sedirinya jamaah akan mengikutinnya.
“Faktor utama penyelesaian konflik dengan menjaga kerukunan diawali dari ulama itu sendiri, kalau ulamanya menjaga toleransi dengan sendirinya jamaahnya juga mengikuti dan sebaliknya,” terang penghulu sapta darma itu.
Selain itu, ia berharap ada forum bersama antar umat beragama dan berkeyakinan agar ada keterbukaan dalam kehidupan beragama dan berkeyakinan. Ia menganggap, dengan forum bersama keterbukaan itu akan muncul melalui jalur dialog bersama.
“Melihat kondisi masyarakat kita, karakter kebaikan itu sudah ada jauh sebelum penyebaran Islam itu sendiri. ketika bicara soal masyarakat sipil, membutuhkan forum bersama. Karena keterbukaan akan muncul saat didialogkan,” sarannya sembari menikmati hidangan kopi yang sudah tersedia.
Katanya ahli syurga, kritik Warjo menambahkan, tapi di dunia saja sudah menyakiti orang. Pandangan kritis harus dikedepankan. Mengingat pentingnya regenerasi warga sapta darma, warjo berharap remaja Sapta Darma melek internet menyesuaikan perkembangan zaman. Dalam mendidik anak, Sapta Darma berbeda dengan cara agama resmi. Hidup anak warga sapta darma diserahkan pada anaknya sendiri dan lebih menekankan pada kejujuran. sehingga, yang menjadi hambatan bagi karakter anak itu dampak tekanan lingkungan. Kerap anak-anak sapta darma di bully teman-temannya karena keyakinan mereka yang berbeda, dan itu berdampak pada psikis anak.
“Remaja penghayat harus melek internet untuk menjaga regenerasi. Cara mendidik anak bagi warga Sapta Darma itu tidak seperti agama resmi. Hidupnya terserah anak, orang tua membebaskan anak. sehingga tekanan lingkungan akan mempengaruhi karakter anak. Kondisi psikis anak, ketika di bully teman-temannya karena keyakinan itu juga berpengaruh pada karakter anak,” terang laki-laki berbadan tegap itu.
Sementara, ia menjelaskan peristiwa diskriminasi yang menimpa warga Sapta Darma sepanjang tahung 2007 hingga tahun 2009. Ia juga menyayangkan upaya pemerintah yang selalu telat dalam memberlakukan undang-undang pro penghayat kepercayaan. Dia menganggpa, pemerintah terkesan tidak ada upaya pembinaan dan perlindungan pada kaum minoritas. Undang-undang diberlakukan setelah peristiwa diskriminasi itu terjadi.
“Sejak tahun 2007 hingga tahun 2009 kerap terjadi diskriminasi terhadap warga Sapta Darma di Kabupaten Brebes. Dan anehnya, undang-undang yang berpihak pada penghayat kepercayaan berlaku ketika konflik itu sudah terjadi. Penghayat tidak diganggu sudah bagus, tak perlu diayomi. Sapta Darma menekankan pada keseriusan keimanan warganya,” sesalnya.
Warjo menekankan pada warga Sapta Darma, agar menjaga keimanan dan keseriusan dalam menjalankan praktik yang diperintahkan dalam penghayat kepercayaan Sapta Darma. Juga tidak mencampuradukan dengan kepercayaan yang lain.
“Kalau ingin menjadi penghayat Sapta Darma, jadilah penghayat yang taat. Tidak terkesan mencampuradukan dengan kepercayaan lain. kita lebih menghormati orang seperti itu. sapta darma mengedepankan kejujuran dalam berkeyakinan, karena penampilan jasmaniyah itu kadang-kadang menipu,” pungkasnya. [elsa-ol/Cep-@ceprudin/001]