Welas Asih ing Dunyo Saisine: Catatan Kegiatan Madrasah Inklusi

Oleh: Tedi Kholiludin

Ustadzah Aminah bin Yahya tampak serius mendengar penjelasan salah satu anggota kelompok lain. Ketua Pimpinan Wilayah Muslimah Ahlul Bait Jawa Timur 2020-2024 tersebut mencoba meresapi penjelasan mengenai strategi atau upaya yang dilakukan oleh berbagai organisasi perempuan berbasis Islam dalam mengejawantahkan prinsip Islam Rahmatan Lil ‘alamin. Yang sedang memberikan penjelasan kepada Ustadzah Aminah adalah seorang wanita pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Jawa Timur.

Keduanya, bersama dengan puluhan perempuan lainnya adalah peserta pelatihan bertajuk “Madrasah Inklusi bagi Organisasi Perempuan Islam.” Pimpinan Wilayah Fatayat Nahdlatul Ulama Jawa Timur menghelat kegiatan tersebut dengan mengundang pengurus organisasi Islam seperti Aisyiyah, Muslimah Ahlul Bait, Muslimah JAI, Lembaga Dakwah Islam Indonesia, serta Bu Nyai perwakilan dari sejumlah pondok pesantren di Jawa Timur. Kegiatan sendiri dilaksanakan di Hotel Platinum, Surabaya Rabu-Jumat (15-17/11/2023).

Saya diminta Mbak Dewi Winarti (Ketua PW Fatayat Jawa Timur) mengisi satu sesi pada Hari Kamis (16/11) tentang mendaratkan nilai Islam sebagai pembawa pesan damai di muka bumi. Mengingat latar belakang peserta yang hampir semuanya adalah pimpinan pesantren serta aktivis organisasi Islam, maka saya meloncat untuk tak terlalu menyinggung banyak dimensi normatifnya.

Meski tercantum sebagai narasumber, saya memutar peran menjadi fasilitator. Dengan begitu, penggalian terhadap perspektif serta pengalaman dari peserta bisa menjadi lebih leluasa. Saya tinggal menyiapkan pertanyaan-pertanyaan pantikan untuk kemudian direspon oleh seluruh peserta secara bergantian.

Hampir semua peserta sepakat bahwa makna rahmat dalam frasa “Islam Rahmatan Lil ‘Alamin” bermakna kasih sayang, perdamaian. Salah seorang peserta memberikan jawaban dengan merujuk pada konteks lokal yang khas; welas asih. Konsepsi welas asih atau bisa juga kita mengenalinya dengan “compassion,” menurut Prof Suwardi Endraswara, seorang Antropolog Sastra yang menekuni Budaya Jawa, berarti sebuah keadaan psikis dimana seseorang mampu merasakan apa yang dialami oleh orang lain (Lihat dalam “Ilmu Jiwa Jawa,” 2013).

Welas Asih itu bukan sekadar simpati, tetapi melampauinya. Para psikolog biasa menyebutnya empati. Seseorang yang memiliki rasa empati, tak perlu diminta untuk memberikan pertolongan, tak perlu menunggu diarahkan untuk menyalurkan perhatian. Pun, tak berhadap diberikan imbalan ketika memberikan pertolongan.

Baca Juga  Pemimpin Indonesia Wajib Kuasai HAM

Saat diminta pendapatnya tentang makna ‘Alam dalam Rahmatan Lil ‘Alamin, sebagian besar dari peserta memberikan jawaban yang kurang lebih sama; dunia dan seisinya. Segala hal yang hidup di alam dunia itulah yang mesti mendapatkan cipratan kasih sayang. Tak sekadar ukhuwwah insaniyyah tetapi juga ukhuwwah makhluqiyyah, termasuk diantaranya binatang, tumbuh-tumbuhan dan seluruh senyawa yang ada dalam ekosistem.

Dengan begitu, kasih sayang atau welas asih tak hanya dialamatkan pada manusia saja tetapi juga jagat raya dan seisinya. Itulah sejatinya pengejawantahan dari hadits, “sayangilah yang ada di bumi, maka yang di langit akan menyayangimu (Irhamuu man fil ardli yarhamkum man fissamaa).”

Tantangan Membangun Kohesi Internal

Sembari memegang handphone, seluruh peserta berpikir sejenak untuk memberikan jawaban atas pertanyaan kemudian yang saya pantik; apa problem internal umat Islam serta eksternal yang memunculkan tantangan implementasi prinsip Islam sebagai rahmat bagi semesta alam.

Tak lama kemudian jawaban demi jawaban bertaburan di laptop saya. Sebagian jawaban tak terlalu menyasar apa yang saya maksud, mungkin penjelasan saya yang agak kurang tersampaikan. Meski begitu, jawaban lainnya cukup bisa dimengerti. Misalnya, persoalan penegakan hukum, citra sebagai agama yang dikaitkan dengan terorisme, dinamika politik global serta politisasi agama adalah contoh jawaban yang relevan tentang problem eksternal umat Islam kaitannya dengan semangat Islam sebagai penebar damai.

Lalu apa yang menjadi batu sandungan secara internal? Jawaban yang paling banyak memiliki kemiripan adalah merasa paling benar (dengan segala varian diksinya). Jawaban lainnya berbeda-beda antara; mudah percaya dengan informasi yang tidak valid, belum berperspektif gender, dan seterusnya.

Saya memberikan kesempatan bagi 5 orang sebagai perwakilan peserta untuk memberikan penjelasan dari jawaban yang diberikan. Kelimanya kemudian mengelaborasi jawaban yang telah dikirimkan.

“Ibu-ibu, kalau saya berpendapat, membangun toleransi diantara umat Islam lebih menantang ketimbang dengan eksternal umat Islam, apakah akan ada yang menanggapi?” saya memberikan pertanyaan pantikan lanjutan.

Saya menyengaja untuk melempar pertanyaan yang agak menggiring, sesuai konteks dan variasi peserta yang hadir. Jawaban dari pertanyaan yang saya ajukan tentu tak bisa terjawab jika tidak ada keterbukaan.

Baca Juga  Akademi Kiri

Sejenak mereka berpikir. Lalu tiga orang mengangkat tangan tanda hendak memberikan respon.

“Iya, sering memang begitu, Pak Tedi,” salah seorang Bu Nyai membuka opininya.

“Panggil Mas saja, Bu Nyai,” saya meralat kata sandang yang implikasinya sangat signifikan.

Beliau melanjutkan penjelasan, meski dengan kehendak untuk sedikit membenamkannya sebagai cerita masa lalu dan perilaku personal yang tak bisa digeneralisasi. Persoalan di internal umat Islam lebih memiliki kompleksitas. Ini tentu tak berarti bahwa tidak ada problem dalam hubungan antar agama, namun ditilik dari keruwetannya, masalah internal juga memiliki kadar kerumitannya.

Tentang bagaimana level kesulitan yang dihadapi dalam mengelola problem internal dan eksternal, barangkali ada perbedaan. Namun tantangan secara internal, mengharuskan siapapun memiliki kemampuan pengelolaan perbedaan yang sedikit tipikal.

Gejala ini sejatinya merupakan fenomena yang jamak terjadi di sebagian besar kelompok keagamaan. Kekristenan juga menghadapi situasi yang sama. Variatifnya denominasi menyebabkan pengelolaan persaudaraan di level internal tidak bisa dengan mudah diterapkan. Seruan datang dalam bentuk gerakan oikumene, ukhuwwah antar gereja, untuk mengingatkan bahwa mereka sejatinya berasal dari akar yang sama.

“Itulah alasan, mengapa ibu-ibu yang berasal dari berbagai organisasi keislaman, hadir dalam forum ini, membangun kohesi internal sebagai langkah memantapkan soliditas dengan yang lain,” saya menambahkan.

***

Karena setiap kelompok sosial memiliki kekhasan, keunikan serta ciri pembeda dari lainnya, maka implementasi atas nilai-nilai tertentu juga bervariasi. Itulah yang saya mandatkan kepada peserta pelatihan; mencari sesuatu yang khas dalam membumikan pesan Islam yang penuh kedamaian.

Mereka segera merapat dengan para anggota kelompoknya. Diskusi dan tukar pikiran mulai terjadi. Satu diantara mereka menjadi notulis, mencatat ide yang terlontar dari para peserta. Namun, setelah 10an menit berdiskusi, saya merasa bahwa pesan saya belum tertangkap, sehingga yang muncul adalah rencana kegiatan yang terlampau general, misalnya bakti sosial, berbagi parcel lebaran dan sejenisnya.

Saya mengulang kembali dan memberikan penekanan pada aktivitas yang agak spesifik di masing-masing lembaga. “Jangan terlalu umum, agar kita bisa merasakan kekhasan, meski tentu saja tak benar-benar berbeda seutuhnya,” saya menegaskan.

Mendengar arahan berikutnya, peserta memutar haluan dan menyisir pernik-pernik kegiatan yang pernah dilakukan, lalu hendak distrategikan sebagai kegiatan yang berkesinambungan. Mereka mulai bisa menata derap demi derap langkah yang telah dan hendak digurat.

Baca Juga  Pemuda Khonghucu Pasca Represi Orde Baru

“Kami di Bangil, punya Badan Pelayanan Kematian, mas Tedi. Nah pengurus dan yang dilayaninya itu berasal dari teman-teman Ahlussunnah dan juga Syiah,” Ustadzah Aminah menjelaskan. “Nah itu yang saya maksud, silahkan ditulis Bu,” saya mengamini Aminah. Ia bercerita, ada sebuah Badan Pelayanan di Bangil, Pasuruan bernama “Al-Khoirat” yang melayani kebutuhan pemulasaraan jenazah dan juga menyediakan logistik untuk keluarga yang berduka serta para pentakziyah.

Muslimah Ahmadiyah tak mau ketinggalan. Ia mencontohkan keterlibatan mereka dalam program khas, salah satunya, clean the city. “Tanggal 1 Januari itu biasanya kan di tengah kota penuh sampah karena malam harinya dipakai untuk pesta tahun baru. Nah, kami membersihkannya di pagi hari. Kami juga mengajak elemn yang lain untuk kegiatan ini,” terangnya.

Sesaat sebelum saya mengakhiri sesi, putri dari seorang kyai di sebuah wilayah Jawa Timur mengangkat tangan. “Saya izin mau cerita, mas,” ucapnya. “Tentu saja, silahkan,” saya memberi ruang. Ia kemudian berkisah. Saya menyimak tuturannya dengan seksama.

Sebagai putri kyai yang memiliki pondok pesantren, ia tentu punya kesempatan untuk memanfaatkan fasilitas atau beraktivitas sedikit berbeda dengan para santri. “Saat mas Tedi menjelaskan tentang prinsip ekualitas dan kasih sayang sebagai manifestasi dari Islam Rahmatan Lil ‘Alamin, saya teringat bagaimana abah mendidik kami,” ujarnya membuat peserta lain penasaran. Saya pun mulai menerka, kemana kira-kira arah dan tujuan pembicaraan Ning tersebut.

Ning itu melanjutkan, orang tuanya tak membedakan pola pengajaran kepada dirinya, betapapun ia adalah puteranya. Dirinya diperlakukan sama, baik dalam soal tata tertib maupun fasilitas saat mengaji.

“Kamu tahu apa arti Ning dan Gus itu?” Ning itu menirukan pertanyaan abahnya yang diajukan kepada dirinya satu ketika. “Ning dan Gus itu orang yang harus selalu menunjukan kerendahhatian,” Ning itu menjelaskan maksud abahnya. Dengan mencontohkan apa yang terjadi di lingkungannya, ia ingin membagikan memorinya dan bagaimana hal tersebut ditautkan dengan prinsip rahmatan lil ‘alamin.

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

Tiga Tema Alkitab sebagai Basis Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam "Justice and Only Justice: A Palestinian...

Kekristenan Palestina dan Teologi Pembebasan: Berguru Pada Naim Stifan Ateek

Oleh: Tedi Kholiludin Ia adalah seorang Palestina dan bekerja sebagai...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini